Mohon tunggu...
Yutta Sihing Gusti
Yutta Sihing Gusti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Strata I Ilmu Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta konsentrasi Media dan Jurnalistik

Lewat laman ini, akan saya tuliskan isi dan gagasan pikiran yang menjadi keresahan tersendiri. Ada baiknya pikiran tertuang dalam media dan terbaca oleh orang lain. Jangan sampai pikiran hanya menjadi sebatas pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Menjadi Sarjana: Antara Hidup Berdasar Realistis Industri atau Idealis Intelektualitas

24 April 2024   17:27 Diperbarui: 24 April 2024   17:50 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari seorang mahasiswa yang selesai menempuh pendidikannya dan menjalan proses wisuda (Sumber : www.fkip.umsu.ac.id)

Prinsip-prinsip kolektif dan demokrasi ide atau gagasan setidaknya tidak begitu diperlukan dalam ekosistem kerja di industri. Tujuan utamanya hanyalah bagaimana agar bisnis tetap berjalan dan memberikan keuntungan yang sebesar besarnya. 

Dalam suatu sistem kapitalisme, terdapat suatu relasi kekuasaan antara pemilik kapital dan buruh. Dimana pengusaha menguasai buruh dalam segi manajerial maupun ide atau gagasan. Hubungan buruh dan pengusaha memang berupa hubungan timbal balik, namun kadang kala terjadi dominasi kekuasaan dari pihak pengusaha terhadap pihak buruh. 

Dengan melihat skema tersebut, rasanya pemikiran kritis seseorang yang bekerja dalam industri sulit untuk dapat terkomunikasikan, karena adanya dominasi kekuasaan pemilik modal yang mengekang.

Pendidikan Berusaha Melayani Kebutuhan Korporat

Pada konteks ini, Cusdiawan memberikan opininya bahwa sistem pendidikan sendiri berusaha untuk melayani kepentingan korporasi. Baginya, sistem pendidikan sedari awal mencoba membatasi ruang berpikir kritis peserta didik. 

Cusdiawan mencoba memberikan perspektifnya dengan memberikan gambaran pendapat seorang ahli pendidikan kritis Amerika Latin, Paulo Freire pada tahun 1969. Freire menggunakan frasa "gaya bank" sebagai sindiran terhadap sistem pendidikan yang mencoba mematikan kritis dan kreativitas peserta didik. 

"Gaya bank" sendiri menganalogikan pengetahuan sebagai hibah yang diberikan guru kepada peserta didiknya. Seperti seorang nasabah memasukan uang dalam rekening bank yang kosong. 

Gaya pendidikan seperti itu membuat potensi peserta didik dalam berpikir kritis menjadi terbatas. Pengajaran hanyalah suatu proses transfer ilmu antara guru kepada peserta didik.  

Pada skema tersebut, hubungan antara pengajar dan peserta didik berbentuk subyek dan obyek. Pola komunikasi yang terbentuk pun bersifat monologis, yang mana untuk menciptakan pikiran kritis dan kreatif peserta didik diperlukan dialog yang setara antara keduanya.

Dengan melihat skema antara pengajar dan peserta didik, seharusnya ini selaras dengan relasi kekuasaan antara pengusaha dan buruh dalam lingkup korporat. Dimana ada dominasi kekuasaan yang membatasi kekuasaan pihak lainnya. Konsep inilah yang sedari awal saya rasakan pada sistem pendidikan di Indonesia yang secara tidak langsung mengajarkan hubungan kekuasaan pada tingkat korporasi. 

Pengajar dan peserta didik harus memainkan peran keduanya sebagai subyek dan membentuk pola komunikasi yang bersifat dialogis. Ini menciptakan interaksi yang humanistik dan membongkar batas dikotomi antara keduanya. 

Saya sangat menyukai kutipan Plutarch yang mengatakan, "pikiran bukanlah sebuah bejana yang perlu diisi, tetapi kayu yang perlu dinyalakan"

Industri Memberikan Kesejahteraan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun