Mohon tunggu...
Yuzarzif Muthahari
Yuzarzif Muthahari Mohon Tunggu... -

Melawan dengan pena!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jalan Penghkianatan NA, Dari Akademisi Jadi Politisi Penuh Ambisi yang Menanggalkan Tradisi

15 Oktober 2017   17:23 Diperbarui: 15 Oktober 2017   19:27 7340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernah diisukan NA akan berpaket dengan AAN. Spontan Relawan mereka yang tergabung dalam Barisan MudaNA menolak dan menegaskan kalau NA sudah paket (harga mati) dengan TBL. Mereka mengklaim pasangan NA-TBL paling ideal karena mewakili sipil-militer, birokrat-teknokrat.

Sayangnya, NA tak menjadi sebagaimana yang  Barisan MudaNA anggap. NA yang punya peluang tetap bersama TBL melalui jalur non-partai menyerah dan meninggalkan TBL. Parahnya, calon pendamping yang dipilihnya adalah ASS yang tak pernah masuk dalam survei manapun di Pilgub Sulsel.(Baca disini Relawan-NA Tegaskan Nurdin Abdullah Solid Bersama Tanribali, Bukan Agus AN ).

Jika membandingkan figur TBL dan AAN saja menurut Barisan MudaNA masih lebih baik YBL. Lalu, logika apa yang dipakai Barisan MudaNA itu sampai bisa ikut apa yang dipilihkan oleh NA karena menyerah. AAN saja sangat jauh dari ASS dari semua aspek. Apalagi TBL yang menurut Barisan MudaNA masih lebih baik dari AAN. Sungguh perbuatan keji atas TBL, jika akhirnya Barisan MudaNA membandingkan keduanya lalu menganggap ASS tepat mendampingi NA.

NA yang Plin Plan dan Mau Enaknya Saja

Sebenarnya, NA bisa saja mempertahankan TBL tetap menjadi wakilnya jika dia benar-benar merasa memiliki kerja nyata. Apalagi jika hanya kekhawatiran NA tidak diusung Partai, maka masih terbuka lebar jalur Non-Partai yang bisa ditempuh untuk bisa menjadi peserta di Pilgub mendatang. Hanya saja NA menyerah dan tidak mau melakukannya.

Pilihan NA meninggalkan TBL atas alasan elektabilitas yang tak mendongkrak sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, setahun belakangan di berbagai kesempatan NA menunjukan 'kemesraan' bersama TBL. Justru bisa dicurigai, NA malah mendompleng TBL untuk dikenal oleh masyarakat wilayah utara Sulsel. Sebab TBL, selain prestasinya, Ayahnya Ahmad Lamo masih memiliki nama yang harus di bagian utara Sulsel. Itu juga yang membuat NA sebelumnya memilih TBL mendampingi supaya bisa ikut populer di bagian utara.

"Saya dan Pak TBL ibarat sudah tukar cincin. Tidak mungkin cincinnya bisa diminta lagi dan diberikan pada orang lain", kurang lebih seperti itu ungkapan NA beberapa waktu lalu untuk menunjukan betapa besar komitmennya pada TBL. Bahkan di kesempatan yang lain, NA mengaku memilih tak maju jika harus ganti paket untuk menunjukan konsistennya NA menjaga komitmen, seperti sikap para akademisi tulen.

(Baca disini NA: Saya dengan TBL Ibarat Sudah Tukaran Cincin )

Tak berselang lama, NA yang beberapa kali menjanjikan akan deklarasi bersama TBL dan Partai Pengusung namun gagal terlaksana akhirnya menyampaikan hal lain. NA akhirnya mengungkap jika harus melepas TBL karena elektabilitas TBL yang tak mendongkrak pasangan ini. Seakan NA menilai kalau TBL tidak punya nilai buatnya jika tetap berpasangan. Pernyataan NA menimbulkan banyak pertanyaan, lalu siapa gerangan sosok yang dianggap lebih baik dari TBL yang diagungkan oleh para relawan NA itu?

ASS (Andi Sudirman Sulaiman) adalah sosok yang diumumkan mendampingi NA. Publik terkejut, siapa orang ini? Tak banyak yang tahu siapa dia. Rupanya ASS adalah adik Menteri Pertanian, Amran Sulaiman. Tapi pertanyaan lebih penting dari siapa ASS ini adalah, 'Kenapa bisa orang yang bahkan tak punya elektabilitas bisa disetujui NA untuk mendampinginya?'

Jika di awal kesempatan Para Relawan memuji prestasi TBL, rasanya sangat merendahkan TBL jika harus digantikan begitu saja dengan alasan 'kemauan' Partai Politik.

Sebab jika memang benar yang dikatakan NA, bahwa alasan TBL harus diganti karena permintaan Partai. Maka kemungkinan kuat yang terjadi, NA adalah orang yang bisa didikte oleh Partai politik. Dominasi serupa ini tidak baik untuk proses pembangunan di masa akan datang, sebab segala bentuk kebijakan akan dikoreksi dan disetujui oleh Partai Pengusung sesuai pandangan mereka.

Menanggalkan Kearifan Lokal, NA Kehilangan 'Siri' na  Pacce'

"Dalam politik tak ada yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan". Sepertinya NA ingin menegaskan sekali lagi kecendrungan sikapnya beberapa waktu ini. Sikapnya meninggalkan TBL dan memilih berpasangan dengan ASS mengungkap bagaimana NA sebenarnya.

"Ibarat proses pernikahan budaya Bugis, saya dengan Pak Tanri Bali bukan lagi Ma'manu-manu, tapi sudah tukaran cincin. Jadi tinggal selangkah lagi kami sudah sah. Kan tidak bagus kalau cincinnya dikasih kembali ke orang," tegas Nurdin Abdullah, saat mengembalikan formulir pendafatran di Kantor DPW PPP Sulsel, Jalan Sungai Saddang, Rabu (14/6/2017)". Seperti yang dikutip pernyataan NA di atas, tampak sangat jelas apa yang terjadi dengannya hari ini.


Kondisi yang diceritakan NA diatas untuk menggambarkan bagaimana komitmen yang telah dibangun keduanya sangat baik. Hanya saja, prosesi tukaran cincin yang dalam tradisi Bugis juga dikenal sebagai peristiwa 'mappettu ada' (membulatkan keputusan untuk disepakati) menuju pernikahan adalah sebuah prosesi sakral. Olehnya, jika pada kemudian hari ada pihak yang tidak menjalankan keputusan itu akan dianggap 'mappakasiri' (mempermalukan) pihak lainnya yang sudah dilamar.

Kesakralan peristiwa 'mappettu ada' itu di mata Masyarakat Bugis sangat dalam. Hingga membuat orang yang memutuskan kesepakatan itu disebut 'mappakasiri' (mempemalukan) keluarga, sehingga layak disebut sebagai pengkhianat yang tak layak dimaafkan dan diterima kembali. Tentu jika ini benar prosei sakral seperti sebutan NA (tukaran cincin ala adat bugis) maka Pihak TBL sangat dipermalukan. Cincin yang diberikan padanya untuk menjadi pendamping NA diambil lagi lalu diberikan pada ASS. Maka dari peristiwa ini wajarlah jika dalam membaca sikap NA yang meninggalkan TBL sebagai perilaku yang tidak menjaga kesakralan tradisi. NA layak disebut sebagai Pengkhianat.

Peletakan julukan Penghianat pada NA adalah hal wajar sebagai sebuah konsekwensi komunikasi politiknya yang membawa istilah sakral dalam tradisi Bugis. Sebab jika NA tak mau dijuluki demikian seharusnya NA tak meninggalkan orang yang telah diberinya cincin, lalu tanpa rasa empati (pacce)memberikan cincinnya lagi pada orang yang lain. Ini sungguh sikap yang menanggalkan tradisi Masyarakat Sulsel. Ini sungguh sebuah penghkianatan yang besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun