Rokok menyebabkan kemungkinan terkena penyakit tidak menular semakin tinggi seperti, kanker, penyakit pernapasan, stroke, serta penyakit kardiovaskular.
Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Wa Ode Masrida berjudul Estimasi Angka Kematian Penyakit Kanker Akibat Rokok di Indonesia Tahun 2020 mengungkapkan, proporsi angka kesakitan penyakit kanker yang terjadi akibat merokok tertinggi adalah kanker paru paru sebesar 88% untuk jenis kelamin laki-laki dan 16,48% untuk perempuan.
Sementara itu, estimasi nilai angka kematian penyakit kanker akibat rokok di Indonesia sebesar 39.217 yang terdiri dari 37.354 laki-laki dan 1.863 perempuan.
Rokok juga menyebabkan beberapa penyakit yang berhubungan dengan jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular). Secara global, WHO mengatakan bahwa rokok menyebabkan lebih dari 2 juta kematian akibat penyakit kardiovaskular setiap tahunnya.
Institute for Health Metrics and Evaluation pada tahun 2019 mengungkapkan, kematian akibat penyakit kardiovaskular di Indonesia mencapai 651.481 penduduk pertahun, dengan rincian stroke sebesar 331.349 kematian, penyakit jantung koroner sebesar 245.343 kematian, penyakit jantung hipertensi 50.620 kematian, dan penyakit kardiovaskular lainnya. Dari rincian penyakit kardiovaskular tersebut, 63% disebabkan karena aktivitas merokok.
Penetapan Tarif Cukai Rokok
Pada tahun 2024 ini, pemerintah kembali melakukan kebiasaan tahunan dengan menaikan tarif cukai rokok sebesar 10%. Melansir dari cnbcindonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan memastikan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata 10% per Januari 2024. Kenaikan ini sesuai dengan keputusan Presiden Joko Widodo tahun 2022, dimana Jokowi merilis kebijakan kenaikan tarif CHT dua tahun berturut-turut, yakni 2023 dan 2024.
Selama 2 periode pemerintah Jokowi, tarif cukai rokok melesat lebih dari 108%. 2020 menjadi tahun kenaikan cukai terbesar selama satu dekade terakhir dengan persentase 23%.
Kenaikan tarif cukai yang statis dan konsumsi rokok yang relatif tinggi di Indonesia, memberikan pendapatan cukai negara dari produk hasil tembakau menjadi yang tertinggi dibanding hasil kepabeanan dan cukai komoditas lain. Berdasarkan hasil laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) 2023 dari Kementerian keuangan, realisasi kepabeanan dan cukai Indonesia mencapai Rp286,19 triliun pada 2023, dengan pendapatan cukai hasil tembakau sebesar Rp213,48 triliun atau sekitar 74,59% dari total pendapatan kepabeanan dan cukai.
Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau Sebagai Kebijakan Earmarking
Dalam teori kebijakan publik, earmarking merupakan langkah untuk mencapai efisiensi dalam penggunaan anggaran pemerintah. Earmarking merupakan praktik penganggaran dengan mengalokasikan pendapatan pajak atau pendapatan lainnya untuk program tertentu dengan melibatkan penyetoran pajak atau pendapatan lainnya ke rekening khusus. Tujuan dari earmarking dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan konsisten, sekaligus menciptakan good governance dan clean government.
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) merupakan salah satu dari langkah kebijakan earmarking berupa transfer dana yang dialokasikan kepada provinsi penghasil cukai tembakau atau penghasil tembakau.