Mati lampu lagi! dalam keadaan gelap seperti ini, sesaat aku jadi teringat masa kecilku. Dulu aku paling takut dengan gelap. Setiap mati lampu, pasti langsung terbangun dan teriak panggil Ayah atau Ibu, berharap mereka segera menyalakan lilin atau penerangan sederhana yang dibuat Ayah dari botol bekas. Aku ingat sekali, bagian tutup botol itu dipasang sehelai sumbu kompor, kemudian botolnya diisi minyak tanah. Cukup mampu menerangi ruang keluarga kami yang tidak terlampau besar.
Meski takut dengan kegelapan, "aku kecil" sesungguhnya paling suka momen saat mati lampu. Sebab saat itu kehangatan sebuah keluarga benar-benar sangat terasa. Jika tidak terlalu lelah, momen mati lampu dimanfaatkan Ayah untuk bercerita atau memberi nasihat kepada anak-anaknya.
Terkadang aku dan saudara-saudaraku memainkan bayangan jari-jari kami di depan lampu sederhana itu hingga kami mengantuk dan tertidur. Ah. Momen yang sangat mengesankan.
***
“Ini aku masih bisa lihat, kan?” Aku sering batin seperti itu waktu kecil setiap kali mati lampu. Entah kenapa hal inilah yang membuat aku takut gelap waktu itu. Ya. Takut buta. Cukup menggelikan, ya? tapi, begitulah aku kecil.
Dan syukurnya seiring bertambahnya usia, aku mulai terbiasa dengan gelap.
Bahkan ketika berada sendirian dirumah saat mati lampu, aku tidak merasa ketakutan lagi. Mungkin karena di desaku sering mati lampu? tahukah, terkadang, intensitas padamnya listrik di desaku ini seperti minum obat, tiga kali sehari. Hehe.
Sejenak aku menyadari beberapa hal. Pertama, ternyata tanpa sadar kita lebih sering merasa khawatir atau takut terhadap hal-hal yang belum tentu terjadi. Unreasonable fear. Ketakutan yang tak beralasan itu perlahan membuat kita ragu untuk melangkah. Mau berbuat baik, tapi takut diejek, takut dijauhi, takut dibilang sok baik. Mau memulai sesuatu, tapi takut gagal, takut salah, dan ketakutan lainnya, yang sebenarnya belum tentu terjadi.
Ketakutan itu muncul bisa jadi akibat kita yang tidak percaya dengan diri sendiri dan tidak yakin bahwa ada Sang Khaliq, Sang Maha Kuasa yang akan selalu menolong kita. Daripada banyak mikir, mending langsung take action, dan serahkan segalanya kepada Allah SWT. Jika hal yang akan kita lakukan itu adalah sebuah kebaikan, Allah pasti akan memudahkan segalanya.
Kedua, takutlah ketika hati menjadi gelap. Tidakkah kita merasa malu dengan mereka yang tidak bisa melihat dunia dengan kedua matanya, namun masih bisa bersyukur dengan kehidupan yang dimilikinya? teringat dengan kisah seorang anak laki-laki penghafal Al-qur’an yang berasal dari Mesir. Kala itu usianya masih 11 tahun.
Ketika ditanya, mengapa dia tidak meminta kepada Tuhannya untuk mengembalikan penglihatannya? anak itu dengan mantap menjawab bahwa dirinya hanya berdoa semoga Allah meringankan perhitungan-Nya untuk dirinya pada hari kiamat kelak. Dia memahami bahwa kelak seluruh anggota tubuh akan dimintai pertanggungjawaban. Hal inilah yang membuatnya tidak pernah meminta agar penglihatannya dikembalikan.
Ya. Mereka memang buta, penglihatan mereka gelap. Tetapi mereka masih bisa melihat dengan mata hatinya sehingga meskipun dalam kondisi seperti itu mereka masih bisa bersyukur kepada Sang Pencipta. Banyak orang yang memiliki penglihatan yang baik, namun pura-pura tidak melihat ketika orang lain membutuhkan pertolongannya.
Mendadak menjadi “buta” ketika melihat kedzaliman didepan mata. Ada pula yang suka 'pura-pura buta' saat menyaksikan penderitaan rakyatnya. Meskipun kemiskinan tampak nyata, tidak menyurutkan nafsunya untuk mengambil hak rakyat.
Tidak peduli dengan sesama, sering mengeluh dan jarang bersyukur, sulit menerima kebenaran, mengindikasikan bahwa hati sudah menjadi buta. Allah SWT berfirman dalam QS. AL-Hajj:46, “sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” Hal inilah yang sepatutnya kita khawatirkan.
Ketika hati menjadi gelap, kita pun berjalan di bumi-Nya seperti orang yang kehilangan arah. Tidak ada sedikitpun ketenangan dalam hati, sehingga terus merasa khawatir terhadap hal-hal yang semestinya tidak perlu dikhawatirkan.
Menurut Ibnul Qayyim seperti yang dikutip dalam buku yang berjudul “Agar Hati Tak Mati Berkali-kali” karya Muhammad Al-Bani, hati ini ibarat bejana Allah di dunia. Andaikan manusia mengisinya dengan Allah dan akhirat, maka hatipun menjadi bening dan dipenuhi nilai Kalam Ilahi, serta ayat-ayat-Nya. Lalu pemiliknya akan mendapatkan hikmah yang banyak. Namun, jika manusia mengisinya dengan kecintaan berlebihan terhadap dunia dan ketergantungan kepadanya, maka hatipun menjadi sempit, gelap, dan jauh dari ketenangan.
Dunia sejatinya hanyalah tempat persinggahan belaka. Tidak mengapa jika ingin menggapai kesuksesan, tetapi jangan sampai membuat kita lupa diri. Lupa, bahwa kita hanyalah seorang hamba. Lupa, bahwa kita hanya menumpang di bumi-Nya. Letakkan dunia dalam genggaman, jangan letakkan di hati.
Lebih khawatirlah pada sesuatu yang sudah pasti, yakni kematian. Karena kematian tidak menunggu kesiapan kita. Sepertinya pepatah jawa yang satu ini cukup menarik untuk dijadikan sebuah pengingat diri, “eling asale, eling baline”. Ingat darimana kita berasal, dan ingat kemana kita akan kembali
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H