"Aku... aku minta maaf," kata Malik dengan suara bergetar. "Aku tidak bisa mengubah apa yang terjadi, tapi aku ingin menebusnya, jika itu memungkinkan."
Lin tertawa sinis. "Menebus? Apa yang bisa kamu lakukan sekarang? Luka yang kamu buat tidak akan pernah sembuh. Kamu menghancurkan hidupku, Malik. Kamu mengambil segalanya dariku."
Malik merasakan perasaan bersalah yang begitu dalam, lebih dalam dari yang pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa memperbaiki apa yang telah ia lakukan.
"Aku tidak meminta kamu untuk memaafkanku, Lin. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku menyesal, dari lubuk hatiku yang paling dalam," kata Malik akhirnya.
Lin memandangnya dengan tatapan yang penuh dengan kepahitan. "Kamu tahu, Malik, aku seharusnya membencimu. Aku seharusnya ingin kamu mati. Tapi, selama bertahun-tahun, aku menyadari sesuatu. Kebencian hanya akan menghancurkan diriku sendiri, bukan kamu. Jadi, aku memutuskan untuk melepaskan kebencian itu. Tapi itu tidak berarti aku memaafkanmu."
Malik merasa hatinya hancur. Ia tahu bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan untuk memperbaiki kesalahannya. Lin tidak akan pernah bisa kembali menjadi perempuan yang ia kenal dulu. Kehidupan mereka telah berubah selamanya, dan tidak ada jalan untuk kembali.
"Tapi, .... Malik, ada satu hal yang perlu kamu tahu," lanjut Lin dengan suara yang mulai bergetar. "Aku bukan satu-satunya yang menderita. Ada seseorang yang lebih menderita dari aku---anak kita."
Kata-kata itu menghantam Malik seperti pukulan yang tak terduga. Sejenak, ia merasa dunia di sekelilingnya berputar, dan ia hampir kehilangan keseimbangan. "Anak kita?" tanyanya dengan suara yang serak dan penuh ketidakpercayaan. "Apa maksudmu?"
Lin menatap Malik dengan tatapan yang tak bisa diterjemahkan, campuran antara kepedihan dan kemarahan yang membara. "Kamu tidak pernah tahu, bukan? Kamu tidak pernah berpikir bahwa tindakanmu malam itu akan membawa konsekuensi sebesar ini. Tapi ya, Malik. Aku hamil setelah malam itu. Kamu menghancurkan hidupku dan hidup anak kita."
Malik terdiam, tenggelam dalam rasa bersalah yang menyesakkan. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa tindakan yang ia lakukan dalam kegelapan malam itu akan membawa kehidupan yang lain---anak yang tidak pernah ia kenal, tidak pernah ia pikirkan. Perasaan bersalahnya yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam kini meledak menjadi sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih menyakitkan.
"Aku... Aku tidak tahu, Lin. Aku benar-benar tidak tahu," ucap Malik dengan suara yang nyaris tak terdengar. Ia merasa tubuhnya gemetar, pikirannya kacau balau. "Di mana dia sekarang? Apa yang terjadi padanya?"