Namun, orientasi selesainya pendidikan adalah untuk bekerja pada industri juga bukanlah menjadi suatu kesalahan besar bagi seorang sarjana. Banyak aspek yang perlu dipertimbangkan sarjana untuk memilih hidup kedepannya.
Cusdiawan mengkritisi sulitnya seorang sarjana miskin untuk menjadi seorang yang intelektual. Ada harga yang perlu dibayar oleh mereka untuk hidup dengan pemikiran kritisnya.Â
Perspektif sarjana dengan latar belakang keluarga miskin, adalah bahwa pendidikan dapat memutar nasib hidupnya dahulu menjadi lebih sejahtera dan dapat diwariskan kepada keturunanya. Sejahtera disini berkutat dalam konsep mapan secara finansial.Â
Jika hidup pada realistisnya dunia industri dan mendapat kemapanan lebih dari kehidupan sebelumnya, apa masalahnya? Bukan juga mereka disebut tidak intelektual, tapi ada harga yang harus dibayar atas pilihannya.Â
Industri setidaknya memberikan kepada mereka pendapatan untuk tetap bertahan hidup. Pemikiran kritis memang setidaknya perlu untuk dikesampingkan dalam dunia industri. Tapi memilih untuk tetap bertahan hidup bukanlah pilihan yang salah. Merupakan pilihan bijak bagi mereka untuk bisa mengubah nasib hidupnya sendiri lewat industri.
Berdiri Di Antara Dua Pilihan
Saya sedikit mengkritisi bagaimana orientasi pendekatan sarjana miskin pada opini Cusdiawan. Saya rasa berdiri antara idealisme dan realistisnya seorang sarjana, tidak hanya dirasakan oleh sarjana miskin. Walaupun saya tahu, sarjana miskin lebih sulit untuk berdiri di antara dua pilihan tersebut. Namun, ini merupakan keresahan yang mungkin dialami semua sarjana, bahkan mereka yang terlahir kaya sekalipun.
Mungkin setidaknya, bagi mereka yang terlahir kaya, skenarionya bisa berbeda. Berdiri di antara idealisme intelektualitasnya atau harus mengurusi bisnis keluarganya. Semuanya punya pilihan yang sulit.
Narasi mengenai idealnya suatu pendidikan selalu terkesan glamour. Namun, bila narasi itu tidak masuk dalam daftar pilihan hidup anda, silakan untuk anda mengeliminasi dan merumuskan sebagaimana bagi anda masuk akal.
Bagi saya, tidak ada pilihan yang tidak masuk akal. Hanya saja selalu ada harga atas suatu pilihan.Â
*Tulisan ini merupakan review dan opini pribadi terkait tulisan dari Cusdiawan yang berjudul Bisakah Sarjana Miskin Menjadi Seorang Intelektual?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H