Dukut Imam Widodo dalam buku Malang Tempo Doeloe (Bayumedia, 2006) menjelaskan bahwa Boso Walikan ini digunakan sebagai bahasa isyarat atau sandi dalam melakukan perlawanan oleh Gerilya Rakyat Kota oleh pejuang gerilya pada Agresi Militer II (Maret 1949).
Bahasa isyarat atau sandi diperlukan sebagai sarana komunikasi yang menjamin kerahasiaan, khususnya sebagai identifikasi pengenal mana kawan, mana lawan. Hal ini dirasa sangat penting karena pada masa perang, Belanda selalu menyebar mata-mata dalam melakukan gerakan dan serangan. Sandi diperlukan untuk mengacaukan taktik Belanda.
Tercatat dalam sejarah tiga nama pahlawan yang ikut andil dalam tercetusnya kode Boso Walikan ini. Mereka bertiga adalah Mayor Hamid Roesdi, Suyudi Raharno dan Wasito, kera ngalam jika dibaca terbalik artinya arek Malang pertama yang menjadi penentu keberhasilan melawan pasukan Belanda.
Pahlawan asli Malang, Mayor Hamid Roesdi gugur tertembak di dukuh Sekarputih, Wonokoyo pada 8 Maret 1949. Pada September 1949, Suyudi Raharno juga gugur disergap Belanda di pagi buta di pinggiran wilayah dukuh Genukwatu (sekarang Purwantoro). Seminggu sebelum itu, Wasito kawan akrab yang turut mencetuskan Boso Walikan juga gugur dalam pertempuran di Gandongan (sekarang Pandanwangi).
Untuk mengenang jasa Mayor Hamid Roesdi dibuatlah patung yang tinggi menjulang di jalan Simpang Balapan, Ijen Boulevard Malang.
Sebuah Kekayaan Budaya
Boso Walikan yang pada mulanya sebagai sandi dalam perang gerilya, mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Boso Walikan menjadi Bahasa pergaulan sehari-hari dan berkembang sesuai  kondisi masyarakat setempat hingga menjadi bahasa prokem (slang) khas dalam kehidupan masyarakat Malang.
Perlu kita ketahui juga bahwa tidak semua kata atau bahasa dapat begitu saja diubah atau dibalik. Kata-kata umum saja yang biasanya dibaca secara terbalik, seperti nakam (makan), uklam (mlaku), ilakes (sekali), rudit (tidur), kadit (tidak) dan masih banyak lagi.Â
 Sangat nampak kata-kata tersebut hampir semua kata diambil dari Bahasa Indonesia dan bukan dari Bahasa Jawa. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa kata-kata yang mudah dibalik justru kata-kata dalam Bahasa Indonesia. Â