Perlu kita tekankan bahwa jika ingin membina hubungan “pacaran” yang sehat harus ada upaya menjaga dan menjunjung tinggi nilai kejujuran, kesetiaan, saling menghormati, bertanggungjawab, dan berkomitmen agar tujuan bersama dapat terwujud.
Loh, kan masih pacaran? Mengapa harus seberat itu yang dibebankan pada anak?
Justru itu merupakan hal penting dalam menanamkan presepsi yang benar agar pacaran tidak dibuat sebagai sebuah permainan dan cenderung semau gue yang mengakibatkan anak-anak masuk dalam pacaran yang tidak sehat.
Jika benar mengasihi, maka seorang kekasih tidak akan berani menyakiti secara fisik maupun psikis. Jika benar mencintai, maka seorang kekasih tidak akan mengajak untuk melakukan hal-hal yang kurang pantas. Namun sebaliknya jika kedua hal itu dilakukan oleh seorang kekasih maka secara tegas harus segera diakhiri sejak dini.
Masa pacaran juga merupakan sebuah proses belajar mencintai dengan komitmen dewasa. Sebagai indikator yang baik dari sebuah pacaran yang sehat ialah matangnya relasi pribadi yang memiliki rasa tangunggjawab tinggi dan tidak mementingkan diri sendiri.
SHARING PENGALAMAN BERPACARAN
Akan menjadi lebih baik jika pengalaman-pengalaman masa pacaran orangtua di masa lalu dijadikan sebagai materi sharing bersama anak-anak secara santai dan terbuka, tanpa menakut-nakuti atau juga melepas bebaskan. Pengalaman yang baik dijadikan sebagai pengalaman membahagiakan yang akan indah jika dialami dan pengalaman yang buruk dijadikan pelajaran berharga.
SIAP MENJADI TEMAN CURHAT
“It has been said that children spell love : t-i-m-e.” (Family DISCovery)
Menyediakan waktu yang berkualitas dengan keluarga khususnya bagi anak-anak sejak dini merupakan hal luar biasa sebab dengan ini anak-anak akan merasakan cinta yang sesungguhnya.
Ketika anak kita memasuki fase berpacaran, buka hati seluas mungkin untuk menjadi tempat curhat. Menjadi teman curhat membuat kita harus meluangkan waktu sebanyak mungkin untuk mendengarkan kesan dan kesahnya berpacaran.