Ada kabar, seorang pejabat politik di suatu daerah punya hutang. Semacam tanggungan kepada orang lain. Entah siapa itu. Kepastiannya tentu butuh investigasi lebih lanjut. Hingga nanti akan terungkap secara tuntas dan detail. Siapakah dia..? Apa bentuk hutangnya..? Bagaimana kondisi keluarganya..? Apa saja fasilitas yang dimilikinya..? Seperti apa perilakunya..? Berasal dari partai apa..? Â Dan sejauh mana kinerjanya..? Itu yang menarik untuk diungkap.
Masalah hutang seorang pejabat, tentu penting dibahas. Mengapa, karena kalau melihat fasilitas dan kekuasaan yang dimiliki, rasanya tidak sulit bagi seorang pejabat untuk mendapatkan banyak kemudahan dan keuntungan. Sekedar diketahui, seorang pejabat punya fasilitas yang lebih "banyak" dibanding staf atau orang biasa. Demikian pula dalam hal kekuasaan. Pastilah punya kontrol kuat dibeberapa lini guna mempengaruhi kebijakan.
Itu semua adalah potensi. Yang bisa digunakan melunasi hutang. Apapun bentuknya. Baik berupa hutang janji atau hutang uang. Bagi orang biasa, terlebih yang tergolong sangat perlu dana, bentuk hutang yang umum terjadi adalah berupa uang.Â
Diperlukan karena kebutuhan hidup. Misal untuk makan atau keperluan lain. Sementara bagi seorang pejabat politik, macam kepala daerah atau anggota legislatif, bisa kedua-duanya. Yakni hutang janji dan juga uang. Biasanya dilakukan untuk tujuan mencapai kekuasaan.
Jangan remehkan soal dua jenis hutang tersebut. Bila sudah punya kemampuan, jangan tunda-tunda lagi untuk dibayar. Soal hutang janji misalnya. Dalam QS. Al-Israa' ayat 34 Allah berfirman, yang artinya "... Dan penuhilah janji karena janji itu pasti dimintai pertanggung jawaban..".
Janji yang tidak ditunaikan, tergolong sebagai perbuatan tercela. Mencerminkan perilaku buruk. Bisa dianggap sebagai pendusta sekaligus khianat. Disebut pendusta, karena tidak sesuai dengan perkataan. Disebut khianat, karena tidak menjalakan kepercayaan. Baik dicap sebagai pendusta maupun khianat, pastilah memberikan dampak buruk bagi yang melakukannya.
Soal hutang uang juga demikian. Ada banyak dalil dalam islam yang mengulas tentang jenis hutang ini. Misal, dua hadits dari Ibnu Majah. Yang artinya, ""Siapa saja yang berutang, sedang ia berniat tidak melunasi utangnya, maka ia akan bertemu Allah sebagai seorang pencuri".Â
Ini juga, "Barangsiapa mati dan masih berutang satu dinar atau dirham, maka utang tersebut akan dilunasi dengan (diambil) amal kebaikannya, karena di sana (akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham".
Lalu ada hadits riwayat Bukhari, Muslim, Nasai, Abu Dawud, Tirmidzi Abu Dawud. Yang artinya, "Menunda-nunda (bayar utang) bagi orang yang mampu (bayar) adalah kedzoliman". Juga HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, "Ruh seorang mukmin itu tergantung kepada utangnya sampai utangnya dibayarkan".
Jelas sekali, bahwa yang namanya hutang wajib dibayar. Apalagi, ada kalimat "bagi yang mampu" dalam HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Itu menandakan adanya penegasan, bahwa bagi manusia yang punya kekuasaan dan fasilitas berlimpah, namun masih menunda-nunda, apalagi memang sengaja punya niat tidak ingin bayar, maka orang itu tergolong sebagai jenis manusia yang dimaksud oleh beberapa hadits diatas.
Kalau dia seorang pejabat politik, maka pastilah besok akan diminta pertanggung jawaban, sebagaimana QS. Al-Israa' ayat 34. Sesuai beberapa hadits tadi, pertanggung jawaban yang dimaksud adalah : jika ia mati, maka kelak akan bertemu Allah sebagai seorang pencuri, amal kebaikannya diambil sebagai jaminan pelunasan hutang dan ruhnya terkatung-katung tidak jelas hingga hutang itu dibayar. Dan jika ternyata ia belum mati, saat ini masih memegang jabatan sebagai eksekutif atau legislatif, dan dengan sengaja menunda-nunda untuk bayar hutang, maka ia tergolong sebagai manusia dzolim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H