(2) MODEL PENGAWASAN
Besarnya dana yang diterima sekolah, baik dari alokasi APBN maupun APBD, nampaknya butuh pengawasan ketat dan menggunakan sistem silang. Pengawasan tidak hanya mengandalkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Inspektorat saja. Pengawasan selayaknya juga bisa dilakukan oleh masyarakat melalui keterbukaan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu bentuknya, dengan publikasi ke media massa tentang alokasi dana dan pengggunaannya. Hal itu sangat bisa dilakukan bilamana terdapat aturan hukumnya.
Pengawasan lainnya, adalah pengawasan internal sekolah. Minimal diciptakan 3 (tiga) unsur pengawas secara sinergis dalam sekolah. Pembentukan Tim Pengawas dari unsur tenaga pendidik dan tenaga kependidikan ditambah dengan unsur pengawas dari peserta didik itu sendiri. Disisi lain, peran komite sekolah bukanlah unsur pendorong korupsi disekolah. Komite harus mampu melaksanakan tugasnya sebagaimana yang sudah diatur dalam Permendikbud Nomor 75 tahun 2016.
(3) HAPUS TENDER
Mencuatnya kasus seragam sekolah mahal di Jawa Timur, sejatinya tidak hanya terjadi di Tulungagung. Menyikapi hal itu, sebaiknya secara kronologis dapat dikaji terlebih dahulu. Pelaku dibawah memang kepala sekolah sebagai pengambil kebijakan. Hanya saja, kondisi seperti itu sejatinya merupakan lingkaran setan.
Salah satu fakta yang dapat dimunculkan, pemenang tender seragam sekolah di Jawa Timur, hanyalah satu perusahaan saja. Secara prediktif, alur lingkaran setan mahalnya seragam sekolah, berawal dari tender pengadaan seragam. Tender itupun jelas melalui Pemprov Jatim. Selanjutnya barulah diteruskan kepada pemangku jabatan tertinggi dalam pendidikan di Jawa Timur, yaitu kepala dinas pendidikan.
Setelah itu lanjutannya adalah data pagu atau jumlah peserta didik dari Kepala cabang Dinas Pendidikan yang diperoleh dari para kepala sekolah. Hal itu pun juga harus melalui sistem organisasi yang disebut Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS). Diakui atau tidak, tahapan-tahapan inilah yang pasti memicu kian mahalnya harga seragam sekolah ketika dibeli walimurid.
Oleh karenanya, demi masa depan generasi bangsa ini, sebaiknya tender pengadaan seragam sekolah dihapuskan. Berikan kebebasan pada para kepala sekolah dan komite sekolah untuk melakukan pengadaan sendiri. Nah, bila kemudian masih terjadi penjualan seragam sekolah yang mahal, tentu saja eksekusi aparat penegak hukum (APH) sudah konkret ke sasarannya, yaitu tanggungjawab hukum masing-masing kepala sekolah.
(4) MODEL SELEKSI
Rumor longgarnya seleksi kepala sekolah, mau tidak mau menjadi salah satu sumber munculnya tindakan korupsi di sekolah. Meskipun banyak syarat dan tahapan menjadi kepala sekolah, nyatanya fakta menunjukkan "kemudahan" menjadi sosok kepala sekolah melalui berbagai bentuk "jalan tikus". Diakui atau tidak diakui, hal-hal negatif yang banyak terjadi di dunia pendidikan akhir-akhir ini disebabkan oleh ketidak-konsistenan dalam seleksi head master itu sendiri.
Meskipun setumpuk syarat administrasi, pangkat dan golongan kepangkatan, prestasi, hingga kompetensi seseorang, terkadang hanya menjadi pelengkap dalam seleksi kepala sekolah. Seketat apapun tahapannya, nyatanya masih saja terjadi ketimpangan disana-sini. Sosok yang diprediksi menjadi kepala sekolah, banyak yang tersungkur dan terjungkal kecewa karena ada oknum yang melakukan tindakan penyalahgunaan wewenang. Ironis dan pembunuh karakter pendidik yang berkualitas.