Selain itu, malam 1 Suro ini dianggap sebagai waktu yang tepat untuk melakukan pertapaan, mencari petunjuk gaib, dan membersihkan diri dari aura negatif.
Dengan keberagaman yang terjaga dan tradisi yang terus diwariskan, Gunung Kawi tidak hanya menjadi tempat wisata religi tetapi juga simbol persatuan dalam keberagaman. Perayaan Imlek dan Malam Satu Suro di tempat ini memberikan pelajaran berharga bahwa keharmonisan antaragama dapat terus terjalin dalam suasana penuh rasa hormat dan kebersamaan.
Simbol Keberagaman: Mbah Djoego, Eyang Iman Soejdono, dan Klenteng
Gunung Kawi adalah tempat ziarah yang menggabungkan berbagai unsur keagamaan, dari Islam, Jawa, hingga Tionghoa. Mbah Djoego (Kyai Zakaria II) dan Eyang Iman Soejdono merupakan tokoh penting yang dihormati oleh masyarakat setempat.Â
Mbah Djoego dikenal sebagai tokoh sufi yang memiliki pengaruh besar dalam penyebaran ajaran Islam, sementara Eyang Imam Soejdono adalah seorang bangsawan keturunan Kerajaan Majapahit yang dihormati karena kekuatan spiritualnya.
Keberadaan klenteng di sekitar kompleks ziarah ini mencerminkan akulturasi budaya antara ajaran kepercayaan Tionghoa dan tradisi lokal. Klenteng ini digunakan oleh peziarah keturunan Tionghoa untuk berdoa dan memohon berkah kepada para leluhur.
Di sisi lain, terdapat pula keraton dengan arsitektur khas Jawa yang sering digunakan untuk kegiatan spiritual dan adat. Ini memperlihatkan kesinambungan antara tradisi keraton Jawa dan spiritualitas yang berkembang di Gunung Kawi.
Gunung Kawi adalah simbol dari keberagaman yang harmonis. Tempat ini menunjukkan bahwa perbedaan kepercayaan dan budaya tidak selalu menjadi sumber konflik, tetapi justru bisa menjadi jembatan untuk membangun toleransi dan kerja sama.
Interaksi antara Islam, Jawa, dan Tionghoa di Gunung Kawi adalah bukti bahwa keberagaman bisa melahirkan keselarasan dalam spiritualitas, budaya, dan ekonomi masyarakat.
Seperti ungkapan Gus Dur di awal tulisan ini: "Agama melarang adanya perpecahan, bukan perbedaan."