Sejak zaman kolonial Belanda, budaya minum kopi di Indonesia sudah berkembang. Pada awalnya kebiasaan minum kopi dilakukan orang-orang Belanda melalui program tanam paksa. Seiring berjalannya waktu, budaya “ngopi” menjadi kebiasaan masyarakat pribumi.
Kebiasaan nongkrong di warung kopi yang biasa disingkat dengan warkop pun menjadi sebuah budaya yang melekat dalam masyarakat Indonesia. Warung kopi menjadi pusat interaksi sosial dan berkumpulnya berbagai kalangan, baik kelompok komunitas sosial maupun keluarga.
Warung kopi, kedai kopi atau yang lebih kekinian kita sebut kafe menjadi tempat nyaman untuk bertemu dan berinteraksi. Berbagai konsep menarik diaplikasikan demi menjadi pusat perhatian konsumen.
Kini, di era milenial beragam konsep baru meraja di berbagai kota di Indonesia antara lain seperti dalam tulisan saya sebelumnya tentang tren kafe pinggir kali (sungai) dan kafe pinggir rel kereta api yang menjamur dan menjadi pilihan untuk “ngopi” ala milenial.
Di tangan kaum muda milenial, warung kopi menjadi naik tingkat. Jika sebelumnya kita merasa cukup menikmati kopi di warkop atau warteg, kini kita dapat menikmati kopi plus merasakan vibes yang berbeda.
Kafe Pinggir Jalan atau “Street Cafe”
Sesuai dengan namanya, kafe yang digemari kaum milenial ini mengambil lokasi di pinggir-pinggir jalan.
Pinggir jalan yang dimaksud bukan di pinggir jalan raya, melainkan di pinggir-pinggir jalanan menuju sebuah komplek perumahan atau perkampungan atau di gang-gang besar sebelah kantor, sekolah, atau pasar.
Para penikmat kopi duduk di bangku-bangku plastik atau krat tempat botol minuman berukuran kecil di sepanjang jalan di area kedai atau kafe. Kafenya sendiri cukup menempati ruang yang tidak terlalu besar yang cukup sebagai tempat menyiapkan dan memroses pesanan.
Dengan konsep sederhana dan dengan harga terjangkau, kafe pinggir jalan ini tak pernah sepi pengunjung bahkan hingga 24 jam.
Desainnya juga cukup sederhana, terkesan vintage dengan khas tatanan mesin kopi dan display jenis-jenis kopi yang tersedia, namun justru membuat kafe ini sangat menarik.
Diiringi alunan musik klasik mampu menyihir para pengunjung untuk betah berlama-lama duduk di pinggir-pinggir jalan di bawah pohon ceri, bahkan menyeruput segelas kopi pun jadi tidak cukup. Tak jarang satu orang dapat berulang kali memesan minuman dan kudapan.
Menu dengan Harga Terjangkau
Jika mulai merambat malam kafe pinggir jalan ini semakin ramai oleh pengunjung. Selain karena sensasi remang-remang syahdu menu yang disajikan relatif ramah di kantong.
Di kota Malang terdapat beberapa kafe pinggir jalan yang menarik dan sangat ramai jika malam menjelang. Kafe pinggir jalan ini dipenuhi remaja-remaja milenial dengan aneka kepentingan.
Ada yang sekedar nongkrong bareng teman, ada yang dengan kekasihnya, nugas kuliah atau kerja, atau untuk memburu suasana syahdu.
Sesuai pasar, kafe pinggir jalan tidak mematok harga di atas Rp 20.000,-. Kebanyakan hanya menjual aneka kopi, teh, yogurt dan susu.
Namun beberapa kafe juga menyediakan kudapan ringan ala kafe industrial seperti menu platter kentang krispi, sosis, nugget; cireng, donat mini dan aneka camilan yang dibanderol tak lebih dari Rp 10.000,- per porsinya.
Murah tetapi Tidak Murahan
Dengan lokasinya di pinggir jalan serta dengan harga yang relatif terjangkau, bukan berarti kafe dengan konsep ini merupakan kafe “murahan”.
Anak-anak muda milenial yang kreatif ini juga menggunakan peralatan berstandart kafe kekinian yang modern meskipun tak selengkap dan secanggih kafe-kafe berkelas.
Vibes yang santai dan menenangkan, view yang estetik apalagi yang berlokasi di samping-samping gedung tua, pramusaji yang ramah dan enerjik juga menjadi daya tarik tersendiri bagi kafe-kafe pinggir jalan ini.
Tak hanya kaum muda milenial saja yang asyik menghabiskan waktu di kafe ini, keluarga dan komunitas-komunitas para bapak atau para mama pun juga tak jarang memilih kafe dengan konsep seperti ini.
Pasti terbersit pertanyaan, “Ngopi di pinggir jalan… gak bahaya ta?”
Para pemilik kafe jelas sudah memperhitungkan lokasi mana yang layak untuk mendirikan sebuah kawasan untuk kafe.
Kafe-kafe ini memiliki lokasi strategis di perkotaan namun masih dinilai sepi oleh lalu lalang kendaraan.
Duduk ngopi di pinggiran jalan sepanjang lorong jalan, atau duduk di tengah taman yang disediakan di antara jalan kembar.
Kafe Pinggir Jalan Favorit di Kota Malang
Kota Malang sebagai salah satu surganya kafe memiliki beberapa kafe pinggir jalan favorit yang mempunyai lokasi yang justru sangat asyik suasananya untuk bersantai dan ngopi.
Tiga kafe yang favorit di antaranya adalah :
- Warkop Djayantie, warkop legendaris ini sudah ada sejak tahun 1980 dan memiliki tiga cabang; di Jalan Hasanuddin, Jalan Taman Serayu, dan Jalan Sempu. Menyediakan menu kopi panas, aneka minuman dingan, minuman rempah, dan aneka gorengan.
- Toko Kopi Fajar Baru, warkop ini sudah berdiri sejak tahun 1994 dan sudah memiliki tiga cabang; di Jalan Hasanudin 5, Jalan Suropati 79 dandi Jalan Prof Moch. Yamin Nomor 53 yang buka 24 jam. Mempunyai konsep warung kopi milenial yang menyediakan minuman khas kopi tubruk, aneka kopi, coklat, dan susu baik panas maupun dingin.
- Puskesmas Ng’empon, berlokasi di jalan Serayu dengan menyajikan menu rempah dan kudapan yang terjangkau. Nama unik Puskesmas Ng’empon dapat diartikan dengan pusat minum empon-empon (rempah-rempah) kesehatan yang mampu meningkatkan stamina dan menjaga kesehatan tubuh.
Sebuah kreatifitas kaum muda milenial yang patut diacungi jempol dua, karena telah membawa warung kopi rakyat menjadi naik level dengan standart yang lebih baik.
Semoga tak lekang oleh waktu, sebab manusia cenderung cepat bosan dan selalu ingin dan ingin mencoba hal baru.
Hmmm... kebayang kan asyiknya, yuk kita cobain kawan. (Yy)