“Kamu bodoh! Tolol!”.
“Hei...! maksud apa Kau cakap macam itu.” Keningnya mengernyit, telinganya panas.
Rasanya ingin ku bunuh saja makhluk di depanku ini. Ada pisau peraut pensil di dalam tempat pensilku. Itu cukup untuk memotong nadinya. Tak perlu darah yang bersimpah. Belajar anatomi secara mendalam cukup membuatku tahu bagian mana dari tubuh yang paling mematikan.
“Hei....kenapa sekarang Kau malah diaaaaam.......!!!!!”. ujarnya sambil berkacak pinggang. Tak lama kemudian Dia meludahi mukaku.
“Kau seharusnya takut jika Aku diam”. Aku menarik nafas, biar kuselesaikan urusan ini dengan rapi. Aku terlalu membencinya. Akan sangat mencurigakan jika Dia benar-benar mati setelah beberapa orang melihatku bertengkar dengannya.
“Uppss.... “. Wajahnya membulat. Dia nampak kaget. Kulitnya yang kuning nampak lebih coklat ketika cahaya terhalang lebatnya daun pohon beringin di belakang sekolah.
“Diam....”. aku mendesah tepat di samping telinganya.
“Kenapa Kau tiba-tiba memelukku?”. Kata-katanya masih terbata, terheran musuh besar seumur hidupnya nampak sangat halus memperlakukannya seketika.
“Hiks...hikss....hikss.... ssss....”. Aku mengeluarkan air mataku.
“Kenapa Kau menangis? Tak pernah Kau seperti ini”.
Suasana begitu dingin. Ingin sekali Aku melempar tubuhnya ke batu besar di bawah pohon beringin. Atau memelintir beberapa urat saraf mematikan sesuai apa yang aku pelajari selama enam bulan terakhir. Lagi-lagi aku harus mengingat bahwa aku harus merencanakan ini semua dengan rapi.
“Apa Kau ini ingin berbaik hati kepadaku dan melunturkan semua keras kepalamu itu?”. Matanya tepat memandangku. Jauh lebih dalam dari pandangan yang pernah terjadi antara kami berdua sebelumnya.
“Ya..... Aku ingin mencoba menjadi temanmu”. Aku pegang tangannya. Terasa dingin, sebenarnya aku merasa jijik. Setelah ini aku harus benar-benar membersihkan diri agar auranya tak melekat padaku.
******
Esok paginya di sekolah, aku masih melihat dia dengan beberapa temannya sedang berbincang. Matanya nampak berbinar, selalu saja begitu. Dia selalu asik dengan segala ceritanya yang menurutku itu bualan dan selalu meninggi-ninggikan dirinya. Dan aku tetap melakukan pekerjaan dengan totalitas, melakukan hal-hal dengan mendalam. Di luar dari kebiasaan murid lainnya. Aku lebih banyak mengetahui di banding murid di sekolah ini. Bahkan aku tak perlu masuk kelas secara rutin dalam satu semester untuk mendapatkan nilai A. Di berbagai kompetisi, dengan sifat perfeksionisku yang tingkat tinggi menjadi modal bahwa aku ditakdirkan menjadi pemenang dalam kejuaraan yang berbau scientific dan berbagai aliran seni termasuk seni beladiri. Aku tak pernah memberitahukan mengenai prestasiku ini ke siapa pun secara langsung. Tapi dengan sendirinya, seperti kabar burung yang menghantarkan berita begitu cepat dan pasti. Anak-anak mengetahui kemampuanku, aku memiliki beberapa teman dekat. Tingkat kepopuleranku tak seperti artis yang dipuja-puja. Justru kehidupanku sangat terlihat biasa. Aku hanya terlihat menonjol disaat aku merasakan itu waktunya aku berbicara, dan aku diam lalu kembali ke kehidupan pribadiku yang sangat tampak biasa. Dan dia.... entahlah, sekarang misiku adalah merencanakan hal terbaik untuknya. Lenyap ditanganku. Dia terlalu banyak menyakitiku tanpa banyak orang tahu.
....bersambung
14-01-16
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H