Mohon tunggu...
Yutta Sihing Gusti
Yutta Sihing Gusti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Strata I Ilmu Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta konsentrasi Media dan Jurnalistik

Lewat laman ini, akan saya tuliskan isi dan gagasan pikiran yang menjadi keresahan tersendiri. Ada baiknya pikiran tertuang dalam media dan terbaca oleh orang lain. Jangan sampai pikiran hanya menjadi sebatas pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Menjadi Sarjana: Antara Hidup Berdasar Realistis Industri atau Idealis Intelektualitas

24 April 2024   17:27 Diperbarui: 24 April 2024   17:50 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari seorang mahasiswa yang selesai menempuh pendidikannya dan menjalan proses wisuda (Sumber : www.fkip.umsu.ac.id)

"Dengan budi pekerti, tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri. Inilah manusia beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya," ucap Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia, untuk memulai tulisan ini. 

Saya rasa Ki Hajar Dewantara atau orang orang hebat lainnya, setidaknya tidak mungkin mengatakan bahwa pendidikan adalah sarana untuk anda memperkaya diri. 

"Jadilah orang terdidik supaya anda bisa bekerja pada pemilik kapital dan industri unicorn di sepanjang jalan SCBD, kelak anda punya dana pensiun, dan rumah seluas 1000 meter persegi di kawasan elit Menteng sebagai bukti kesuksesan anda." 

Perasaan ini muncul dari dalam diri penulis, seorang mahasiswa semester 6 yang bimbang antara berdiri di idealisme intelektualitasnya atau kalah dari nikmatnya realistis kerja di Industri. 

Beberapa teman dekat saya selalu berkata, "kelar kuliah kerja dimana ya?" atau pemikiran konservatif orang tua yang selalu mengatakan "kalau sudah selesai, cepet langsung kerja ya." 

Mengapa orientasi selesainya pendidikan selalu untuk bekerja pada industri?

Mungkin setidaknya keresahan ini selaras dengan bagaimana Cusdiawan, seorang kolumnis media kumparan mencurahkan opininya terkait intelektualitas seorang sarjana. Walaupun, dirinya lebih memfokuskan mengenai peluang sarjana miskin menjadi seorang intelektual. 

Apa Itu Seorang Yang Intelektual?

Intelektual bukanlah sekedar selesai dari bangku pendidikan dan mendapat gelar di akhir namanya. Lebih dari itu, intelektual adalah bentuk dari kapasitas penalaran, kemampuan teoritik, dan metodologi yang memadai untuk menyelesaikan suatu permasalahan. 

Sarjana yang telah menempuh bangku pendidikan, seharusnya menjadi manusia yang kritis dan bebas menyuarakan gagasan dari hati dan pikirannya. Mengacu pada pernyataan Ki Hajar Dewantara, pendidikan secara garis besar adalah untuk menciptakan manusia merdeka yang  memerintah dan menguasai dirinya sendiri. 

Apakah Industri Berusaha Memangkas Intelektualitas?

Cusdiawan mencoba menggambarkan bagaimana industri mencoba memangkas intelektualitas seseorang dengan menggunakan kutipan Ekonom dari Harvard University, yakni John Kenneth Galbraith pada tahun 1997. John menegaskan, di era masyarakat industri dan bisnis besar tidak membutuhkan alumnus bertipe intelektual, yang diperlukan adalah mereka yang terampil dan terspesialisasi dengan bidangnya, sehingga mudah untuk disetir oleh kepentingan bisnis dan industrinya. 

Saya merasa memang benar adanya bahwa kepentingan industri dan bisnis perlu sedikitnya mengesampingkan intelektualitas seseorang. Dalam hal ini, proses bagaimana seseorang mengkritisi suatu keadaan atau permasalahan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun