Masa seleksi untuk masuk perguruan tinggi negeri (PTN) sudah bergulir. Tahapan jalur pertama pun telah dibuka. Terhitung mulai tanggal 14 hingga 28 Februari 2023 pendaftaran jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) digulirkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Peserta didik yang masuk dalam kategori eligibel di sekolah pun, segera berbondong-bondong mengikuti seleksi. Untuk diketahui, jalur SNBP itu adalah pengganti dari jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Jalur ini pun biasa dikenal sebagai jalur undangan. Satu jalur untuk menjadi mahasiswa di PTN tanpa harus melalui tes tertentu.
Ada yang berubah dalam indikator SNBP 2023 ini. Peserta didik yang bisa lolos harus mampu memenuhi penilaian yang sudah ditetapkan pihak Kemendikbudristek melalui Tim Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB). Peserta didik yang bisa lolos ke PTN harus memenuhi 3 unsur penilaian.
Pertama, Indikator itu terdiri dari nilai rata-rata seluruh mata pelajaran selama 5 semester. Kedua, nilai rata-rata maksimal 2 mata pelajaran pendukung pilihan program studi di PTN. Ketiga, adanya prestasi akademik yang dimiliki peserta didik selama mereka sekolah dan atau berada dijenjang SMA/MA/SMK. Tentu saja ketiga syarat itu menjadi pemicu utama akan lolos dan tidaknya peserta didik ketika mengikuti jalur SNBP 2023.
Terlepas dari ketiga indikator yang sudah ditentukan Tim SNPMB Kemendikbudristek, ada hal lain yang krusial dan esensial. Hal itu berhubungan dengan pola pikir peserta didik dalam menghadapi tantangan itu. Meskipun peserta didik sudah dinyatakan eligibel sesuai dengan akreditasi sekolahnya, hal itu bukan jaminan untuk bisa lolos dalam SNBP.
Berdasarkan pengalaman penulis yang terbiasa mendampingi peserta didik menghadapi seleksi masuk PTN, ada hal-hal prinsip yang patut dijadikan pertimbangan. Dimana pertimbangan itu nantinya menjadi modal secara mental dalam menembus PTN. Prinsipnya sangat sederhana tetapi sangat membutuhkan ketajaman analisis sekaligus pola pikir yang visioner. Hal krusial dan esensial yang dimaksud penulis terdiri dari 3 unsur, yaitu tentang kemauan, kemampuan, dan restu orangtua.
Adapun konsep Mau - Mampu - Restu, sederhananya dapat dijelaskan sebagai berikut :
KEMAUAN
Sebuah "budaya" yang terjadi pada peserta didik kelas XII yang akan mengikuti seleksi masuk PTN adalah besarnya kemauan. Pada dasarnya peserta didik ingin atau mau memilih program studi yang sesuai dengan cita-citanya. Meskipun terkadang apa yang mereka mau jelas tidak sebanding dengan kemampuannya. Aspek pengambilan keputusan pada peserta didik itulah yang acapkali justru menjadi pemicu kegagalannya.
Dasar kemauan sudah seharusnya menjadi modal dalam studi lanjutnya. Bila dirinya mau atas sebuah program studi, tentu dapat diprediksi bila kelak sudah kuliah, mereka akan menikmati studinya dengan nyaman, menyenangkan, dan tanpa beban. Sebab, studi lanjut yang dilakukan, program studi yang dijalani sesuai dengan yang dimau.
Unsur kemauan ini tentunya harus didasari dengan ukuran kemampuan. Akan sangat ironis bila kemauan itu hanya terdorong oleh egois, gengsi, dan paksaan orangtua. Kemauan itu justru akan menyesatkan yang bersangkutan dan pastinya berresiko terhadap perjalanan studinya kelak. Nah, disinilah peserta didik harus melatih dirinya untuk dapat menetapkan kemauan dengan kemampuan yang dimiliki.
KEMAMPUAN
Sementara itu, dari unsur kemampuan tentu saja mengarah pada 2 hal utama. Pertama, kemampuan daya intelektual dan prestasi yang dimiliki. Kedua, kemampuan dari aspek materiil, baik tentang biaya studi maupun sarana prasarana yang dibutuhkan dalam menempuh studinya kelak. Bagaimana pun kemampuan itu mengandung unsur keberimbangan antara daya kemauan dan kondisi peserta didik itu sendiri.
Dalam memilih program studi selayaknya selaras antara kemauan dan kemampuan. Bila hal itu tidak dijadikan pertimbangan, sama saja dengan menjerumuskan diri pada langkah awal terjadinya kegagalan. Peserta didik harus benar-benar dapat mempertimbangkan antara unsur kemauannya dengan apa yang dimampunya. Kemauan harus sebanding dengan kemampuan. Peserta didik yang kurang mampu dalam berbahasa asing, tentu saja lucu bila dirinya ngotot memilih apalagi memaksakan diri di program studi hubungan internasional.
Hal-hal semacam itu terjadi lantaran kurangnya arahan, bimbingan, dan bahkan wawasan dalam meneropong modal awal sebagai mahasiswa. Ironisnya lagi, banyak kemauan peserta didik yang tidak diimbangi dengan kemapanan pengetahuan akan suatu program studi yang ada di PTN. Banyak diantara peserta didik yang berkemauan selangit dalam memilih program studi, tetapi memiliki kemampuan biasa-biasa saja dan bahkan tak signifikan dengan kebutuhan utama pada program studi yang dimauinya.
Disisi lain, unsur kemampuan secara materiil juga layak dijadikan pertimbangan. Seseorang yang memiliki keterbatasan secara pengetahuan dan keterampilan dunia teknologi dan informasi, harusnya bisa menahan diri untuk tidak memilih jurusan Teknologi Informasi. Hematnya, bagaimana mereka bisa menjalani perkuliahan dengan baik, sementara sarana dan prasarana penunjang studinya tidak ada.
Kondisi seperti itu juga sangat membutuhkan perhatian orangtua. Janganlah memaksakan kehendak kepada anak-anaknya untuk memilih program studi tertentu tanpa mampu menyediakan sarana pendukungnya. Kita harus lebih bijak dalam menyikapi kemauan anak dengan kemampuan pembiayaannya. Prinsipnya, akan sangat bijak bilamana orangtua dapat mengidentifikasi kemauan anak dan disandingkan dengan kemampuan keluarganya. Sehingga kelak, tidak terjadi kegagalan saat menempuh kuliah.
DOA RESTU
Peserta didik harus belajar bagaimana berpola pikir rasional dan proporsional. Kemauan dan kemampuan yang dimiliki tak akan mampu menembus batas tertentu tanpa adanya doa dan restu orangtua. Bagaimana pun, restu orangtua tak hanya diminta saat sesorang akan menikah atau bepergian jauh saja. Doa restu teramat sangat dibutuhkan bagi peserta didik ketika menentukan pilihan dalam mengikuti seleksi masuk PTN.
Dalam kesempatan ini, penulis mohon ijin membuat ilustrasinya. Bila peserta didik memiliki kemauan yang prospektif, kamampuan dirinya juga bagus, tetapi tidak ada restu dari orangtuanya, hal itu sama saja dengan menanam kegagalan. Selanjutnya, peserta didik mau atas sebuah program studi, tetapi dirinya tahu tidak memiliki kemampuan maksimal, namun orangtuanya merestui, sama saja hal itu dengan pejalan kaki buta tanpa tongkat pengarah jalan.
Ilustrasi terakhir, bila peserta didik memiliki kemauan yang terkoneksi dengan kemampuannya dan mengalirnya restu dari orangtuanya, maka peserta didik itu akan memiliki banyak kemudahan agar bisa lolos di PTN. Hal semacam ini mungkin kurang terbersit dibenak banyak orang. Hanya saja perlu diingat, bila kedua orangtua kita merupakan "utusan" Tuhan yang harus dihormati dan diteladani.
Dari ketiga pertimbangan dengan konsep Mau-Mampu-Restu itu, bilamana dapat dijalankan dengan penuh komitmen tinggi, tentu saja akan memberikan peluang besar bagi pencapaian keberhasilannya. Sedangkan dalam implementasinya, peserta didik sebaiknya meminta restu orangtua untuk melaksanakan kemauannya sesuai dengan kemampuan dirinya maupun keluarganya.
Bagaimana pun, sudah seharusnya kemauan seseorang itu bijaknya diukur dengan kemampuannya. Sedangkan kemauan dan kemampuan itu dapat berhasil ketia mendapatkan restu dari kedua orangtua. Oleh karenanya, konsep Mau-Mampu-Restu dapat menjadi bahan renungan awal sebelum betul-betul menentukan arah atas pilihan program studi di kampus pilihannya.***
*Penulis adalah Guru SMAN 1 Bangsal Kabupaten Mojokerto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H