Foto:https://www.google.co.id/search?q=surau+dan+sile
Film Surau dan Silek adalah salah satu film yang sangat bergizi. Ide ceritanya mengandung banyak pitatah-pititih (nasehat) di Minangkabau. Pitatah-pititih ini sudah banyak dilupakan oleh generasi zaman sekarang. Salah satunya adalah tentang Silek (Silat). Dahulunya di alam Minangkabau, Silek bukanlah sekedar olah raga bela diri saja. Belajar Silek di Minangkabau dulunya berkaitan dengan hubungan horizontal dengan manusia dan hubungan vertikal dengan sang pencipta.
Saat ini Silek (silat) lebih banyak dikomersilkan, Silek hanya sebatas olahraga bela diri untuk dikompetisikan dan menjaga pertahanan diri. Dan bahkan silek dijadikan sebagai kegiatan gagah-gagahan di arena lomba. Silek di Minangkabau mengandung makna yang sangat dalam.
Dalam film surau dan silek ini, penonton diajak kembali untuk merenungi makna filosofi Silek dalam kehidupan. Sesuai dengan pepatah Minangkabau mengatakan bahwa silek lahirnya adalah mencari kawan (teman) dan bathinnya adalah mencari Tuhan. Jadi orang yang akan belajar silek di Mianag kabau dulunya harus tahu dengan agama terlebih dahulu.
Sesuai dengan persyaratan yang disampaikan gaek (kakek) Johar dalam filem tersebut: Shalat, Shalawat dan Silek (3 S) tidak bisa di pisahkan. Artinya orang yang akan belejar silek harus mengerjakan shalat, dan bershalawat terlebih dahulu. Silek sejatinya adalah bagaimana mengontrol emosional kita.
Film Surau dan Silek yang disutradarai oleh Arief Malinmudo sekaligus sebagai penulis cerita, mempunyai keunikan, dimana lebih menonjolkan keindahan pariwisata Sumatera Barat. Seperti biasanya film-film yang berasal dari Minang Kabau.
Dalam film Surau dan silek ini, penonton dimanjakan oleh pemandangan yang sangat indah, seakan-akan penonton langsung bisa menikmatinya. Udara pegunungan yang menyegarkan, gemericik air sungat yang sangat jernih, perkampungan yang sangat asri, sawah dan ladang yang sangat subur, lengkap dengan keramahtamahan penduduknya.
Daerah pariwisata yang ditonjolkan dalam film ini adalah peternakan Sapi di Padang Mangateh (kalau orang bilang Switzerlandnya Sumatera Barat), Ngarai Sianok (Green Canyonnya Sumatera Barat), pasar atas lengkap dengan souvenir dan oleh-olehnya, jam gadang yang menjadi ikon kota Bukittinggi, Gunung Merapi dan Gunung Singgalang yang siap menjaga kota.
Film ini lebih mengutamakan unsur-unsur keagamaan, adat istiadat , pituah-pituah (nasehat) yang syarat makna. Diawal cerita penonton sudah diajak untuk memahami Islam secara kaffah. Salah satunya adalah mengetuk pintu hati untuk segera ke Surau (Mushala) disaat azan berkumandang.
Bahkan diawal film ini penonton terhenyak akan sindirian teman Rustam yang bernama si Cibia, dia mengatakan” pantas gagal di gelanggang (arena pertandingan), Shalat saja tidak mau”. Ini merupkan nasehat bahwasanya setiap usaha yang kita lakukan harus melibatkan Allah SWT, salah satunya adalah mengerjakan shalat.
Dalam film ini ada seorang anak yang bernama Adil, Kurip dan Dayat dalam kebingungan mencari perguruan silat yang cocok untuk mereka. Karena Pamannya Adil yaitu Rustam yang sebelumnya guru silat mereka sudah pergi merantau.
Adil adalah seorang anak yang ditinggal mati oleh ayahnya, Adil adalah anak yang tahu dengan untung (nasib) hidup dalam ekonomi yang pas pasan. Dalam kehidupan sehari-hari Adil tidak termasuk anak yang nakal seperti teman-temannya yang lain. Adil paham akan kesulitan emaknya (ibu) untuk menafkahi hidupnya. Sehingga di waktu-waktu luang Adil lebih memilih bekerja membantu orang-orang kampung yang membutuhkan. Bahkan di hari dimana kawan-kawannya pergi studi banding, Adil rela tidak ikut karena mempertimbangkan susahnya emak (ibu ) Adil untuk mendapatkan sejumlah uang.
Film yang penuh nasehat ini, sepertinya lebih menekankan kepada pendidikan karakter tersebut harus dimulai dari rumah tangga sendiri. Sesibuk apapun emak Adil bekerja di ladang maupun di sawah, namun emak Adil selalu memberikan pituah-pituah (nasehat) dalam hidup bermasyarakat dan berhubungan dengan sang khalik setiap waktu kepada anaknya.
Pituah (nasehat) yang ditekankan dalam film ini adalah: mengenai tiga perkara yang akan dibawa mati kelak (hadist Abu Hurairah) diantaranya adalah: apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka terputuslah semua pahala atau amal perbuatannya, kecuali: amal Jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya.
Amal jariyah adalah amalan yang dilakukan umat manusia di bumi yang pahalanya tidak akan putus sampai hari kiamat. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang disebarluaskan melalui berbagai kegiatan. Dan yang ketiga yang selalu ditekankan emak Adil yaitu doa anak yang sholeh.
Keunggulan film ini selain menonjolkan pariwisata alam Minangkabau, adat istiadat, pitatah-pititih, dalam film ini juga disentuh sisi lain dari keseharian wanita dan ibu rumah tangga di ranah Minangkabau. Salah satunya berperan sebagai penyeimbang dalam rumah tangga, dan hobi serta piawi dalam sulam menyulam, bahkan dalam film ini juga dipertontonkan hasil sulaman wanita minang di pasar yang diperdagangkan sebagai souvenir khas Sumatera Barat.
Foto: https://images.search.yahoo.com/search/images;_
Pencarian perguruan silat oleh tiga serangkai yaitu Adil, Kurip dan Dayat ini akhirnya bermuara di rumah gaek (kakek) Johar. Kakek Johar adalah pensiunan dosen sekaligus berprofesi sebagai penulis buku. Kakek Johar hijrah ke kampung setelah lama menetap di Malaysia dan Yogyakarta. Sempat kakek Johar menolak permintaan ketiga anak-anak tersebut karena tujuan mereka untuk mendalami ilmu silat hanya sebatas bertanding dan membalas dendam.
Saat diskusi hangat terjadi antara nenek Erna dan kakek Johar berlangsung, disinilah saya mendapatkan suatu keunggulan dari sebuah rumah tangga yang tidak dikarunia anak sepanjang hidup mereka. Walau tidak dikarunia anak mereka tetap saling setia ,saling menyayangi dan menerima ketetuan Allah SWT dengan iklas samapi diahri tua mereka.
Keunggulan lain dari rumah tangga ini adalah kesantuan seorang istri dan seorang suami , saling bermusyawarah dan saling mensupport satu dengan yang lainnya. Nampak di film ini keunggulan orang Minang adalah bermusyawarah. Film ini diselingi dengan hiburan yang menyegarkan, cemeehan khas orang kampung. Apalagi film ini menggunakan bahasa minang asli.
Diakhir film saya baru memahami apa keterkaitan antara surau (mushala) dan silek (silat). Apabila seseorang akan belajar silek (silat) dia harus terlebih dahulu mempelajari agama Islam dengan benar, dia harus pandai shalat, harus pandai mengaji dan harus berbudi pekerti yang luhur. Karena sejatinya silek secara lahir adalah untuk mencari kawan (teman) dan bukan mencari lawan (musuh), dan secara bathin silek adalah untuk mencari Tuhan (Alllah SWT) sang pencipta alam semesta. Sejatinya orang yang pandai dna mahir silek artinya orang tersebut sudah menjalankan syariaat agama dengan benar.
Keberadaan Surau di ranah Minang juga diakui oleh tokoh-tokoh hebat di minangkabau dahulunya. Seperti: Bapak M. Hatta, Buya Hamka, H. Agus Salim, Muhammad Yamin, M. Natsir, Chairil Anwar, dan masih banyak tokoh lainnya. Mereka mengalami dan mempercayai bahwasanya mereka besar karena didikan di Surau . Surau adalah tempat pendidikan bagi anak-anak laki-laki di Minangkabau yang sudah masul akil balig. Dari Suraulah mereka belajar mengaji , berdiskusi tentang segala hal, dan termasuk juga silek. Surau adalah tempat penempaaan karakter lakilaki minang dahulunya.
Sayang sekali , zaman sekarang kebiasaan itu sudah mulai hilang. Anak-anak muda sekarang cenderung melakukan kegiatan individual di dalam kamar. Film Surau dan silek ini mencoba mengingatkan kembali ke penonton khususnya orang Sumatera Barat tentang budaya yang sudah lama ditinggalkan. Semoga saja dengan hadirnya film ini akan mengggugah rasa orang tua, alim ulama, cerdik pandai, pejabat, pimpinan adat (datuk) yang ada di Minangkabau, untuk menghidupkan lagi Surau tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H