Tidak peduli dengan sesama, sering mengeluh dan jarang bersyukur, sulit menerima kebenaran, mengindikasikan bahwa hati sudah menjadi buta. Allah SWT berfirman dalam QS. AL-Hajj:46, “sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” Hal inilah yang sepatutnya kita khawatirkan.
Ketika hati menjadi gelap, kita pun berjalan di bumi-Nya seperti orang yang kehilangan arah. Tidak ada sedikitpun ketenangan dalam hati, sehingga terus merasa khawatir terhadap hal-hal yang semestinya tidak perlu dikhawatirkan.
Menurut Ibnul Qayyim seperti yang dikutip dalam buku yang berjudul “Agar Hati Tak Mati Berkali-kali” karya Muhammad Al-Bani, hati ini ibarat bejana Allah di dunia. Andaikan manusia mengisinya dengan Allah dan akhirat, maka hatipun menjadi bening dan dipenuhi nilai Kalam Ilahi, serta ayat-ayat-Nya. Lalu pemiliknya akan mendapatkan hikmah yang banyak. Namun, jika manusia mengisinya dengan kecintaan berlebihan terhadap dunia dan ketergantungan kepadanya, maka hatipun menjadi sempit, gelap, dan jauh dari ketenangan.
Dunia sejatinya hanyalah tempat persinggahan belaka. Tidak mengapa jika ingin menggapai kesuksesan, tetapi jangan sampai membuat kita lupa diri. Lupa, bahwa kita hanyalah seorang hamba. Lupa, bahwa kita hanya menumpang di bumi-Nya. Letakkan dunia dalam genggaman, jangan letakkan di hati.
Lebih khawatirlah pada sesuatu yang sudah pasti, yakni kematian. Karena kematian tidak menunggu kesiapan kita. Sepertinya pepatah jawa yang satu ini cukup menarik untuk dijadikan sebuah pengingat diri, “eling asale, eling baline”. Ingat darimana kita berasal, dan ingat kemana kita akan kembali
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H