Mohon tunggu...
Yuyun Yuniarti
Yuyun Yuniarti Mohon Tunggu... Guru - Hidup seperti berjalan di atas jembatan

Teu ngakal moal ngakeul- Teu ngarah moal ngarih- Teu ngoprek moal nyapek

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Keseruan Menelusuri Keindahan Alam Curug Cikondang di Cianjur Selatan

22 Januari 2021   19:32 Diperbarui: 23 Januari 2021   12:45 1309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kehidupan berputar, selalu berubah dari suatu kondisi ke kondisi lain. Tak ada yang pasti dan tak ada yang bisa garansi hidup kita akan seperti apa esok hari, karena kita tidak pernah tahu skenario Sang Pencipta di balik kehidupan ini. 

Seperti halnya jarum jam yang selalu berputar dari detik ke menit, dari menit ke jam hingga tahun dan jaman berganti dan penghuni bumi berganti dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan akhirnya sampailah pada generasi di mana saya termasuk di dalamnya. Seperti itulah kehidupan berjalan. Kehidupan bisa berubah lebih cepat dari yang kita duga.

Siapa sangka kalau tahun 2020 akan terjadi hal yang sangat menggemparkan penduduk bumi, yang merubah banyak tatanan kehidupan secara drastis. Tiba-tiba kita seperti terkurung di penjara, tidak boleh ini tidak boleh itu, membatasi ini dan membatasi itu, keluar rumah pun jadi terbatas. 

Beberapa bulan tidak ke mana-mana hanya keluar rumah seperlunya itu pun yang berjarak dekat saja. Alhamdulillah pada bulan Desember 2020, bisa juga ke luar agak jauh dari rumah melepas kerinduan pada alam. 

Jalan Menuju Curug Cikondang

Tempat tujuan adalah Curug Cikondang yang terletak di Cianjur Selatan, tepatnya di desa Sukadana Keacamatan Campaka Kabupaten Cianjur. 

Jarak dari tempat tinggal saya di Cibadak Kabupaten Sukabumi 72,6 km atau waktu tempuh sekitar 2 jam 20 menit lewat jalan Nasional III. 

Bisa juga lewat jalan lingkar selatan dengan waktu tempuh 2 jam 13 menit sekitar 51,8 km, atau lewat Jalan Tangkil-Agrabinta dengan waktu tempuh 2 jam 18 menit sekitar 54, 8 km. 

Mungkin sudah banyak orang menulis tentang curug ini, tapi tetap saja keindahan tempat ini yang eksotis seolah-olah menjadi tema yang tidak akan pernah kering untuk dilukiskan keindahannya. Begitu pun ketika kami berkunjung ke sini, rasanya sayang sekali kalau keindahannya tidak saya abadikan dalam tulisan.

Dokpri
Dokpri
Saat berangkat ke Curug Cikondang, dari kota Sukabumi kami hanya mengandalkan Google Maps, dan sesekali bertanya pada penduduk sekitar. 

Perjalanan kami diarahkan ke Jalan Tangkil Agrabinta, kemudian kami diarahkan jalan masuk ke sebelah kiri  melewati portal bambu yang dijaga oleh penduduk sekitar,ternyata jalan itu searah dengan jalan ke Gunung Padang (Situs Megalitik Tertua di dunia yang terletak di daerah Cianjur)

Awal jalan masuk adalah batu-batu atau jalan aspal yang sudah agak rusak dengan batu-batu yang sudah lepas. Selanjutnya jalan yang kami lewati bervariatif ada jalan aspal yang masih bagus, ada jalan cor, dan banyak juga yang masih batu-batu karena mungkin aspalnya sudah hilang. 

Jalan yang tidak terlalu lebar sehingga angkot yang kami tumpangi sering berhenti ketika berpapasan. Jalan menuju ke sana berkelok-kelok kadang naik turun, seperti gambaran jalan kehidupan. 

Lukisan Alam Nan Menakjubkan

Meski kondisi jalan yang kami lalui penuh tantangan, bahkan sampai mengalami tiga kali tambal ban sepanjang perjalanan, entah jalannya yang rusak atau memang ban yang sudah jelek (hehe), yang tidak disiapkan sebelum perjalanan. Tapi semua itu terbayar dengan lukisan alam yang indah sepanjang perjalanan. 

Sejauh mata memandang Allah tunjukan kebesarannya, kemegahan ciptaannya, bukit yang berlapis-lapis, perkampungan penduduk yang masih asri dengan rumah panggung berbilik bambu, dengan asap mengepul dari dapur mungkin mereka masih menggunakan tunggu atau hawu untuk memasak. 

Anak laki-laki dan perempuan bermain lompat tali. Pemandangan di kampung berikutnya sekelompok anak-anak terlihat sedang membuat mainan tradisional dari bambu kecil atau orang Sunda bilang sumpit. 

Sumpit adalah mainan tradisional dari bambu kecil buat tembak-tembakan, yang pelurunya dari kertas basah dibulat- bulat kemudian dimasukan ke dalam lobang bambu tersebut, cara menembak lawan dengan meniup bambu tersebut sampai peluru kertasnya keluar mengenai lawan. 

Suatu kondisi yang sudah langka sementara anak-anak perkotaan sudah sibuk dengan gadget masing-masing dan jarang bersosialisasi. 

Aliran sungai yang berkelok, hamparan sawah yang hijau dengan pemandangan beberapa anak laki-laki yang sedang ngurek berjalan di pematang sawah dan sesekali mereka jongkok ketika menemukan lubang belut. 

Ngurek adalah istilah dalam bahasa Sunda untuk memancing belut dengan cara memasukan umpan ke lubang belut menggunakan dua kuin atau tali buat main layangan yang diulir dan ditambah kail serta dikasih umpan, biasanya umpannya berupa ikan kecil yang disebut bungkreng.

Pohon-pohon besar masih tumbuh di sana sini, langit yang cerah dengan kerumunan awan yang berarak indah, sepertinya awan melayang rendah tepat berada di atas kepalaku. Ini indikasi bahwa kami sedang berada di ketinggian. 

Memandangi lembah, tebing dan jurang dari ketinggian memang sangat menakjubkan. Hamparan kebun teh menyejukan pandangan mata dan udara segar merasuk ke dalam paru-paru, rasanya imun tubuh langsung meningkat. Sejenak lupa akan Corona yang tengah mewabah.

Dokpri
Dokpri
Akhirnnya Tiba juga di Curug Cikondang

Setelah perjalanan yang cukup memacu adrenalin karena kondisi jalan yang penuh tantangan, akhirnya kami tiba di area parkir seadanya yang masih tanah, belum ada penataan, kiri kanan dan sebrang tempat parkir adalah perkampungan. 

Kemudian menyebrangi jembatan bambu menuju loket penjualan tiket. Tiket masuk terbilang murah cukup membayar Rp 5000 per orang. 

Curug Cikondang berada di tengah-tengah area perkebunan teh yang dikelola PTPTN VII Panyairan, tidak heran sepanjang perjalanan kira-kira satu kilometer menuju lokasi disuguhi pemandangan hijau hamparan kebun teh, dan area persawahan. 

Pada saat ke sana, jalan menuju lokasi sedang ada perbaikan karena sedikit longsor di pematang sawah. Jalanan masih tanah, kalau kondisi hujan pasti licin. Kebetulan hari itu cuaca cerah, meskipun sedang musim hujan. 

Selanjutnya meniti tangga demi tangga dengan jalanan menurun, di kanan jalan arah turun banyak kios yang waktu itu banyak yang tutup, kata yang jualan di situ kebanyakan kios bukanya hari minggu, karena hari minggu pengunjung ramai. 

Kami ke sana hari Rabu, sengaja supaya di lokasi tidak terlalu banyak orang, dan bisa bebas menikmati indahnya curug. Akhirnya sampai juga ke curug. 

Lelahnya perajalanan hilang seketika terhipnotis keindahan curug dan panorama alam sekitar yang mempesona, air terjun seolah-olah berwaran putih mengalir deras dengan debit air yang cukup tinggi karena waktu itu musim hujan. 

Menurut informasi penjaga di sana kalau musim kemarau debit airnya berkurang. Konon ketinggian curug ini mencapai 50 meter dengan lebar sekitar 30 meter. Pokoknya jangan lewatkan view yang sangat indah buat foto-foto. 

Kami pun gantian difoto dengan background curug, dan jangan khawatir kalau mau foto bareng-bareng ada fotografer sukarela, yaitu akang yang suka menjaga di sekitar mushola, kata dia sudah biasa dimintai tolong buat foto para pengunjung. 

Ketika kita tanya harus bayar berapa karena sudah jadi tukang foto, kata dia gratis dia sukarela melakukannya buat pengunjung, dan hasil fotonya juga tidak mengecewakan. 

Setelah foto-foto sebentar, kami masih harus melanjutkan perjalan ke bawah, ke sungai tempat air itu jatuh. Terasa banget gemuruhnya air dan cipratannya membuat baju basah. Sebaiknya bawa baju ganti. 

Di bawah disediakan spot foto buat selfie, tapi harus naik tangga dengan jalan yang cukup licin karena persis dibawah curugnya. Kalau mau foto selfie di situ cukup bayar Rp 10.000. Kami tidak berani meniti tangga ke spot selfie karena curam dan licin. 

Dokpri
Dokpri
Kami melanjutkan perjalanan sampai ke bawah menyebrangi jembatan bambu. Setelah puas dengan suguhan pemandangan yang indah, kami pulang menjelang sore.

Perjalanan Pulang

Pada perjalanan pulang, kami melewati rute jalan yang berbeda dengan rute kedatangan, yaitu melalui Jalan Cilaku kemudian menuju daerah Cibeber dan keluar ke jalan Cianjur-Sukabumi, ternyata jalannya lebih bagus dan lebih cepat, meskipun secara jarak lebih jauh, tapi perjalanan lancar karena kondis jalan lebih bagus dibanding rute keberangkatan. 

Penutup

Intidar atau observasi terhadap alam sangat penting karena alam menyimpan tanda-tanda dan bukti dari kebenaran dan Kekuasaan Allah (yuniarfhzRabu 16/12/20)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun