Aku masih termenung menatap jendela kamarku. Kupandang kamboja bermekaran tepat di halaman samping dekat jendela kamarku di lantai dua. Burung-burung gereja erasia melompat dan terbang di antara dahan dan rantingnya.
Kubiarkan cahaya mentari menembus vitras menerpa meja kerjaku hingga tampak berkilau. Sepotong mawar putih kuselipkan di antara bunga sedap malam di dalam vas kaca bening pemberian Omak ketika aku duduk di tingkat satu.
Kubuka buku panduan misa tahbisan imam Katolik yang sampulnya biru berhias frame bunga warna emas dan merpati putih yang cantik dan tampak elegan.
Kupejamkan mata sembari kunyanyikan bait-bait mazmur setengah suara dan ini mampu menenangkan perasaanku.
Tuhan adalah gembalaku
tak’kan kekurangan aku
Dia membaringkan aku
di padang yang berumput hijauIa membimbingku di air yang tenang
Ia menyegarkan jiwaku
Ia menuntunku dijalan yang benar
oleh kar’na nama-Nyasekalipun aku berjalan
dalam lembah kekelaman
aku tidak takut bahaya
sebab Engkau besertaku
Seminggu sebelumnya, ponselku off dan tidak menerima atau mengirim pesan apapun dan ke manapun. Sejak kunyalakan kemarin malam ia bergetar tiada henti sampai detik ini.
Ada debar yang tak menentu, namun berangsur lenyap ketika kudaraskan kidung Magnificat penyejuk jiwaku. Aku merasa tenteram di pelukan Ibunda Sang Kristus.
***
>“Bang, aku berjanji akan berada di antara umat yang menyaksikan engkau mengucap janji kudus dalam gereja katedral itu."
> Aku masih selalu mendukung semua keputusanmu…”
> "Jadilah pastor yang terbaik ya..."
> “Oh ya… akan kugandeng dia bersamaku”
> “Tidak perlu Abang jawab…”
> “Salam dan doaku selalu menyertaimu. Sampai jumpa”
Enam baris chat terakhir dari sekian banyak pesan Trias kubaca kembali perlahan. Kugigit tanpa sakit bibir bawahku. Kembali kupejamkan mata, kubiarkan angin berhembus menerpa wajahku.
“Frater Markus, ayo turun… kita makan siang dulu sebelum gladi bersih”, kudengar ajakan sahabatku Frater Jhon sambil mengetuk dan membuka pintu kamarku.
***
Dua jam lagi upacara dimulai. Aku masih gamang. Terngiang di kepalaku isi pesan whatsapp panjang lebar yang sempat menitikkan air mataku sekaligus membuatku gelisah sepanjang hari ini.
Dari samping balkon kamar, kuamati hiruk pikuk rekan-rekan adik tingkatku bagian logistik mempersiapkan giat malam setelah upacara nanti.
Satu dua tamu orangtua teman seperjuanganku duduk dengan baju adat mereka yang khas dan menakjubkan demi upacara sakral sore ini.
Among sudah tiada, Omak datang ditemani abang sulungku Philip juga sudah siap menghantarku sore ini. Tampak mereka mengobrol dengan itoku yang juga menghantar saudara lelakinya Sopan, teman seperjuanganku.
***
Pukul 16.30 tepat lonceng berbunyi seiring dengan lagu syahdu yang membuatku bergetar dan semakin maju tak gentar menuju altar. Di sana aku akan mengucapkan janji kudusku; ketaatan, kemiskinan dan kemurnianku di hadapan Tuhan.
Berbalut kasula kuning keemasan berhias kain khas Samosir membuatku semakin teguh berjalan menuju altar yang kudus. Lantunan nyanyian syahdu itu menggulir di nadi-nadiku.
Ke depan altar aku melangkah…
seraya bermadah gembira ria
Saat bahagia hari yang mulia
hari yang penuh kenanganTuhan berkenan pada yang hina
seluruh hidup aku abdi-Nya
Tuhan berkenan pada yang hina
seluruh hidup aku tetap jadi abdi-Nya
Kulirik Trias duduk di pinggir tengah. Kupandang ketulusan dan ketabahannya yang pasti tidak mudah.
Aku mengasihinya, namun bukanlah rasa cinta untuk bersatu raga melainkan menyatukannya dalam setiap doa untuk kebahagiaannya bersama Leo, pria yang akan menikahinya dua bulan mendatang. (Yy)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI