Mohon tunggu...
Yayuk Sulistiyowati M.V.
Yayuk Sulistiyowati M.V. Mohon Tunggu... Guru - Pembalap Baru

SOLI DEO GLORIA

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Perjuangan Single Mom Bertahan di Kelas Menengah (Cenderung ke Bawah)

4 Maret 2024   14:47 Diperbarui: 5 Maret 2024   16:16 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

“Single bukanlah status. Ini adalah kata yang menggambarkan seseorang yang cukup kuat untuk hidup dan menikmati hidup tanpa bergantung pada orang lain.”

Menjadi orangtua tunggal bukanlah hal mudah. Sejak realita memaksa seseorang menjadi single mom oleh karena suatu peristiwa yang membuat kita hanya mampu untuk mengikhlaskan pasangan pergi ke hadirat ilahi, semua berubah menjadi perjalanan hidup yang penuh dengan kejutan.

Merawat dan membesarkan tiga buah hati yang masih butuh perhatian seorang sendiri menjadi tantangan yang tidak mudah. Suatu ketika saya dihadapkan pada realita untuk bangkit dan terus berjuang tanpa membiarkan air mata mengalir terlalu lama. Cukup ia mengalir di saat berdoa saja, selebihnya adalah perjuangan nyata untuk mempertahankan hidup.

Sebagai Ayah Sekaligus Ibu

Tidak mudah bagi seorang guru swasta dengan penghasilan tambahan pensiunan janda PNS untuk bertahan hidup di zaman yang serba tidak menentu seperti sekarang ini bersama tiga anak yang “harus” tetap bersekolah.

Orangtua bilang kita harus mampu mengelola keuangan dengan baik sehingga semua kebutuhan dapat terpenuhi. Jujur saja tidak mudah. Bagi saya, menjadi orangtua tunggal sama halnya harus mampu menjadi ayah sekaligus ibu, di mana segala hal ditimbang, diingat, diperhatikan dan diputuskan sendiri. Apalagi anak-anak masih sangat belia, mau tidak mau semua ada dalam kendali kita.

Hidup di Kelas Menengah Cenderung ke Bawah

Relita yang saya alami cukup pahit, namun ada keyakinan bahwa saya bisa melampauinya jika mau berusaha dan tidak menyerah. Saya tidak sendiri, saya yakin di berbagai sudut belahan dunia juga begitu banyak yang senasib bahkan ada banyak yang masih jauh kurang beruntung.

Dahulu semua kebutuhan dapat terpenuhi dengan baik karena saya dan almarhum suami sama-sama bekerja, gaji plus tunjangan anak istri cukup. Rumah terawat, perabot utuh, anak-anak tumbuh sehat bahkan mampu meluangkan waktu untuk jalan-jalan saat liburan tiba. 

Kini, saya harus tetap menjalani semua dengan ikhlas dan lurus menatap masa depan meski saat menghadapi masa transisi sangat menguras pikiran juga air mata. Menyiapkan dan mendampingi anak-anak untuk kuat dan bertahan pun perlu perjuangan panjang. Saya hanya terus menyemangati diri, perjalanan masih jauh…

Kondisi seperti ini membuat saya masuk dalam perangkap di kelas menengah yang rentan menjadi miskin, tepatnya jadi cenderung ke bawah. Satu anak dapat bayar SPP, dua anak tunggu dulu demikian seterusnya. Kakaknya bisa bayar UKT, SPP adik-adiknya terpaksa harus jalan di tempat demikian seterusnya. Anak-anak harus tetap bersekolah!

Kepahitan bertambah saat melihat rumah yang ditinggali semakin menua dan rapuh tanpa biasa melakukan perbaikan, perabot dan peralatan elektronik rewel, macet dan kemudian rusak tanpa bisa memperbaharuinya kembali apalagi membeli baru. Nyaris tidak mungkin!

Semua menunggu, menunggu apa?

Menunggu pensiunan janda dan gaji naik meskipun masih hanya bisa untuk makan dan minum karena harga sembako pun lebih dulu pada naik. Kebutuhan lain seperti listrik, air, wifi dan pulsa dijalani seperti “dolanan dakon” (Bahasa Jawa: mainan dakon, sebuah mainan tradisional anak-anak) di mana butir-butir dakon diambil untuk mengisi ceruk-ceruk hingga semua terisi. Dapat diartikan kita dapat memenuhi kebutuhan hidup secara bergantian hingga semuanya terpenuhi.

Jika menunggu anak-anak beranjak dewasa dan bekerja. Ah, masih jauh dan pantang untuk membebankan semua kepada anak.

Sebuah perjalanan panjang dan masih harus menjalani proses yang penuh drama dan intrik apalagi yang berurusan dengan kebutuhan penting selain sembako seperti gas, air, listrik dan jaringan internet. 

Menurunkan daya listrik dengan proses berliku hingga akhirnya menyerah untuk tetap bertahan, membayar wifi Ind****e yang setiap kurun waktu justru semakin beranjak naik tanpa ba bi bu. Leher seperti tercekik tak mampu menelan, apalagi bernafas.

Masih bersyukur anak-anak mendapat KIP sekolah berkat status anak yatim meskipun tidak tiap tahun. Si bungsu SMP mendapat seperempat semester, sekali dalam tiga tahun. 

Anak yang SMK mendapat KIP sekali dalam tiga tahun. Yang sulung kuliah tidak mendapat KIP, namun sangat bersyukur mendapat beasiswa kampus sehingga hanya membayar UKT saja.

Berbeda dengan teman-teman mereka yang murni mendapat KIP sekolah maupun KIP kuliah setiap tahun, kami masih harus memenuhi semuanya dengan segala kemampuan yang ada. 

Untuk mendapatkan KIP diperlukan KKS (Kartu Keluarga Sejahtera), itu yang menjadikan agak sulit. Dikatakan tidak mampu rumah masih layak walapun milik orangtua. Gaji pun ganda; gaji sendiri dan pensiunan janda. Namun dikatakan cukup juga masih harus mencari pekerjaan sambilan.

Ya sudahlah, gembira saja… toh masih wajar untuk pura-pura tertawa selama tidak tertawa sendiri.

Kepo dengan jurus Kungfu jumpalitan apa yang saya lakukan hingga saya tetap bertahan di posisi menengah (cenderung ke bawah) ini? Yuk kita simak curhatan kisah saya…

Menjadi Ojek Online dan Offline

Perekonomian kami sudah mulai surut sejak pertengahan tahun 2016 almarhum suami divonis menderita penyakit Hepatitis B. Semua sudah mulai berubah. Penghasilan terbagi untuk perawatan suami yang keluar masuk rumah sakit selama hampir dua tahun.

Kondisi ini yang menuntut saya harus mencari penghasilan tambahan. Mei 2017 saya mulai menjadi ojek online sepulang kerja. Sebuah pekerjaan yang menuntut kekuatan fisik, di mana harus menjalankan tugas sebagai istri, ibu, pegawai, dan juga sebagai driver ojek setiap hari. 

Side job ini saya jalani selama satu tahun saja karena April 2018 suami saya harus menghadap ke haribaan-Nya.

Saya harus fokus pada anak-anak dan ibu saya yang sudah menua dan membutuhkan perhatian saya. Hanya sesekali saya dimintai tolong untuk ojek antar orang dan barang secara offline.

Berjualan Online

Pandemi Covid-19 menyerang juga sangat berpengaruh dalam kehidupan keluarga kami. Berkat seorang sahabat saya bergabung untuk menjadi penjual tahu sutra yang sempat booming pada waktu itu. 

Tak hanya tahu sutra, saya juga menjadi penjual bawang bombay, bawang merah, bawang putih, sayur dan buah-buahan juga segala kebutuhan rumah tangga secara online. Saya mengantar sendiri dari rumah ke rumah dalam situasi pandemi yang mencekam.

Ketika pandemi berlalu, kegiatan ini pun berangsur-angsur berhenti karena masyarakat sudah dapat mencukupi kebutuhan dengan berbelanja langsung ke toko, warung, dan pasar.

Sebagai Pelatih Amatiran Kelompok Paduan Suara 

Ada satu yang istimewa selain menjadi penulis amatiran dalam beberapa komunitas menulis bersama selama pandemi melanda dan ini menjadi hal yang masih bertahan hingga sekarang. Saya dimintai beberapa kelompok untuk melatih koor, baik untuk lomba, untuk sebuah acara lembaga, gereja dan juga sekolah. 

Kemampuan saya yang masih jauh dari sempurna ini cukup mampu menyokong kebutuhan kami yang  besar pasak daripada tiang.

Sebuah kebanggaan dan juga membuat terharu, ketika kelompok yang saya temani meraih juara. Saya juga begitu gembira ketika semuanya dapat menampilkan yang terbaik.

Menikmati Sekolah Hidup di Kelas Menengah

Ketiga jurus Kungfu jumpalitan yang tertuang dalam kisah di atas hanya sebagian dari upaya saya untuk bertahan hidup meskipun masih terombang-ambing di tengah arus kehidupan kelas menengah (cenderung ke bawah) ini. 

Saya bersyukur dan berterima kasih bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan umat-Nya berjalan sendirian. Tuhan memberi rezeki melalui siapa saja dan rezeki itu mengalir berupa apa saja hingga sampai di titik ini. 

Saya tidak pernah dapat mengingkari kebaikan saudara dan sahabat-sahabat saya yang mendukung dan memberi support terhadap saya hingga tetap berdiri kokoh hingga saat ini.

Ibarat sekolah hidup, kita nikmati saja sambil terus belajar dan belajar sembari berjuang hingga naik kelas. Perlu proses effort dari masing-masing pribadi. 

Seperti pepatah mengatakan, “hidup itu seperti roda yang berputar, ada saatnya di bawah ada saatnya di atas”, saya yakin hidup ini akan tiba di atas ketika roda menggiring kita ke atas, tidak cepat atau tidak lambat tetapi tepat pada waktunya. Kapan?

Ya sabar saja. Kita sehat, kita bahagia, kita sejahtera. Amien. Salam semangat! (Yy)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun