>“Bang, aku berjanji akan berada di antara umat yang menyaksikan engkau mengucap janji kudus dalam gereja katedral itu."
> Aku masih selalu mendukung semua keputusanmu…”
> "Jadilah pastor yang terbaik ya..."
> “Oh ya… akan kugandeng dia bersamaku”
> “Tidak perlu Abang jawab…”
> “Salam dan doaku selalu menyertaimu. Sampai jumpa”
Enam baris chat terakhir dari sekian banyak pesan Trias kubaca kembali perlahan. Kugigit tanpa sakit bibir bawahku. Kembali kupejamkan mata, kubiarkan angin berhembus menerpa wajahku.
“Frater Markus, ayo turun… kita makan siang dulu sebelum gladi bersih”, kudengar ajakan sahabatku Frater Jhon sambil mengetuk dan membuka pintu kamarku.
***
Dua jam lagi upacara dimulai. Aku masih gamang. Terngiang di kepalaku isi pesan whatsapp panjang lebar yang sempat menitikkan air mataku sekaligus membuatku gelisah sepanjang hari ini.
Dari samping balkon kamar, kuamati hiruk pikuk rekan-rekan adik tingkatku bagian logistik mempersiapkan giat malam setelah upacara nanti.
Satu dua tamu orangtua teman seperjuanganku duduk dengan baju adat mereka yang khas dan menakjubkan demi upacara sakral sore ini.
Among sudah tiada, Omak datang ditemani abang sulungku Philip juga sudah siap menghantarku sore ini. Tampak mereka mengobrol dengan itoku yang juga menghantar saudara lelakinya Sopan, teman seperjuanganku.
***
Pukul 16.30 tepat lonceng berbunyi seiring dengan lagu syahdu yang membuatku bergetar dan semakin maju tak gentar menuju altar. Di sana aku akan mengucapkan janji kudusku; ketaatan, kemiskinan dan kemurnianku di hadapan Tuhan.
Berbalut kasula kuning keemasan berhias kain khas Samosir membuatku semakin teguh berjalan menuju altar yang kudus. Lantunan nyanyian syahdu itu menggulir di nadi-nadiku.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!