“Maaf Bu, aku tak bisa pulang. Sejak operasi transplantasi ginjal aku sudah tidak mengurus perusahaanku yang terbengkalai,” Bagus menjawab telepon Ibunya.
Terdengar lirih oleh Tika istrinya suara tangis ibu mertuanya semakin hebat.
Wajah Tika memucat setelah tahu bahwa Danang, kakak kandung suaminya Bagus meninggal dunia 15 menit yang lalu. Hubungan Danang kakak iparnya dengan Bagus suaminya renggang sejak bapak mertuanya meninggal.
Diam-diam Tika menitikkan air mata, betapa jahat suaminya terhadap ibu dan kakaknya sendiri selama ini. Tika merasa bersalah.
***
Danang pemuda pendiam dan sederhana. Ia mewarisi ketenangan dan kesederhanaan bapaknya. Sang Ibu cenderung lebih tegas dan disiplin dalam mendidik kedua anaknya. Sebuah kolaborasi pendidikan dasar yang baik bagi pertumbuhan pribadi anak yang tampak dari dalam diri Danang dan adiknya Bagus.
Danang memilih untuk hidup di desa kelahirannya dan bertani bersama bapak ibunya. Ia menikah dengan teman masa kuliahnya dan dikaruniai dua anak yang masih kecil. Keluarga kecil Danang hidup bahagia meskipun tetap menerapkan kesederhanaan.
Perselisihan Danang dengan adiknya Bagas bermula sejak bapaknya meninggal empat tahun lalu. Sawah dan kebun kopi seluas 12 hektar di desa menjadi sengketa.
Bagus bersikukuh hendak menjual sawah dan kebun kopi itu, sedangkan Danang dan ibu berpendapat sebaliknya. Bagus murka dan memaksa meminta bagiannya.
Setelah melalui proses yang sangat berat dan panjang akhirnya Ibu mengabulkan permintaan Bagus tanpa merugikan putera sulungnya, Danang. Sebagian dari sawah dan kebun kopi yang menjadi bagian dan hak Bagus dijual.
Tanpa sepengetahuan Bagus, sebagian sawah dan kebun kopi yang menjadi hak Bagus dibeli oleh Danang, kakak kandungnya sendiri.
Bagus pun menerima bagiannya dan sejak saat itu ia tak lagi mau pulang ke kampung halamannya. Ia hidup dan menikah dengan Tika, mojang priangan dan menjadi pengusaha sukses di Jakarta.
***
Tiba-tiba Bagus mengerang dan berteriak keras. Meja kristal di hadapannya hancur berantakan. Mengucur darah segar di kedua pergelangan tangan dan lengannya. Tika yang masih sesenggukan kembali menegaskan kata-katanya.
“Benar pa, Mas Danang yang telah memberikan ginjalnya padamu. Ia tak memperbolehkan aku memberitahumu bahwa ia yang mendonorkan ginjalnya untukmu, ia juga yang menolak uang ganti ginjal darimu”. (Yy)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H"Baik-baiklah pada saudaramu, mereka adalah hubungan terbaikmu di masa lalu dan akan selalu bersamamu di masa depan." -Baz Lurhmann