Pertama kali saya ditawarkan mengajar di program studi teknik kimia, saya menyambut dengan senang sekali, saya merasa klop, karena itulah kompetensi saya sebenarnya.Â
Sebelumnya saya diberi jam mengajar pada mata pelajaran  kimia adaptif dan fisika,  membuat saya kurang strategi (Kusta), Lemah sumber (Lesu) dan kurang terampil (kram).
Seiring waktu berjalan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang selalu berubah-rubah, melahirkan ide-ide kreatif itu kunci utama, agar tetap bisa survive  menjadi guru.Â
Kondisi yang itu --itu saja membuat saya cepat bosan dan tidak minat, oleh sebab itu saya selalu mencari hal-hal baru yang harus  saya lakukan, baik itu tentang strategi mengajar, bahan ajar dan objek praktek.
Media pembelajaran yang pertama kali saya usahakan adalah komposter pupuk organik cair, berbagai literatur yang saya baca dari buku dan internet, akhirnya saya mengusulkan ke ketua program studi waktu itu agar memenuhi keinginan  saya untuk membuat pupuk kompos cair. Proposal saya disetujui , alat dan bahan yang saya butuhkan sudah dibeli.
Komposter adalah sebuah wadah yang terbuat dari drum plastik  bekas yang dimodifikasi, dengan instalasi pipa yang didesain sedemikian rupa, sehingga disaat terjadinya fermentasi, cairan yang terbentuk bisa masuk ke pipa-pipa yang sudah dilubangi dan keluar melalui kran yang sudah dipasang sebelumnya.
Biasa masyarakat mengenal kompos padat, sekarang saya mencoba berinovasi dengan membuat kompos cair. Dengan dasar pemikiran kalau sampah organik terurai secara alami di lingkungan akan menghasilkan cairan bewarna gelap, dan diperkirakan mengandung zat-zat hara yang bagus untuk pertumbuhan tanaman.
Berbekal sedikit ilmu saya mencoba praktek membuat pupuk organik cair dari limbah organik  yang berada di sekitar sekolah.  Di luar dugaan, kegiatan saya mengumpulkan sampah organik di sekitar lingkungan sekolah mendapat cemoohan dari teman-teman dan bahkan siswa, jarang siswa yang mau  membantu saya saat itu, jangankan mau membantu,  mereka cenderung menjauh kalau nampak saya berada di dekat komposter tersebut.
Sindiran dan cemoohan itu wajar saja terjadi, kalau difikir-fikir kenapa juga saya mau repot-repot mengurus sampah sekolah, toh dibuang saja ke TPA masalah selesai. Siapa juga yang mau bergelimang dengan sampah yang kotor , berbau busuk dan vektor penyakit, Â sementara guru seharusnya kan berada di kelas.
Saat itu tertanam suatu konsep di fikiran saya, saya ini  guru kejuruan, keterbatasan sarana praktek di labor sudah menjadikan pembelajaran hanya sebatas teori, hafalan-hafalan, yang dalam waktu singkat hafalan tersebut akan hilang karena ada lagi hafalan baru yang akan mereka kuasai.Â
Berpijak pada konsep sederhana saya tentang pendidikan kejuruan (vokasi), praktek secara langsung membuat siswa akan paham lebih banyak dan  ingat dalam waktu yang lama, karena mereka melakukannya sendiri, sehingga kelak mereka bisa mengaplikasikannya di lingkungan, baik semasa dia berada di sekolah maupun setelah dia bekerja nantinya.
SMK tanpa praktek, apa  bedanya siswa SMK dengan siswa SMA? Tuntutan lulusan SMK adalah untuk menjadikan mereka hidup mandiri dan mampu bekerja di bidang yang diampunya.  Untuk bisa ahli dibidang yang diampu, SMK adalah sekolah yang bisa memfasiliasi pengembangan skill siswa
Mengolah limbah padat non B3 Â merupakan salah satu skill yang harus dikuasai oleh siswa program studi kimia industri, oleh sebab itu intuisi saya mengatakan, percobaan-demi percobaan yang saya lakukan pasti muaranya nanti ke pengembangan objek praktek siswa.
Komposter dengan ukuran kecil dan hanya berkapasitas sekitar 25 kg sampah organik basah, menjadi andalan saya untuk ber ekperiment setiap waktu. Â Ternyata baik menurut saya belum tentu baik menurut orang-orang lain di lingkungan saya.
Berbagai protes mulai muncul saat komposter tersebut sudah mulai mengeluarkan bau yang menyengat , apalagi  saat itu komposter saya letakan tak jauh dari laboratorium kimia.
Berdasarkaan saran dari teman-teman, Â akhirnya komposter tersebut dipindahakan jauh dari lalu lintas guru dan siswa. Sedih sekali disaat komposter itu disuruh letakan dibagian paling belakang sekolah yang tidak terjamah oleh manusia. Kecewa sekali karena komposter imut itu direncanakan sebagai media belajar untuk siswa praktek, khusus untuk pengolahan limbah padat non B3.
Tetap dengan  keteguhan hati kalau yang saya lakukan akan bermanfaat buat orang banyak, saya tidak patah arang disaat harus rela setiap hari pergi ke belakang sekolah, untuk menambah sampah organik yang saya peroleh dari kantin, mencincang sampah sampai menjadi ukuran kecil, dan memasukannya ke dalam komposter yang sebelumnya saya semprot dengan cairan khusus.
Cairan lindi yang saya sebut pupuk cair setiap hari dikeluarkaan dari  kran yang di pasang di bawah komposter.  Cairan lindi saya campur dengan sejumlah  kapur sirih dengan jumlah tertentu, setelah itu dilakukan pengecekan pH dengan indikator universal, apabila pH sudah sesuai dengan standar,  saya menyaring pupuk cair, kemudian memasukan ke dalam botol aqua bekas dan  siap di aplikasikan ke tanaman  uji coba.
Waktu yang saya lakukan untuk memantau kinerja komposter adalah setelah saya menyelesaikan semua pekerjaan saya di sekolah, lebih sering saya lakukan saat akan pulang ke rumah. Â Hal ini dilakukan karena setelah selesai bekerjaa di komposter bau dari sampah akan lengket di pakaian.
Tak kenal lelah, saya mengajak memperkenalkan ke siswa akan komposter dan hasil yang diperoleh, namun respon dari mereka masih minim, sehingga saya belum berani menjadikan objek praktek.Â
Walau hasil uji coba pupuk cair yang sudah diaplikasikan ke tanaman, menghasilkan pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan tanaman yang tidak dipupuk dengan cairan ini, keunggulan lain dari pupuk cair ini adalah, tanaman bebas dari hama ulat.
Kelemahan dari pupuk cair yang dihasilkan sampah organik ini adalah berbau busuk, sehingga orang lain enggan untuk menggunakannya. Diawal saya tawarkan ke teman-teman di sekolah, beberapa dari mereka merespon kalau pupuk  cair sangat busuk membuat mereka tidak mau menggunakannya kembali. Bagaimanpun saya meyakinkan kalau pupuk ini kandungan  NPK nya seimbang berdasarkan hasil uji labor, namun  tetap saja orang tidak berminat.
Angin cerah datang disaat saya membaca ada pengumuman lomba kreatiftas mengolah limbah yang diadakan oleh Badan Lingkugan Hidup dalam rangka memperingati hari lingkungan. Saya mengirimkan laporan hasil peneitian saya yang sangat sederhana ke kantor BLH.Â
 Dalam waktu dua minggun saya dikabari kalau masuk nominasi 10 besar. Sebelum saya diundang mempresentasikan  di kantor BLH,  team  juri dari BLH akan meninjau ke sekolah, untuk melihat secara  langsung apa yang sudah saya kerjakan.
Izin dari kepala sekolah dan dari ketua program, komposter saya pindahkan lagi ke lokasi tak jauh dari labor, karena tidak memungkinkan team dari  BLH datang ke tempat yang kurang layak.Â
Hasil tinjauan mereka memperkaya  wawasan dan ilmu saya, salah satunya adalah bagaimana cara menghilangkan bau disaat pupuk akan digunakan. Trik yang  di sarankan oleh team dari BLH saya praktekan, ternyata terbukti kalau baunya bisa berkurang, saat itu saya antusias untuk  mempromosikannya ke teman-teman.
Satu hari komposter bisa menghasilkan 1,5 liter pupuk organik cair, Â merasa sudah yakin akan hasil yang diperoleh, barulah saya menjadikan komposter ini sebagai media praktek siswa, khususnya untuk standar kompetensi mengolah limbah padat non B3.
Bahagia semakin sempurna saat saya di undang ke BLH untuk mempresentasikaan hasil penelitian saya, bahkan hasil penelitian ini akan dijadikan sebagai rujukan oleh BLH untuk disosialisasikan ke masyarakat .
Keputusan BLH yang menyatakan saya sebagai juara pertama  dalam lomba kreatifitas pengolahan limbah, tidak membuat saya puas begitu saja akan hasil yang sudah diperoleh. Beragam upaya saya lakukan untuk mempromosikan pupuk organik cair ini ke masyarakat dan lingkungan tempat tinggal. Salah satuya saya  diundang oleh pusat kegiatan masyarakat untuk melatih anak-anak putus sekolah, dalam rangka pengembangan jiwa wirausaha.
Pupuk organik cair ini juga merupakan salah satu produk  yang digunakan dalam program Toyota Ecoyouth.  Program Toyota Ecoyouth adalah program kepedulian PT. Toyota terhadap lingkungan yang dilakukan melalui sekolah. Kebetulan sekolahku saat itu salah satu sekolah yang lulus seleksi menuju ke tingkat nasional.
Siapa sangka komposter yang dituding bau busuk ternyata sudah memberi harum nama sekolah dimana saya mengabdi, komposter yang dipermasalahkan sebelumnya menjadi sumber pengetahuan bagi siswa. Komposter yang berbau busuk sudah memberikan saya inspirasi besar untuk berbuat lebih banyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H