Gorengan dan jajanan anak-anak seperti cilok, takoyaki, sate tahu, sate usus, cilor dan masih banyak lagi dapat kita nikmati dengan harga Rp 1.000,- saja per buah.
Tradisi Ritual di Petilasan Eyang Sapu JagadÂ
Seperti yang saya alami ketika masa KKN, saat itu (2010), desa Maguan sangat erat dengan uri uri budaya dengan tradisi rutin selamatan bersih desa dan ritual doa yang dipanjatkan sebagai ungkapan syukur atas jasa Eyang Sapu Jagad.
Masyarakat secara rutin melakukan tahlilan, yasinan dan selamatan di mushola petilasan Eyang Sapu Jagad biasa dilakukan setiap malam Jumat Legi, hari pasaran paling baik menurut kalender Jawa.
Selain di malam Jumat Legi, kegiatan tradisi doa juga dilaksanakan pada Selasa Kliwon dan bulan Selo atau Apit dalam kalender Jawa.Â
Selo atau Apit mempunyai arti ‘terjepit’ di antara bulan Syawal yang di dalamnya terdapat hari Idul Fitri dan Dzulhijjah dengan hari Idul Adha.
Bulan Dzulkaidah atau Dzulqa'dah merupakan bulan yang dimuliakan oleh Allah SWT, secara urutan bulan ini merupakan bulan haram pertama dalam satu tahun dari empat bulan haram yang ada.
Pada Jumat Legi dan bulan Selo selalu ada hajatan atau selamatan meriah yang diadakan oleh pribadi atau keluarga yang doa-doanya pada Eyang Sapu Jagad dikabulkan Tuhan. Tak hanya selamatan namun ada pula yang menggelar pertunjukan wayang kulit.
Mitos Eyang Sapu Jagad
Warga di mana kami tinggal selama KKN, di desa Maguan dikenal sangat ramah dan sangat menjunjung tinggi nilai budaya yang berakar dari sastra lisan mitos Eyang Sapu Jagad.Â
Mitos ini sangat berpengaruh kuat bagi kehidupan masyarakat dusun Ubalan dan desa Maguan karena kedua petilasan ini terdapat di kedua tempat tersebut.
Hingga kini dua tempat petilasan Eyang Sapu Jagad dijaga oleh dua juru kunci. Di sumber umbulan dijaga oleh Bapak Suharto atau biasa dipanggil Mbah To, sedangkan juru kunci di musholla dan "kawah zedi" adalah Bapak Supangat.Â