Sebab jika memang benar yang dikatakan NA, bahwa alasan TBL harus diganti karena permintaan Partai. Maka kemungkinan kuat yang terjadi, NA adalah orang yang bisa didikte oleh Partai politik. Dominasi serupa ini tidak baik untuk proses pembangunan di masa akan datang, sebab segala bentuk kebijakan akan dikoreksi dan disetujui oleh Partai Pengusung sesuai pandangan mereka.
Menanggalkan Kearifan Lokal, NA Kehilangan 'Siri' na  Pacce'
"Dalam politik tak ada yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan". Sepertinya NA ingin menegaskan sekali lagi kecendrungan sikapnya beberapa waktu ini. Sikapnya meninggalkan TBL dan memilih berpasangan dengan ASS mengungkap bagaimana NA sebenarnya.
"Ibarat proses pernikahan budaya Bugis, saya dengan Pak Tanri Bali bukan lagi Ma'manu-manu, tapi sudah tukaran cincin. Jadi tinggal selangkah lagi kami sudah sah. Kan tidak bagus kalau cincinnya dikasih kembali ke orang," tegas Nurdin Abdullah, saat mengembalikan formulir pendafatran di Kantor DPW PPP Sulsel, Jalan Sungai Saddang, Rabu (14/6/2017)". Seperti yang dikutip pernyataan NA di atas, tampak sangat jelas apa yang terjadi dengannya hari ini.
Kondisi yang diceritakan NA diatas untuk menggambarkan bagaimana komitmen yang telah dibangun keduanya sangat baik. Hanya saja, prosesi tukaran cincin yang dalam tradisi Bugis juga dikenal sebagai peristiwa 'mappettu ada' (membulatkan keputusan untuk disepakati) menuju pernikahan adalah sebuah prosesi sakral. Olehnya, jika pada kemudian hari ada pihak yang tidak menjalankan keputusan itu akan dianggap 'mappakasiri' (mempermalukan) pihak lainnya yang sudah dilamar.
Kesakralan peristiwa 'mappettu ada' itu di mata Masyarakat Bugis sangat dalam. Hingga membuat orang yang memutuskan kesepakatan itu disebut 'mappakasiri' (mempemalukan) keluarga, sehingga layak disebut sebagai pengkhianat yang tak layak dimaafkan dan diterima kembali. Tentu jika ini benar prosei sakral seperti sebutan NA (tukaran cincin ala adat bugis) maka Pihak TBL sangat dipermalukan. Cincin yang diberikan padanya untuk menjadi pendamping NA diambil lagi lalu diberikan pada ASS. Maka dari peristiwa ini wajarlah jika dalam membaca sikap NA yang meninggalkan TBL sebagai perilaku yang tidak menjaga kesakralan tradisi. NA layak disebut sebagai Pengkhianat.
Peletakan julukan Penghianat pada NA adalah hal wajar sebagai sebuah konsekwensi komunikasi politiknya yang membawa istilah sakral dalam tradisi Bugis. Sebab jika NA tak mau dijuluki demikian seharusnya NA tak meninggalkan orang yang telah diberinya cincin, lalu tanpa rasa empati (pacce)memberikan cincinnya lagi pada orang yang lain. Ini sungguh sikap yang menanggalkan tradisi Masyarakat Sulsel. Ini sungguh sebuah penghkianatan yang besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H