"Baik, Pak Presiden.. ini sungguh penghargaan yang tiada tara Pak Presiden.. kenalkan Pak.. nama saya Sutopo. Saya menjabat ketua RT sudah hampir 30 tahun, Pak.."
"Waah.. berarti Bapak ini dipercaya sama warga kayaknya.."
"Ah.. kalau dipercaya masih saya pertanyakan Pak. Kalau dikerjai.. mungkin iya Pak.. Bahasa Jawanya.. 'diplekotho'.. "
"Lho.. kok bisa begitu?"
"Lha iya to Pak Presiden. Jadi ketua RT itu berat. Ibarat kata harus bisa jadi 'segoro'. Samudera. Harus sabar luar biasa menghadapi warga yang sedemikian banyak macemnya. Kalau kita benar.. tak pernah dipuji atau dihargai. Kalau kita salah.. jadi kasak-kusuk pembicaraaan.. jadi rasanan.. lha kan ya serba repot to Pak.."
Aku mencoba mendengarkan dengan baik.
"Padahal.. gaji ketua RT itu kecil pak.. hanya cukup untuk bayar uang kencing di toilet umum.." keluh Pak Sutopo.
"Tapi.. kok bapak bisa bertahan sampai 30 tahun.. menjadi ketua RT?" tanyaku semakin menyelidik.
"Lha gimana lagi.. seperti yang saya ceritakan di depan itu.. tak ada yang mau jadi ketua RT di lingkungan kami. Trus.. jika saya mencoba mengundurkan diri.. para warga itu selalu bilang.. Ya jangan mengundurkan diri to Pak.. wong presiden yang dulu itu saja.. berkuasanya 32 tahun, kok.. masak bapak masih 30 tahun mau mengundurkan diri.. Nah yang bilang begitu itu kan ya.. kurang ajar sekali, Pak Presiden.." jawab Pak Sutopo jujur.
"Mungkin.. ada yang mau diceritakan, Pak.. perihal rasa seneng bisa hadir di istana ini.." pancingku.
"Iya pak presiden. Saya juga mendapat firasat aneh sebelum menerima undangan dari bapak. Saya mimpi pak.."