Mohon tunggu...
Yayuk Sulistiyowati M.V.
Yayuk Sulistiyowati M.V. Mohon Tunggu... Guru - Pembalap Baru

SOLI DEO GLORIA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Artefak Linggopala Ganesha Bukti Eksistensi Mpu Bulul dan Bunulrejo

25 November 2023   10:00 Diperbarui: 28 November 2023   13:20 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolase Artefak Arca Ganesha dan Inskripsi Prasasti Kanuruhan | dok. pribadi & bunulrejomalang.com

 

       Kita telah mengenal Mpu Bulul sebagai ksatria mandra guna sekaligus sebagai seorang ahli taman dan merangkai bunga upacara kerajaan pada masa Kerajaan Medang (929 M - 949 M).

       Kisah tentang pemuda ksatria dan ahli taman ini secara lengkap dapat dibaca di dua tulisan tentang Mpu Bulul sebelumnya.

       Kali ini penulis akan mengajak sahabat semua untuk mengetahui apa isi dari prasasti yang terpahat di bagian belakang arca Ganesha yang saat ini menjadi koleksi museum Mpu Purwa Malang.

       Pahatan aksara Jawa Kuna yang terpahat di sana merupakan bukti tersurat tentang keberadaan desa Bunulrejo yang pada saat itu bernama desa atau wanua Kajatan. Seiring waktu nama desa berganti desa Bunul mengacu pada nama pengelola desa tersebut yang bernama Bulul, sang pemuda yang buah karyanya berupa taman dan telaga mampu memikat hati Rakai Dhyah Mungpang.

Inskripsi Prasasti Kanuruhan

       Di balik arca Ganesha yang tampak tidak utuh ini terpahat Prasasti Kanuruhan. Terlihat Ganesha duduk di atas bantalan berhias teratai atau padma yang disebut dengan padmasana. Inskripsi Prasasti Kanuruhan ini mengisahkan tentang keberadaan awal arca Ganesha, yaitu dari kawasan desa Kajatan (nama awal desa Bunulrejo).

       Deretan pahatan aksaranya ditulis dengan aksara Jawa Kuna dalam bahasa Jawa Kuna yang menyebutkan bahwa pada tahun 856 Saka bulan Pausha atau Posya, wuku Wukir, tepatnya hari Minggu Legi, 4 Januari 935 M pukul 12.00, Rakai Kanuruhan Dhyah Mungpang memberikan waranugraha sebagian tanah di wanua atau desa Kajatan, watak Kanuruhan kepada pemuda bernama Bulul atas jasa-jasanya.

       Waranugraha dari Rakai Kanuruhan Dhyah Mungpang ini berupa sebidang tanah yang dimaksudkan untuk membuat taman lengkap dengan petirtaannya atau dapat diartikan sebagai telaga.

       Dituliskan juga bahwa para saksi pada penetapan status sima (perdikan) ini mendapatkan hadiah-hadiah (pasek-pasek). 

       Hadiah untuk sembilan orang  pimpinan dari pejabat tinggi di watak Kanuruhan masing-masing mendapatkan emas 1 keping dengan berat 4 masa, sedangkan enam belas saksi dari para patih masing-masing berupa emas 1 keping dengan berat 8 masa.

       Selain menuliskan waranugraha, prasasti ini menyebutkan ketetapan sima (perdikan) tentang sumpah kutukan (sapatha) bagi para pengganggu dan perusak bangunan anugerah dari Rakai Kanuruhan Dhyah Mungpang ini.

Sumpah kutukan tersebut disebut pancamahapataka atau lima dosa besar yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

  • satu, membunuh seorang Brahmana
  • dua, melakukan lamwukanya (membunuh atau memperkerjakan perempuan muda)
  • tiga, durhaka kepada guru
  • empat, membunuh janin
  • lima, berteman dengan keempat pelaku di atas (Stutterheim, 1927).

Seperti isi sebuah surat keputusan, pengesahan sima (perdikan) tersebut ditutup oleh pimpinan atau ketua para abdi (pengiring atau pembantu) bernama Sang Padma.

       Nama prasasti ini “Prasasti Kanuruhan” sesuai nama pejabat yang mengeluarkannya (Sedyawati, 1985), namun prasasti ini dikenal juga dengan “Prasasti Bulul” dan atau “Prasasti Rampal”.

Arca Dewa Hindu

       Seperti yang telah penulis uraikan dalam tulisan-tulisan sebelumnya, kondisi arca Ganesha yang satu ini tampak tidak utuh. Terlihat setengah bagian dada ke atas dan belalainya hilang, dua tangan bagian belakang terlihat patah dan tiga telapaknya pun juga hilang. Diduga potongan kepala arca ini sengaja dihancurkan dan dimasukkan ke dalam petirtan atau telaga.

       Pada masa kolonial Belanda, artefak arca batu atau linggopala atau linggoprasasti Ganesha yang berukuran panjang 101,5 cm, lebar 74 cm, dengan tinggi 109,5 cm ini ditemukan di dukuh atau kampung "Beji" desa Bunulrejo.

       Arca Ganesha ini mempunyai posisi duduk seperti bayi di atas bantalan motif bunga teratai ganda atau yang disebut dalam bahasa Sansekerta padmasana; padma (bunga teratai) dan asana (alas duduk).  

       Sikap duduk bersila atau disebut uttkutikasana, dengan posisi kaki bersila dan dua telapak kakinya bertemu.

       Berdasarkan cerita warisan leluhur bapak Mohammad Dasir atau mbah Dasir sang pemilik tanah pada waktu itu, sejak diketemukan arca Ganesha ini sudah dalam kondisi yang tidak sempurna.

       Sesuai yang terpahat dalam prasasti, arca yang terbuat dari batu andesit ini merupakan pengabadian waranugraha  yang diberikan oleh Rakai Kanuruhan Dyah Mungpang kepada Bulul. 

       Kerajaan Medang (Mataram baru) mempunyai Raja Mpu Sindok yang beragama Hindu. Dalam agama Hindu, arca Ganesha merupakan arca dewa Hindu yang digambarkan berkepala gajah bertangan empat atau caturbhuja yang membawa laksana

        Oleh karena ditemukan sudah dalam kondisi tidak utuh maka tidak pernah diketahui laksana apa yang dibawa arca Ganesha ini.

        Berdasarkan filosofi terdapat empat laksana yang dipegang oleh Ganesha dan dapat digambarkan sebagai berikut :

  • tangan kanan atas memegang tasbih (aksamala) sebagai lambang pengetahuan yang tiada putus, lambang kebijaksanaan dan pengetahuan spiritual.
  • tangan kanan bawah memegang patahan gading (danta) yang merupakan lambang pengorbanan diri untuk menyelesaikan masalah yang menghalangi kemajuan
  • tangan kiri atas membawa kapak (parasu) sebagai lambang penghancur rintangan serta lambang ksatria.
  • tangan kiri bawah memegang cawan manisan (patta)  yang merupakan lambang kebahagiaan atau hasil yang manis setelah menghalau halangan dan rintangan.   

Arca Ganesha di Candi Prambanan | kebudayaan.kemendikbud.go.id
Arca Ganesha di Candi Prambanan | kebudayaan.kemendikbud.go.id

       Konon arca dewa Hindu bernama Ganesha ini diletakkan di sisi telaga yang dibangun oleh pemuda Bulul. Sesuai dengan yang diyakini oleh masyarakat Hindu, arca Ganesha jenis ini merupakan arca yang penempatannya berhubungan dengan kekuatan magis terhadap tempat yang dijaganya, seperti penemuan sungai, telaga, jurang atau daerah yang dibebaskan (sima atau perdikan) bagi penduduk. Ganesha ini disebut dengan Vigna Vigneswara atau Dewa Penghancur Gangguan. 

       Sangat tepat jika pada saat itu arca Ganesha ditempatkan di telaga buatan Bulul, agar daerahnya aman dan bebas dari gangguan orang yang bermaksud jahat.

       Arca ini terletak di dekat aliran anak sungai Bango yang berjarak 750 meter dari pertemuan (tempuran) sungai Bango dengan anak sungai. Ia ditempatkan di kawasan yang dinilai sebagai daerah berbahaya yang memerlukan "media penawar" yang dalam konsepsi Hindu berupa arca Ganesha.

‘Screenshot’ Peta Kelurahan Bunulrejo dan perkiraan situs Taman & Telaga melalui Google Map | dok. pribadi
‘Screenshot’ Peta Kelurahan Bunulrejo dan perkiraan situs Taman & Telaga melalui Google Map | dok. pribadi

Si Mbah "Mbeji Sari"

       Menuliskan bagian ini penulis merasa semakin bersemangat karena ketika menggali informasi tentang bagian penting ini menyisakan sebuah perjalanan yang sangat berkesan. Beberapa kali penulis mengalami hambatan.

       Mengawali perjalanan hunting informasi bagian situs ini penulis salah lokasi. Penulis memulai dari awal lagi dan beberapa kali tidak dapat bertemu dengan narasumber utama yang berkaitan langsung dengan situs ini karena beliau sakit.

       Berbekal kiriman foto semua lembar buku Sejarah Kelurahan Bunulrejo (2005) melalui pesan whatsapp langsung dari penulisnya, Bapak Suwardono penulis membaca ulang dan ulang lagi demi menemukan lokasi yang tepat di mana situs ini berada.

       Dalam kurun waktu hampir dua pekan akhirnya penulis dapat bertatap muka dan mengobrol dengan santai bersama Mbah Rusiyem (89 tahun) dan Mbah Sumani, suaminya.

       Mbah Rusiyem adalah adik kandung Mbah Dasir seorang pegawai Dinas Kebersihan Kota Malang seperti dikisahkan pada tulisan sebelumnya merupakan pemilik rumah tepat di area situs taman dan telaga ini berada.

       Dengan gamblang dan jelas Mbah Rusiyem menceritakan bahwa di area situs taman dan telaga inilah arca dewa Hindu Ganesha ini ditemukan pada masa kolonial Belanda. 

       Pada waktu itu area ini milik seorang meneer Belanda bernama Brismach. Meneer Brismach menikah dengan nenek buyut mbah Dasir dan mbah Rusiyem yang berasal dari Tengger dan menganut agama Hindu.

       Arca ini dirawat dengan baik dan sangat diagungkan oleh keluarga meneer Brismach dan dipercaya sebagai penjelmaan seorang yang punya peranan penting pada masa lampau.

Mbah Sumani dan Mbah Rusiyem adik Mbah Dasir, pemilik tanah area situs di Kampung Mbeji Gang Buntu | dok. pribadi 
Mbah Sumani dan Mbah Rusiyem adik Mbah Dasir, pemilik tanah area situs di Kampung Mbeji Gang Buntu | dok. pribadi 

       Dengan didampingi suaminya, Mbah Rusiyem bercerita bahwa sesuai  mitos yang diyakini warga setempat pada waktu itu, arca Ganesha ini dijuluki  "Mbah Mbeji Sari" yang mempunyai pendamping seorang putri bernama Trisnawati.

       Dijuluki "Mbah Mbeji Sari" karena arca ini terletak persis di situs taman dan telaga yang dikenal dengan Kampung Beji dan mempunyai kondisi ekologi kampung yang dilengkapi dengan telaga atau kolam atau beji.

       Jauh sebelumnya terdapat tiga batu besar di samping arca yang kemudian dihancurkan oleh warga setempat. Mbah Rusiyem tidak mengetahui secara pasti mengapa tiga batu itu dihancurkan karena pada saat itu beliau masih kanak-kanak.

       Masih lekat dalam ingatan Mbah Rusiyem bahwa setiap kali ada warga  yang mengadakan selamatan harus memberi sesajen pada arca "Mbah Mbeji Sari" jiika tidak ingin kena sawan atau tulah.

       Sandingan atau sesajen yang diletakkan di arca "Mbah Mbeji Sari" ini cukup banyak. Isi sesajen berupa bunga, nasi pucat, nasi putih, jenang merah, air badhek (ragi tape ketan hitam), air putih, uang satu sen, gula aren, nasi lengkap dengan leher, sayap, ekor, kaki atau ceker dan jerohan ayam yang diletakkan dalam canang atau takir. Selain memberi sesajen juga dilakukan ritual membakar merang dengan menyan dari Arab yang mempunyai wewangian yang khas.

       Pada part ini Mbah Rusiyem bercerita sambil tak henti tertawa. Rusiyem kecil pernah hilang dan baru diketemukan keesokan harinya tidur di samping arca "Mbah Mbeji Sari". 

Warga kampung Beji meyakini bahwa hal ini terjadi karena si Rusiyem kecil telah nakal memakan sesajen berupa olahan sayap ayam yang diletakkan di arca "Mbah Mbeji Sari".  

       Semenjak kejadian itu, Rusiyem kecil merasa kapok dan selalu meminta maaf pada "Mbah Mbeji Sari" setiap kali melewati arca Ganesha ini. Ia menunduk sembari mengucapkan permohonan maaf.

Arca Ganesha Dipindahkan

       Tahun 1960 area situs ini ditimbun atau diurug hingga tanpa bekas. Yang tersisa hanya arca "Mbah Mbeji Sari" yang diletakkan di sebelah gang buntu Kampung Mbeji.

       Pada saat itu belum ada penanganan serius dalam menjaga kawasan atau situs peninggalan purbakala dan atas pertimbangan kebutuhan warga akan tempat tinggal dibangunlah hunian di atas situs telaga ini. Salah satu bangunan di atas situs telaga ini adalah Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh Jl. Hamid Rusdi (kampung Mbeji Gang Buntu) nomor 171, RT. 01 / RW. 12.

Kampung Mbeji Gang Buntu di Jl. Hamid Rusdi tempat situs berada | dok. pribadi (2023)
Kampung Mbeji Gang Buntu di Jl. Hamid Rusdi tempat situs berada | dok. pribadi (2023)
       Gereja ini berdiri sejak tahun 1977 dan di dalam kampung Beji gang Buntu terdapat 6 bangunan rumah warga. Kampung ini berdekatan dengan area pemakaman Ngujil dan tidak terlalu jauh dari pasar tradisional Bunulrejo yang kelak direvitalisasi menjadi pasar berbasis wisata.

       Tahun 1978, arca Ganesha ini dipindahkan ke kantor Dinas Pekerjaan Umum Kotamadya Malang oleh Kepala Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak Djoko Rihadi dengan alasan keamanan dan pengamanan.

       Tahun 1991, arca Ganesha beserta arca-arca yang lain yang dilindungi oleh negara dipindahkan ke Taman Rekreasi Senaputra Malang (sekarang menjelma menjadi cafe).

       Tahun 1997 arca ini dipindahkan dan dititipkan pada rumah makan Cahyaningrat dan akhirnya di tahun 2003 semua arca ini dipindahkan di Balai Penyelamatan Benda Cagar Budaya "Mpu Purwa" Jl. Soekarno Hatta 210, Mojolangu Kota Malang hingga sekarang.

       Sampai dengan saat ini kampung kecil di sekitar daerah situs ini bernama kampung Mbeji Gang Buntu. Mitos "Mbah Mbeji Sari" ini pun sangat dikenang masyarakat sekitarnya. Kata "Beji" sendiri mempunyai arti petirtaan atau telaga (Zoetmulder, 2004), dan Sari berarti bunga. Hal inilah yang menunjukkan bahwa erat sekali hubungan kampung Beji dengan isi dari prasasti Kanuruhan.

Bukti Keberadaan Desa Bunulrejo di Era Kerajaan Medang

       Berdasarkan rangkaian kisah yang tersurat pada inskripsi prasasti Kanuruhan yang telah penulis jabarkan dapat ditarik benang merah bahwa  artefak linggopala atau arca batu Ganesha yang kemudian dijuluki Mbah Mbeji Sari merupakan bukti keberadaan desa Bunulrejo pada masa Kerajaan Medang.

       Desa yang dulunya bernama Kajatan yang dalam perkembangannya berganti nama menjadi desa Bunulrejo mengacu pada pengelola desa yang mempunyai hak otonom penuh yaitu seorang pemuda bernama Bulul. 

       Karena kepiawaiannya mengelola desa, kesaktiannya yang tak tertandingi, serta keahliannya sebagai ahli taman yang membuahkan mahakarya maka pemuda yang diberi gelar "Mpu" (ahli) menjadikan daerah ini menjadi ikon pada era Kerajaan Medang.

       Jujur saja sebagai warga Kelurahan Bunulrejo sekaligus berdomisili di dekat kawasan situs "Kampung Beji Gang Buntu" penulis merasa bangga pada sejarah di balik cikal bakal keberadaan Kelurahan Bunulrejo ini. Penulis pun merasa bahwa kisah sejarah ini layak diketahui dan dikenal oleh masyarakat luas terlebih para generasi penerus di masa depan.

Wah sangat mengasyikkan juga kisah arca Ganesha yang bersila di atas padmasana ini...

Satu hal lagi yang menarik, pasti ada hubungannya antara Bulul dengan bunga teratai atau padma dan bunga upacara yang sangat penting pada masa Kerajaan Medang sebagai kerajaan Hindu.

Kita kupas pada tulisan berikutnya ya... Salam. 

***

Sumber : Malang Cilin Digital Acces :
Eko-Sosio-Kultura Lokal Kota Malang dalam Perspektif Historis
"Eksotisme Taman Bunulrejo Era Kerajaan Medang dan Upaya Pelestariannya" - Yayuk_2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun