Mohon tunggu...
Yayuk Sulistiyowati M.V.
Yayuk Sulistiyowati M.V. Mohon Tunggu... Guru - Pembalap Baru

SOLI DEO GLORIA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gereja Ganjuran: Aktualisasi Peran Julius dan Joseph Schmutzer dalam Mendukung Kaum Lemah

18 Desember 2024   13:00 Diperbarui: 22 Desember 2024   13:18 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keluarga Julius Schmutzer dan Joseph Schmutzer di pabrik gula Gondanglipuro, Jogjakarta (Sumber: begandring.com)

"Jangan sampai kita puas hanya dengan memberi uang. Uang tidak cukup, uang bisa didapat, tetapi mereka membutuhkan hatimu untuk mencintai mereka. Jadi, sebarkan cintamu ke mana pun kamu pergi." – Bunda Teresa

Nasehat indah Bunda Teresa ini sangat menyentuh dan menyentil pribadi saya dan mungkin bagi sebagian orang; bahwa perhatian, kasih sayang, dan empati juga dibutuhkan selain bentuk perhatian pada sesama berupa materi.

Dalam konteks ajaran sosial gereja, kutipan ini sejalan dengan prinsip-prinsip utama seperti kasih (caritas), solidaritas, dan penghormatan terhadap martabat manusia yang mengandung makna dalam: kasih sebagai inti sebuah pelayanan, solidaritas, menjunjung tinggi martabat manusia, dan menghidupi iman dalam aksi nyata.

Altar gereja Ganjuran tampak depan (Sumber: dokumentasi pribadi)
Altar gereja Ganjuran tampak depan (Sumber: dokumentasi pribadi)

Sebagai umat beriman, umat Katolik dipanggil untuk melampaui pemberian materi dan hadir secara penuh untuk membawa cinta Allah kepada sesama. Hal ini telah nampak dalam diri Julius Robert Anton Maria Schmutzer dan Joseph Ignatius Julius Maria Schmutzer sebagai tokoh penting dalam perkembangan ajaran sosial gereja di Indonesia, khususnya melalui karya mereka di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi sebagai cikal bakal hadirnya gereja Ganjuran.

Gereja Ganjuran, yang terletak di Desa Sumbermulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Bantul, Yogyakarta, tidak hanya menjadi pusat ibadah umat Katolik tetapi juga simbol nyata kepedulian sosial yang diwariskan oleh Julius dan Joseph Schmutzer.

Tampak dari luar gereja Ganjuran, Bantul, Yogyakarta (Sumber: gerejaganjuran.org)
Tampak dari luar gereja Ganjuran, Bantul, Yogyakarta (Sumber: gerejaganjuran.org)

Sejarah mencatat, dua bersaudara ini dikenal sebagai yang pertama kali mempraktikkan hak-hak layak buruh. Mereka memberi upah buruhnya lebih tinggi daripada buruh pabrik gula lain. Hak-hak buruh seperti jam kerja, hak berserikat, hak libur, dan cuti yang sekarang lazim dipenuhi, berawal dari lingkungan pabrik gula yang dikelolanya.

Sebagai pemilik pabrik gula Gondanglipuro, dua bersaudara dari Belanda ini mengimplementasikan ajaran sosial gereja dengan memberikan perhatian khusus pada kesejahteraan buruh dan kaum lemah di sekitarnya.

Keluarga Julius Schmutzer dan Joseph Schmutzer di pabrik gula Gondanglipuro, Jogjakarta (Sumber: begandring.com)
Keluarga Julius Schmutzer dan Joseph Schmutzer di pabrik gula Gondanglipuro, Jogjakarta (Sumber: begandring.com)

Peran Besar Keluarga Schmutzer

Keluarga Schmutzer memainkan peran besar dalam pembangunan fisik, spiritual, dan sosial masyarakat Ganjuran. Keluarga Schmutzer berkontribusi besar dalam pembangunan gereja Ganjuran dan dapat kita simak dalam perjalanan sejarah sebagai berikut:

1. Pembangunan Gereja dan Inkulturasi Iman Katolik

  • Inisiator gereja Ganjuran: Julius Robert Anton Maria Schmutzer dan Joseph Ignatius Julius Maria Schmutzer mendirikan gereja Ganjuran (1924) sebagai respons atas kebutuhan spiritual karyawan pabrik gula dan masyarakat sekitar.
  • Inkulturasi budaya: Mereka memperkenalkan unsur budaya Jawa ke dalam kehidupan gereja melalui seni dan arsitektur. Altar, relief, dan patung-patung di Gereja Ganjuran mencerminkan nilai-nilai lokal, seperti: Patung Hati Kudus Yesus sebagai Raja Jawa dan Bunda Maria digambarkan sebagai Ratu Jawa yang menggendong bayi Yesus.
  • Izin dari tahta suci: Inkulturasi ini diawali dengan persetujuan dari Tahta Suci, menjadikan Gereja Ganjuran sebagai pelopor penggabungan budaya lokal dan iman Katolik, jauh sebelum praktik ini umum dilakukan di Gereja Katolik Indonesia.

Altar Dyah Marijah Iboe Ganjuran (Sumber: dokumentasi pribadi)
Altar Dyah Marijah Iboe Ganjuran (Sumber: dokumentasi pribadi)

2. Dukungan Sosial dan Ekonomi

Keluarga Schmutzer tidak hanya memikirkan kebutuhan spiritual tetapi juga kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat sekitar:

  • Pendirian pabrik gula Gondanglipuro: Sebagai pusat ekonomi di wilayah Ganjuran, pabrik ini menyediakan lapangan kerja dan mendorong kemajuan ekonomi.
  • Program kesejahteraan karyawan: Selain memberi pekerjaan, keluarga Schmutzer juga memperhatikan kebutuhan spiritual karyawan mereka melalui pembangunan gereja.

Altar pendopo gereja tampak samping dengan nuansa Jawa (Sumber: dokumentasi pribadi)
Altar pendopo gereja tampak samping dengan nuansa Jawa (Sumber: dokumentasi pribadi)

3. Karya Sosial dan Pendidikan

  • Pembangunan sekolah-sekolah (Kanisius): Keluarga Schmutzer mendirikan sekolah-sekolah yang kemudian dikelola oleh Yayasan Kanisius untuk mendidik anak-anak masyarakat setempat.
  • Pelayanan kesehatan: Mereka membangun fasilitas kesehatan untuk membantu masyarakat, termasuk mendirikan rumah sakit.
  • Pengangkatan martabat lokal: Keluarga Schmutzer mendukung pelestarian budaya lokal dengan menanamkan nilai-nilai Kristiani dalam adat istiadat setempat, tanpa menghilangkan keaslian tradisi Jawa.

Aula doa pada Bunda Maria khas Jawa (Sumber: dokumentasi pribadi)
Aula doa pada Bunda Maria khas Jawa (Sumber: dokumentasi pribadi)

4. Pemimpin dalam Komunitas Katolik

  • Sebelum mereka meninggalkan Indonesia, keluarga Schmutzer memberikan dukungan logistik bagi para katekis awam dan pastor untuk menyebarkan ajaran Katolik di wilayah tersebut.
  • Keluarga Schmutzer sangat mendukung karya pelayanan para katekis dan pastor. Beberapa pastor yang pernah berkarya di Ganjuran berkat dukungan mereka adalah Pastor Henri van Driessche, SJ, Fransiskus Strater, SJ, dan Adrianus Djajaseputra, SJ.

Paseban Carolin Schmutzer (Sumber: dokumentasi pribadi)
Paseban Carolin Schmutzer (Sumber: dokumentasi pribadi)

5. Warisan yang Bertahan Lama

  • Ketika keluarga Schmutzer kembali ke Belanda (1934): Karena kesehatan Julius terganggu, keluarga Schmutzer kembali ke Belanda dan  pengelolaan aset mereka diserahkan kepada pihak lain. Sekolah diserahkan kepada Yayasan Kanisius, sementara para katekis dan pastor melanjutkan karya mereka secara mandiri.
  • Selama masa revolusi (1947-1949): Bangunan gereja, candi, rumah sakit, dan sekolah yang didirikan oleh keluarga Schmutzer selamat dari penghancuran. Hal ini mencerminkan bahwa kontribusi mereka dihormati oleh masyarakat lokal, bahkan di masa konflik.

Paseban Pastor Henri van Driesshe, SJ (Sumber: dokumentasi pribadi)
Paseban Pastor Henri van Driesshe, SJ (Sumber: dokumentasi pribadi)

6. Filosofi Luhur Keluarga Schmutzer

  • Keluarga Schmutzer sangat menghormati budaya lokal, mereka percaya bahwa iman Katolik dapat tumbuh subur tanpa harus menyingkirkan budaya asli masyarakat.
  • Keluarga Schmutzer melayani dengan kasih. Mereka tidak hanya memberi pekerjaan tetapi juga memberdayakan masyarakat melalui pendidikan, kesehatan, dan spiritualitas.
  • Keluarga Schmutzer sangat mencintai budaya Jawa, hal ini terlihat dari cara mereka berupaya memadukan keindahan seni dan tradisi lokal ke dalam karya iman.

Peran besar keluarga Schmutzer tidak hanya terbatas pada fisik bangunan Gereja Ganjuran, tetapi juga dalam membangun fondasi iman, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat. Warisan mereka terus hidup hingga kini melalui Gereja Ganjuran yang menjadi pusat spiritual sekaligus simbol harmoni antara iman dan budaya.

 Awal Mula Pendirian Gereja Ganjuran

Wacana mendirikan gereja Ganjuran muncul pada tahun 1912 ketika Julius dan Joseph Schmutzer, dua bersaudara pemilik Pabrik Gula Gondanglipuro menyadari pentingnya tempat ibadah bagi karyawan pabrik gulanya dan masyarakat sekitar Ganjuran.

Mereka tidak hanya ingin meningkatkan kesejahteraan ekonomi para buruh melalui pekerjaan di pabrik gula, tetapi juga ingin memberikan ruang untuk pengembangan iman kekatolikan.

Paseban Julius Schmutzer (Sumber: dokumentasi pribadi)
Paseban Julius Schmutzer (Sumber: dokumentasi pribadi)

Dengan semangat cinta pada budaya lokal, mereka merancang gereja yang memadukan unsur-unsur budaya Jawa dengan tradisi Katolik. Pada 16 April 1924, Gereja Ganjuran resmi berdiri, meskipun bangunan awalnya masih menggunakan gaya kolonial Belanda.

Gereja ini selesai dibangun pada 16 April 1924, dan beberapa bulan kemudian altar gereja diberkati oleh Mgr. Anton Pieter Franz van Velsen, S.J. (8 Februari 1865 – 6 Mei 1936), Vikaris Apostolik Batavia.

Salah satu elemen penting yang mencerminkan akulturasi budaya adalah patung Hati Kudus Yesus yang digambarkan sebagai Raja Jawa, sebuah simbol bahwa iman Katolik dapat berdampingan dengan budaya lokal.

Prasasti tanda pemurnian dan pemberkatan (Sumber: dokumentasi pribadi)
Prasasti tanda pemurnian dan pemberkatan (Sumber: dokumentasi pribadi)

Ajaran Sosial Gereja dalam Aksi Nyata

Julius dan Joseph Schmutzer menerapkan ajaran sosial gereja secara nyata melalui berbagai cara:

  1. Memperhatikan kesejahteraan ekonomi buruh. Pabrik Gula Gondanglipuro menjadi pusat pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat sekitar. Melalui pengelolaan yang adil, mereka memastikan buruh mendapatkan upah yang layak serta berbagai fasilitas pendukung seperti perumahan.
  2. Memperhatikan pendidikan dan kesehatan. Mereka mendirikan sekolah-sekolah yang kemudian diserahkan kepada Yayasan Kanisius, untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak buruh dan masyarakat kurang mampu. Selain itu, rumah sakit di sekitar Ganjuran juga menjadi bentuk nyata kepedulian mereka terhadap kesehatan masyarakat.
  3. Mendukung pemberdayaan sosial. Keluarga Schmutzer mendukung masyarakat Ganjuran untuk tetap menjalankan adat-istiadat mereka sambil perlahan-lahan memasukkan nilai-nilai Kristiani. Mereka percaya bahwa inkulturasi adalah cara terbaik untuk membangun hubungan yang harmonis antara iman dan budaya.

Berdoa & meditasi di depan candi Hati Kudus Yesus (Sumber: dokumentasi pribadi)
Berdoa & meditasi di depan candi Hati Kudus Yesus (Sumber: dokumentasi pribadi)

Candi Hati Kudus Yesus: Simbol Spiritualitas Lokal

Pada tahun 1927, Julius dan Joseph Schmutzer mendirikan candi di kompleks gereja sebagai tempat berdoa dan penghormatan kepada Hati Kudus Yesus. Candi ini dirancang dengan gaya arsitektur Hindu-Buddha Jawa yang kental, melambangkan perpaduan spiritualitas Katolik dengan tradisi lokal.

Di dalam candi, terdapat Patung Hati Kudus Yesus yang juga digambarkan dalam sosok Raja Jawa. Selain itu, terdapat mata air di bawah candi yang diyakini membawa berkah dan kesembuhan. Para peziarah sering mengambil air ini setelah didoakan sebagai simbol pengharapan kepada Tuhan.

Berdoa & meditasi di depan candi Hati Kudus Yesus (Sumber: dokumentasi pribadi)
Berdoa & meditasi di depan candi Hati Kudus Yesus (Sumber: dokumentasi pribadi)

Pendopo Bernuansa Jawa: Simbol Kepedulian dan Inklusivitas

Di kompleks gereja juga terdapat beberapa pendopo, seperti Pendopo Julius Schmutzer, Joseph Schmutzer, dan Pendopo Caroline Schmutzer. 

Selain itu, ada juga Pendopo Tekle, yang dinamai dari seorang perempuan cacat bernama Sarjiyem (Yu Tekle) yang berperan besar dalam membantu menjaga kebersihan gereja. Pendopo ini mencerminkan inklusivitas dan penghargaan terhadap kontribusi masyarakat lokal tanpa memandang status atau kondisi fisik mereka.

Masa Perjuangan Pasca Schmutzer

Pada tahun 1934, keluarga Schmutzer kembali ke Belanda karena alasan kesehatan Julius Schmutzer. Meskipun demikian, warisan mereka tetap hidup di Ganjuran. Para katekis awam melanjutkan pengajaran agama secara mandiri, dan sekolah-sekolah tetap berfungsi di bawah Yayasan Kanisius. Gereja Ganjuran pun terus berkembang dan resmi menjadi paroki pada tahun 1940 di bawah kepemimpinan Pastor Albertus Soegijapranata, SJ.

Meskipun sempat mengalami masa-masa sulit, seperti penghancuran pabrik gula oleh pasukan sekutu pada tahun 1948, gereja, candi, rumah sakit, dan sekolah tetap dilestarikan karena dianggap sebagai bagian dari hak masyarakat Jawa, bukan milik penjajah.

Relief-relief jalan salib di kompleks gereja Ganjuran (Sumber: dokumentasi pribadi)
Relief-relief jalan salib di kompleks gereja Ganjuran (Sumber: dokumentasi pribadi)

Akulturasi Gaya Bangunan Hindu-Buddha Jawa dalam Masyarakat Modern

Gereja Ganjuran dikenal sebagai salah satu contoh unik dari akulturasi budaya dalam konteks keagamaan. Gereja ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai simbol harmoni antara budaya Jawa dengan ajaran Kristen. Gereja ini menggambarkan bagaimana seni dan arsitektur Jawa dipadukan dengan nilai-nilai agama Kristen dalam menciptakan ruang ibadah yang khas.

Keunikan gereja Ganjuran terletak pada desain arsitekturnya yang mencerminkan ciri khas bangunan Hindu-Buddha Jawa, seperti atap limasan, ukiran kayu, dan ornamen-ornamen tradisional. Konsep ini bukan sekadar estetika, tetapi juga mencerminkan sikap inklusif gereja terhadap budaya setempat. Desain gereja ini menggambarkan upaya untuk merangkul budaya lokal tanpa mengorbankan esensi ajaran Kristen, menciptakan ruang yang bisa diterima oleh umat dari berbagai latar belakang.

Prasasti berdirinya gereja Ganjuran 1924 (Sumber: dokumentasi pribadi)
Prasasti berdirinya gereja Ganjuran 1924 (Sumber: dokumentasi pribadi)

Dalam konteks masyarakat modern, gereja Ganjuran tidak hanya menjadi tempat ibadah tetapi juga pusat budaya dan pendidikan yang memperkenalkan konsep-konsep akulturasi kepada generasi muda. Gereja Ganjuran juga memromosikan dialog antaragama dan penghargaan terhadap keragaman, yang semakin relevan dalam masyarakat yang semakin majemuk seperti sekarang.

Gereja Ganjuran merupakan contoh bagaimana arsitektur tidak hanya sebagai bagian dari budaya tetapi juga alat untuk membangun kesadaran sosial dan keagamaan di tengah masyarakat yang terus berubah. Dalam upaya menciptakan tempat ibadah yang inklusif, gereja ini menunjukkan bagaimana kita dapat merayakan identitas budaya dan agama dalam masyarakat modern.

Warisan yang Hidup

Gereja Ganjuran bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga simbol kepedulian sosial dan akulturasi budaya. Julius dan Joseph Schmutzer telah menunjukkan bagaimana ajaran sosial gereja dapat diwujudkan dalam tindakan nyata yang memberikan dampak besar bagi masyarakat.

Patung Yesus sebagai Raja Jawa (Sumber: gerejaganjuran.org)
Patung Yesus sebagai Raja Jawa (Sumber: gerejaganjuran.org)

Hingga kini, Gereja Ganjuran tetap menjadi pusat ziarah dan spiritualitas yang unik, di mana nilai-nilai keimanan, budaya Jawa, dan semangat inklusivitas hidup berdampingan secara harmonis. Warisan keluarga Schmutzer terus menginspirasi, menunjukkan bahwa iman yang diwujudkan dalam tindakan nyata memiliki kekuatan untuk mengubah kehidupan banyak orang.

Relevansi dengan Ajaran Sosial Gereja

Ajaran Julius dan Joseph Schmutzer mencerminkan nilai-nilai inti Ajaran Sosial Gereja, yaitu:

  • Martabat manusia, mereka memberi perhatian pada keseluruhan kebutuhan manusia
  • Solidaritas, mereka mengangkat masyarakat kecil lewat pendidikan dan pemberdayaan
  • Subsidiaritas, mereka membantu masyarakat untuk mandiri, bukan menggantungkan diri pada bantuan.

"Berkah Dalem" di gerbang masuk gereja Ganjuran (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Julius serta Joseph saling melengkapi dalam menekankan bahwa cinta kasih yang sejati bukan hanya soal materi, tetapi juga keterlibatan hati dan upaya membangun kehidupan yang lebih baik untuk sesama.

Selamat menjalani masa adven bagi sahabat yang menjalankannya. Salam, doa, cinta! (Yy)

Referensi :

  • wikipedia.com
  • begandring.com
  • jejakkolonial.blogspot.com
  • Felix Kris Alfian, dkk. Berkat Tuhan dari Ganjuran – 1 Abad Gereja HKTY. Kanisius. 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun