Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Gapapa Pamer saat Mudik, Jangan Dipermasalahkan

13 April 2022   11:18 Diperbarui: 13 April 2022   11:34 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disitu jelas terlihat bahwa esensi mudik tidak hanya diukur dari adanya kegiatan fisik. Seperti aktifitas pulang kekampung halaman menggunakan mobil pribadi dan pakai perhiasan emas bak toko berjalan tadi. Esensi mudik ternyata juga mengandung nilai-nilai spriritual, yang erat kaitannya dengan kepuasan bathin. 

Yakni, kegiatan untuk mengembalikan jati diri pada kondisi yang fitrih. Kembali suci dan bersih seperti sedia kala. Lebur segala dosa dan kesalahan. Caranya mungkin tidak sama. 

Tergantung adat istiadat yang berlaku ditiap-tiap didaerah. Tapi yang paling umum dilakukan adalah saling sambang, silaturrahin datang bertamu ke sanak saudara dan family. Sambil salam-salaman dan mohon maaf. Ditambah menikmati suguhan makanan khas hari raya.

Karena mudik ada kaitan dengan kepuasaan batin itulah, maka ada sebagian umat islam yang salah memilih cara. Bukan lewat cara-cara baik seperti silaturrahim tadi. Tapi malah pamer harta. Berlomba-lomba ingin disebut sebagai orang paling sukses dan kaya raya. Tak penting lagi nilai-nilai spriritual untuk kembali ke fitrah, menghilangkan rasa penat dan berjumpa dengan orang tua atau sanak family. Yang utama justru ingin menunjukkan mobil mewah dan seperangkat perhiasan emas.

Maka itu, mudik lalu menjadi sarana mengkotak-kotakkan tingkatan manusia. Yang kaya harta dianggap berhasil melakukan mudik. Sedang yang tidak berpunya, tergolong sebagai manusia gagal. Jadinya, umat islam yang telah sukses berjuang melewati puasa sebulan penuh, dinilai berdasar materi. 

Sebuah penilaian yang sungguh sangat rendah. Bukan lagi penilaian agung semacam leburnya dosa dan kepuasan bathin karena kembali ke fitrih..

Naah, berhubung  ada penilaian yang bersifat materi itulah, lalu ada pemudik yang merasa minder. Saat mudik, merasa tidak pantas berbaur dengan para tetangga. Itu bagi yang sudah kadung pulang berada dikampung halaman. 

Sementara bagi yang belum mudik, dimana tahun kemarin punya pengalaman dikotak-kotakkan sebagai manusia gagal, karena masih naik kendaraan umum atau hanya pakai perhiasan imitasi, lalu jadi enggan pulang kampung. Lebih baik tetap ditempat kerja, daripada kembali jadi bahan bulian. Ini jelas sebuah kondisi yang sangat merusak. 

Akibat terjadinya salah kaprah dalam memaknai keberhasilan mudik. Akhirnya, makna mudik tereduksi. Menjadi kecil dan sangat rendah. Tidak bermakna sama sekali.

Lalu apakah tidak boleh mudik menggunakan fasilitas pribadi yang dimiliki seperti modil dan perhiasaan.? Padahal itu adalah hak, sebagai apresiasi hasil kerja keras selama setahun..? Bukankah kenyataan itu juga bisa membahagiakan keluarga dikampung.? 

Memang betul, siapa yang tidak gembira, punya anak atau saudara sukses dirantau. Terlebih lagi, masih dibawakan oleh-oleh. Dan pada kesempatan lain, juga ditambah ajakan tamasya ke tempat-tempat wisata. Tentu ini sesuatu yang luar biasa. Yang mungkin tidak akan dialami oleh semua orang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun