Mohon tunggu...
Yutta Sihing Gusti
Yutta Sihing Gusti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Strata I Ilmu Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta konsentrasi Media dan Jurnalistik

Lewat laman ini, akan saya tuliskan isi dan gagasan pikiran yang menjadi keresahan tersendiri. Ada baiknya pikiran tertuang dalam media dan terbaca oleh orang lain. Jangan sampai pikiran hanya menjadi sebatas pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Harga yang Harus Dibayar Negara untuk Kesehatan Perokok

2 Juli 2024   07:00 Diperbarui: 3 Juli 2024   08:35 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tren Kenaikan Cukai Rokok Periode 2014 - 2024 (%) | Source: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan

"Merokok Membunuhmu" adalah slogan yang terdengar klise di telinga seorang perokok. Gambar yang menyeramkan dan pesan kematian di setiap bungkus rokok, nyatanya tidak menyurutkan minat perokok untuk terus membakar lintingan tembakau tersebut. Setiap hari mereka akan mengeluarkan biaya untuk memenuhi rasa ketergantungannya. Dengan kesadaran penuh, mereka juga mengetahui dampak rokok yang mungkin merenggut kesehatannya.

Tulisan peringatan dampak kesehatan pada bungkus rokok | Sumber: tribunnews.com
Tulisan peringatan dampak kesehatan pada bungkus rokok | Sumber: tribunnews.com

Di sisi lain negara merasa bertanggung jawab atas candu seorang perokok. Melarang konsumsi rokok mungkin merupakan tindakan yang kurang bijaksana, karena akan berpengaruh terhadap kesejahteraan pekerja di industri rokok. 

Negara mengambil pilihan mengurangi jumlah konsumsi rokok dengan setiap tahunnya menaikan tarif cukai rokok. Namun, apakah negara dapat menjamin kesehatan perokok dengan menaikan tarif cukai rokok?

Dalam dinamika ini, pertanyaannya bukan hanya perihal harga yang harus dibayar oleh perokok saja, melainkan tentang harga yang dibayar negara untuk menangani permasalahan tersebut.

Tren Kenaikan Jumlah Perokok

Data aktivitas merokok di Indonesia setiap tahunnya selalu mengalami tren peningkatan. BPS (Badan Pusat Statistik) mencatat, persentase penduduk berusia 15 tahun keatas yang merokok sebesar 28,62% pada tahun 2023, lebih tinggi 0,36% dari persentase tahun sebelumya (2022) sebesar 28,26%.

Dalam satu dekade terakhir, jumlah perokok dewasa di Indonesia mengalami kenaikan sebesar 8,8 juta orang. Berdasarkan data yang dilansir Global Adult Tobacco Survey (GATS) pada tahun 2021 yang diluncurkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dari 60,3 juta perokok dewasa di tahun 2011 mengalami kenaikan menjadi 69,1 juta perokok pada 2021.

Laporan Statista Consumer Insights memprediksi, akan terjadi tren penurunan jumlah perokok di sebagian negara dalam satu dekade mendatang, kecuali Indonesia. Jumlah perokok di Indonesia diproyeksi akan bertambah menjadi 123 juta perokok pada 2030 mendatang.

Tren kenaikan jumlah perokok ini tidak lepas dari tingginya pengeluaran rumah tangga terhadap komoditas rokok. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, rokok sebagai komoditas pengeluaran rumah tangga terbesar kedua, setelah beras.

Sri Mulyani, Menteri Keuangan Republik Indonesia menegaskan, rokok adalah komponen pengeluaran terbesar bagi rumah tangga, baik di perkotaan maupun pedesaan. Rokok mengungguli beberapa komoditas pangan primer, seperti telur ayam ras, daging ayam ras, gula pasir, mie instan, bawang merah, kopi bubuk dan kopi instan, tongkol, cabe rawit, dan kue basah.

Rokok dan Dampak Kesehatan

WHO (World Organization Health) memperkirakan, sekitar 225.700 orang di Indonesia meninggal karena merokok atau penyakit lain yang berkaitan dengan tembakau setiap tahunnya. 

Sementara itu, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono pada konferensi pers virtual terkait Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2021, mengemukakan kebiasaan merokok menyubang persentase angka kematian kedua tertinggi di Indonesia setelah hipertensi.

Merokok menyumbang 17,3% risiko kematian, mengungguli kebiasaan diet tidak sehat sebesar 16,4%, gula darah tinggi sebesar 15,2%, obesitas 10,9%, dan kurang aktivitas fisik sebesar 1,4%. Hipertensi masih menjadi resiko kematian tertinggi sebesar 28%.

Rokok menyebabkan kemungkinan terkena penyakit tidak menular semakin tinggi seperti, kanker, penyakit pernapasan, stroke, serta penyakit kardiovaskular.

Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Wa Ode Masrida berjudul Estimasi Angka Kematian Penyakit Kanker Akibat Rokok di Indonesia Tahun 2020 mengungkapkan, proporsi angka kesakitan penyakit kanker yang terjadi akibat merokok tertinggi adalah kanker paru paru sebesar 88% untuk jenis kelamin laki-laki dan 16,48% untuk perempuan.

Sementara itu, estimasi nilai angka kematian penyakit kanker akibat rokok di Indonesia sebesar 39.217 yang terdiri dari 37.354 laki-laki dan 1.863 perempuan.

Rokok juga menyebabkan beberapa penyakit yang berhubungan dengan jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular). Secara global, WHO mengatakan bahwa rokok menyebabkan lebih dari 2 juta kematian akibat penyakit kardiovaskular setiap tahunnya.

Institute for Health Metrics and Evaluation pada tahun 2019 mengungkapkan, kematian akibat penyakit kardiovaskular di Indonesia mencapai 651.481 penduduk pertahun, dengan rincian stroke sebesar 331.349 kematian, penyakit jantung koroner sebesar 245.343 kematian, penyakit jantung hipertensi 50.620 kematian, dan penyakit kardiovaskular lainnya. Dari rincian penyakit kardiovaskular tersebut, 63% disebabkan karena aktivitas merokok.

Penetapan Tarif Cukai Rokok

Pada tahun 2024 ini, pemerintah kembali melakukan kebiasaan tahunan dengan menaikan tarif cukai rokok sebesar 10%. Melansir dari cnbcindonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan memastikan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata 10% per Januari 2024. 

Kenaikan ini sesuai dengan keputusan Presiden Joko Widodo tahun 2022, dimana Jokowi merilis kebijakan kenaikan tarif CHT dua tahun berturut-turut, yakni 2023 dan 2024.

Selama 2 periode pemerintah Jokowi, tarif cukai rokok melesat lebih dari 108%. 2020 menjadi tahun kenaikan cukai terbesar selama satu dekade terakhir dengan persentase 23%.

Tren Kenaikan Cukai Rokok Periode 2014 - 2024 (%) | Source: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan
Tren Kenaikan Cukai Rokok Periode 2014 - 2024 (%) | Source: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan

Kenaikan tarif cukai yang statis dan konsumsi rokok yang relatif tinggi di Indonesia, memberikan pendapatan cukai negara dari produk hasil tembakau menjadi yang tertinggi dibanding hasil kepabeanan dan cukai komoditas lain. 

Berdasarkan hasil laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) 2023 dari Kementerian keuangan, realisasi kepabeanan dan cukai Indonesia mencapai Rp286,19 triliun pada 2023, dengan pendapatan cukai hasil tembakau sebesar Rp213,48 triliun atau sekitar 74,59% dari total pendapatan kepabeanan dan cukai.

Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau sebagai Kebijakan Earmarking

Dalam teori kebijakan publik, earmarking merupakan langkah untuk mencapai efisiensi dalam penggunaan anggaran pemerintah. Earmarking merupakan praktik penganggaran dengan mengalokasikan pendapatan pajak atau pendapatan lainnya untuk program tertentu dengan melibatkan penyetoran pajak atau pendapatan lainnya ke rekening khusus. 

Tujuan dari earmarking dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan konsisten, sekaligus menciptakan good governance dan clean government.

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) merupakan salah satu dari langkah kebijakan earmarking berupa transfer dana yang dialokasikan kepada provinsi penghasil cukai tembakau atau penghasil tembakau.

Berdasarkan data yang dikemukakan Kemenkeu, alokasi DBHCHT meningkat dari 2% menjadi 3% mulai tahun 2023. Sesuai UU cukai, DBHCHT digunakan untuk mendanai lima program yaitu, peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan dibidang cukai, dan pemberantasan Barang kena cukai ilegal.

Alokasi DBH CHT tahun 2022 dan 2023, pemerintah mengubah besaran persentase alokasi. Kesehatan mendapat alokasi 40%, disusul alokasi kesejahteraan masyarakat sebesar 50% dengan rincian, peningkatan kualitas bahan baku, keterampilan kerja, dan pembinaan industri sebesar 20% dan pemberian bantuan sebesar 30%. Alokasi penegakan hukum mendapat alokasi sebesar 10%.

Desak Ketut Juniari Cameng, lewat jurnalnya yang berjudul Analisis Penerapan Kebijakan Earmarking Tax dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Terhadap Kesehatan Masyarakat tahun 2020 mengungkapkan, bahwa kebijakan earmarking lewat DBH CHT belum bisa memaksimalkan tujuan pengenaan cukai atas produk tembakau, yakni menanggulangi eksternalitas negatif terhadap kesehatan masyarakat. Pemanfaatan DBH CHT yang efisien seharusnya dapat menekan konsumsi  dan menanggulangi dampak kesehatan yang diakibatkan oleh aktivitas merokok.

Ini relevan dengan data kenaikan tren jumlah konsumsi rokok di Indonesia. Naiknya tarif cukai rokok dan alokasi DBH CHT hanya berdampak pada keberlangsungan industri rokok. 

DBH CHT belum maksimal dalam menekan konsumsi dan eksternalitas negatif akibat rokok, sebaliknya naiknya tarif cukai membawa pada permasalahan baru perihal konsumsi rokok ilegal di Indonesia. 

Sepanjang tahun 2022 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan mengungkapkan, jumlah rokok ilegal yang ditindak sebanyak 574,37 juta batang, meningkat 17,25% dibanding tahun 2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun