Cuaca panas sekali. Keringat sebesar butiran jagung pipil menetes membasahi tepian kaos polo lumut segar yang dikenakan Om Har. Di warung langganannya Om Har menghabiskan tahu pong terakhir yang sengaja dia rendam dengan saus petis.
Ia susulkan dua cabe rawit dan mengunyahnya sampai matanya berkejap-kejap karena kepedesan. Keringatnya semakin memenuhi kedua keningnya yang mulai berkerut. Ia raih segelas air putih hangat dan langsung meneguknya habis.
“Cik, buatkan aku segelas teh tawar panas ya…”, seru Om Har pada Cik Ing pemilik warung tahu pong yang terkenal di kota itu.
“Iya Koh, Wahyu juga mau tambah minum?”, jawab Cik Ing sembari bertanya pada Wahyu asisten dan sopir pribadi Om Har yang juga terlihat kepedesan.
“Udah cukup Cik Ing… kamsia,” Wahyu menjawab sambil mencomot tusuk gigi lalu pamit Om Har menuju mobil.
Om Har dikenal sebagai sosok sederhana dan hobi nongkrong di warung kaki lima. Menu jadul tahu pong adalah salah satu menu favoritnya selain sate dan sop kambing di warung pinggir jalan. Sudah 36 tahun Om Har menjadi pelanggan setia Warung Cik Ing, sejak masih jadi buruh pabrik sabun colek.
Tak banyak orang tahu Om Har yang gemar makan di warteg dengan tampilan sederhana adalah orang tajir ketiga di negeri ini. Deretan asset dan kekayaannya ditaksir bernilai ratusan trilyun.
Sangat fantastis dan bertolak belakang dengan penampilannya yang biasa-biasa, ramah dan dermawan.
Seperti padi, semakin berisi semakin merunduk, Har terbiasa hidup sederhana di tengah kesuksesan yang diraihnya. Jauh dari kata sombong apalagi pamer-pamer kekayaan di publik.
“Cik, aku gak isa lama-lama, gak isa santai kayak dulu lagi,” tiba-tiba Om Har mengeluarkan sejumlah uang dari saku celana pendeknya berwarna khaki untuk membayar sarapannya.