Mohon tunggu...
Yuzelma
Yuzelma Mohon Tunggu... Guru - Giat Literasi

Ilmu adalah buruan, agar buruan tidak lepas, maka ikatlah dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Kasus Penganiayaan Kepala Sekolah oleh Wali Murid

14 Februari 2018   22:30 Diperbarui: 14 Februari 2018   23:21 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Marahkah saya dengan kasus ini?. saya hanya tersenyum  dan memahami  secara bijaksana saja, kenapa dia berbuat bohong untuk masa depan anaknya sendiri. Pada akhirnya tunggakan SPP dibayar lunas. ternyata di tengah-tengah ada rezeki ada juga orang yang berdoa miskin ya pembaca. 

Disinilah saya menyadari pentingnya komunikasi dan klarifikasi  setiap persoalan, agar tidak emosinonal dalam menghadapinya. bagaimanapun setiap perbuatan yang dilakukan dengan emosional akan melahirkan tindakan-tindakan di luar kendali.

Sebagai orang tua ,saya juga pernah mengalami kecewa atas penganiayaan yang dilakukan oleh beberapa orang siswa kepada anak saya yang tertua. Saat itu pulang sekolah saya mendapati  kening dan mata anak saya lebam dan menghijau. Sebagai orang tua melihat kondisi anak seperti itu, akhirnya saya menemui wali  kelas. Karena kejadinya sudah sore dan menjelang pulang wali kelas hanya memberi tahukan sekilas tentang apa yang menimpa anak saya. Kejadian waktu itu Jumat sore, sementara Sabtu  sekolah libur. itu artinya saya harus menunggu hari Senin untuk mencari tahu, kenapa anak saya di aniaya oleh beberapa orang kakak kelasnya.

Saat anak ditanya, pasti jawabannya hanya memihak kedia, namun walau anak saya benjol sebagai orang tua saya sedih dan kecewa. Bukan berarti malam itu harus dicari temannya yanng menganiaya anak saya. Saya rasa tidak akan menyelesaikan masalah. sebagai orang tua saya membawa anak saya ke rumah sakit, sekaligus melakukan visum untuk memastikan kondisi fisiknya baik-baik saja. Hasil visum  cukup sebatas rumah sakit yang menyimpan. Dan sebagai orang tua dan juga tenaga pendidik saya berusaha untuk sabar menjelang Senin, untuk mencari tahu apa permasalahanya kenapa anak saya dikeroyok.

Setelah duduk bersama, saling berhadap-hadapan, disitulah tahu kebenarannya. Walau anak saya punya andil kesalahan yang menyebabkan kakak kelasnya emosi, yang terpenting saat itu dia menyadari kekeliruannya untuk memnaggil kakak kelas dengan sebutan nama saja. Karena ada tradisi di sekolah mereka, kakak kelas harus di panggil kakak. Sementara anak saya sebut nama saja.

Kalau saja  saya tidak tenang dalam menghadapi masalah tersebut, pasti buntut kasusunya bertambah panjang.

Jadi belajar dari kasus yang menimpa  guru  yang sekaligus kepala sekolah tersebut, menjadi pelajaran bagi kita sebagai tenaga pendidik, orang tua siswa, dan juga sekaligus kita jadi wali murid bagi anak-anak kita di sekolah. 

" Komunikasi, klarifikasi, diskusi, tahan emosi" adalah  solusi untuk untuk menghambat tidak terjadinya tindakan anarkis. Perlu diingat" kita sebagai orang tua sekaligus sebagai guru buat anak-anak kita.  saat kita melakukan tindakan anarkis ke orang lain, maka jangan disesali nanti anak-anak  kita akan berlaku sama memperlakukan orang lain. jadi jangan rusak karakter  keturunan  kita dengan tindakan seperti itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun