“Apa Kau ini ingin berbaik hati kepadaku dan melunturkan semua keras kepalamu itu?”. Matanya tepat memandangku. Jauh lebih dalam dari pandangan yang pernah terjadi antara kami berdua sebelumnya.
“Ya..... Aku ingin mencoba menjadi temanmu”. Aku pegang tangannya. Terasa dingin, sebenarnya aku merasa jijik. Setelah ini aku harus benar-benar membersihkan diri agar auranya tak melekat padaku.
******
Esok paginya di sekolah, aku masih melihat dia dengan beberapa temannya sedang berbincang. Matanya nampak berbinar, selalu saja begitu. Dia selalu asik dengan segala ceritanya yang menurutku itu bualan dan selalu meninggi-ninggikan dirinya. Dan aku tetap melakukan pekerjaan dengan totalitas, melakukan hal-hal dengan mendalam. Di luar dari kebiasaan murid lainnya. Aku lebih banyak mengetahui di banding murid di sekolah ini. Bahkan aku tak perlu masuk kelas secara rutin dalam satu semester untuk mendapatkan nilai A. Di berbagai kompetisi, dengan sifat perfeksionisku yang tingkat tinggi menjadi modal bahwa aku ditakdirkan menjadi pemenang dalam kejuaraan yang berbau scientific dan berbagai aliran seni termasuk seni beladiri. Aku tak pernah memberitahukan mengenai prestasiku ini ke siapa pun secara langsung. Tapi dengan sendirinya, seperti kabar burung yang menghantarkan berita begitu cepat dan pasti. Anak-anak mengetahui kemampuanku, aku memiliki beberapa teman dekat. Tingkat kepopuleranku tak seperti artis yang dipuja-puja. Justru kehidupanku sangat terlihat biasa. Aku hanya terlihat menonjol disaat aku merasakan itu waktunya aku berbicara, dan aku diam lalu kembali ke kehidupan pribadiku yang sangat tampak biasa. Dan dia.... entahlah, sekarang misiku adalah merencanakan hal terbaik untuknya. Lenyap ditanganku. Dia terlalu banyak menyakitiku tanpa banyak orang tahu.
....bersambung
14-01-16
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H