Mohon tunggu...
Yusya Rahmansyah
Yusya Rahmansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Siliwangi

Seorang mahasiswa yang besar di dua pulau di Indonesia sumatera dan jawa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Melati di Tapal Batas

13 April 2020   20:25 Diperbarui: 13 April 2020   20:40 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Siap Letnan! Maaf" terkejut Ani setelah atasannya itu mengingatkan. "Ada apa Ni, kok teriak-teriak?" tanya lembut Maria kepada Ani. Ani masuk kedalam barak nomor dua yang memang diisi oleh pemudi-pemudi tangguh.

Para pemudi-pemudi ini mayoritas berlatar belakang keluarga petani yang ada di sekitar Karawang. Mereka meninggalkan orang tua mereka dan ladang-ladang mereka demi membela tanah air. Ani, ibunya sudah tiada. Dia tinggal bersama Ayah dan kedua adiknya yang masih kecil.

Siti yang terlihat begitu menggebu-gebu tinggal bersama kedua orang tuanya yang merupakan petani padi di Karawang. Sedangkan, Maria. Kedua orang tuanya merupakan keturunan Belanda, dapat dikatakan Maria bukan dari keluarga petani. Sebab orang tuanya merupakan Pendeta.

Para pemudi-pemudi ini mayoritas berlatar belakang keluarga petani yang ada di sekitar Karawang. Mereka meninggalkan orang tua mereka dan ladang-ladang mereka demi membela tanah air.

 "Dengar-dengar. Besok merupakan hari perang yang cukup besar" Ani sedikit berbisik kepada Maria. "Kenapa kalian berdua?" tegur Siti. Siti dan beberapa serdadu wanita lain mendekati Maria dan Ani.

Barak tersebut terdengar cukup ramai karena pembicaraan mereka yang sudah semakin padat dan penuh sesak dengan kabar bahwa besok akan ada peperangan besar. "sebentar, kamu tahu dari siapa kabar ini?" Maria mempertanyakan kabar yang disampaikan Ani.

"Jadi, saya tahu dari..." *DUG...DUG...DUG* Belum sempat Ani menjelaskan, Letnan Soekma sudah menggedor-gedor tenda mereka. "Hei! Kalian belum istirahat? Besok masih banyak Nederland yang perlu dicabut nyawanya!"

"Siap Letnan! Kami segera tidur" dengan sigap Siti langsung menjawab teguran Letnan Soekma. Seketika tenda mereka berubah menjadi hening, iringan rentetan peluru pun menjadi lagu pengantar tidur pemudi-pemudi tangguh ini.

Mengenai Letnan Soekma, Letnan Soekma merupakan bekas tentara PETA buatan Jepang. Letnan Soekma memang dikenal dekat dengan serdadu-serdadu wanita di Resimen ini. Letnan Soekma yang sudah berumur hampir setengah abad ini memang sudah seperti bapak bagi serdadu-serdadu wanita tanggu tersebut.

Jadi, kesan bercanda antara bawahan dan atasan terlihat wajar terjadi terutama ketika situasi sedang santai pada saat istirahat. Dan yang tadi memberikan arahan untuk mundur saat di medan perang adalah Letnan Soekma itu sendiri.

Posisi barak yang cukup jauh dari pusat peperangan dan tertutupi oleh pepohonan dan semak-semak menjadikan posisi bersembunyi yang ideal dan tepat. Akan tetapi serangan dapat datang dari mana saja dan kapan saja. *NGOENG...NGOENG...NGOENG* sirine serangan dibunyikan, sinar fajar masih belum terlihat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun