"When you say nothing at all", sebaris lirik lagu yang dinyanyikan oleh Ronan Keating, membuat lamunan saat hujan lebat, ambyar. Dentuman petir dan kilatan cahaya dari luar rumah membuat jantung serasa mau copot. Gemuruh dilangit belum berhenti, walau hujan sudah mulai reda. Ikut bersenandung dalam hati mengikuti irama "when you say nothing at all" Sampai tiga kali.
Tertegun sejenak memaknai lirik tersebut, "Engkau menjadi yang terbaik, ketika tidak berkata sama sekali". Teringat juga saat pernah menonton film lawas "Hitch".Will Smith sering berkata "listen and respond." Hubungkan lagi dengan konsep selling ,"talkactive".Dalam konsep 'selling' penjual harus lebih banyak berbicara tentang 'product of knowledge'.
Lirik agu Ronand Keating, nasihat Will Smith, dan konsep 'selling' mempunyai relavansi menurut sudut pandang saya.
Kembali ke filosofi penciptaan anggota tubuh manusia. Tuhan telah ciptakan dua telinga untuk keseimbangan dan satu mulut. Dimana dua telinga dan satu mulut mengandung filosofi,agar lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Karena mendengar menurut saya adalah anaknya dari 'empati'. Empati itu bersemayam dalam hati. Empati itu lebih memainkan otak kanan daripada otak kiri yang cenderung 'self centric'.sedang otak kanan lebih ke "other centric".
Makanya saat mendengar cerita orang, terkadang kita bisa berurai air mata dan terbawa ke dalam dunia yang diceritakannya. Saat kita berporos pada empati, maka kita akan mampu menilik lebih jauh sebuah argumen.
Saat ini, empati merupakan salah satu komoditas langka.Empati sudah mulai tergerus oleh zaman, terlindas oleh teknologi. Teknologi jadi kambing hitam yang telah menyebabkan empati itu mulai menipis.
Maksudnya begini,"otak kiri hanya sebatas memahami apa yang diceritakan orang, sedangkan otak kanan memahami bagaimana sesuatu itu dikatakan. Makanya otak kanan cenderung dapat merespon isyarat non verbal seperti:ekspresi wajah dan intonasi suara.
Salah satu keunggulan manusia adalah memiliki ekpresi ya g kompleks.contohnya saja saat berfoto,manusia bisa menampilkan kebohongan, tersenyum dibalik kamera, namun ekspresi tidak bisa dibohongi. Sudah pasti hasilnya dak bagus-bagus amat. Makanya manusia dapat memainkan sinetron dengan beragam ekpresi.
Kembali ketiga contoh perumpamaan tadi, lirik lagu Ronand keating, film "Hitch" ,dan konsep 'selling'. Sisi lain manusia dituntut untuk talkaktive, bukan berarti harus menutup kedua telinga ,dan terus saja berbicara.Menjadi pendengar yang baik, akan menjadikan kita mendapatkan masukan positif dari lawan bicara.
Bukan berarti penjual harus berbicara terus agar pembeli mau membeli, sisi lain saat penjual mendengarkan konsumen, Maka penjual akan mendapatkan input yang baik produk apa sebenarnya yang dibutuhkan konsumen.
Sering terjebak dengan memberi nasehat dan ceramah panjang lebar, tanpa disadari pendengar hanya dapat fokus dalam 10 menit paling lama. Dalam waktu 1x 10 menit harus ada relaksasi/refreshing. Terkadang obrolan sampai meluap dari wadah,karena penggunaan diksi yang tidak tepat. Pada akhirnya sasaran tidak akan tercapai.
Menyikapi hal tersebut, menjadi pendengar yang baik atas keluh kesah orang lain itu penting. Agar kita juga dapat input dan sesuatu yang baru dari yang bercerita. Sudah pasti saat mendengar gelas kita harus dikosongkan terlebih dahulu, agar kebijaksanaan tidak meluap keluar.
Apalagi dapat menjadi pendengar yang baik saat kritikan pedas menghujam naluri kita. Karena dalam kritikan ada unsur positif yang harus kita dengar dan renungkan.
Hari ini menjadi pendengar atas keluh kesah mereka. Ada yang tidak bisa Daring karena kendala sarana. Ada yang punya sarana, namun terkendala karena karakter dan integritas.
Menceramahi panjang lebar,apalagi dengan diksi yang tidak tepat, dapat menyebabkan perbedaan pemahaman dari mereka.
Mendengar itu penting. Apalagi setelah mendengar perlu menerawang dari berbagai perspektif,bukan pakai kaca mata kuda.
Karena mendengar adalah anak semata wayang dari empati, dan empati adalah yang maha mendengar, maka empati tidak terletak dalam hati, namun ada di otak kanan.
Maka dalam komonitas sosial ternyata tidak hanya butuh positive thinking saja,akan tetapi sangat butuh positive feeling. Karena kananlah yang mengatur kiri,bukan kiri yang mengatur kanan .
Seberapa kananlah kita, dan seberapa kirikah kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H