Di tengah gemuruh kota yang tak lagi dikenalnya, Malik duduk di kursi kayu yang keras. Ruangan di sekelilingnya sunyi, hanya diisi oleh detak jarum jam yang terdengar begitu lambat. Keringat mengalir di pelipisnya, meskipun malam sudah begitu larut. Pikirannya berputar-putar, kembali ke masa yang tak ingin ia ingat, masa yang menyimpan kebenaran paling gelap dalam hidupnya.
Malam itu, dua puluh tahun yang lalu, adalah malam yang tak pernah bisa ia lupakan. Tahun 1998, Jakarta menyala dalam kekacauan. Reformasi yang digerakkan oleh para mahasiswa untuk menjatuhkan rezim Orde Baru sudah mencapai puncaknya. Suasana yang dulu dipenuhi oleh ketidakpuasan dan kebencian kini bertransformasi menjadi kebengisan yang tak terkendali. Malik saat itu hanyalah seorang perwira muda dalam kesatuan khusus yang ditugaskan untuk menjaga keamanan negara. Tapi malam itu, ia belajar bahwa terkadang menjaga keamanan berarti menghancurkan hidup seseorang.
Malik ingat bagaimana ia dan timnya bergerak di bawah perintah yang tegas. Tangkap dan interogasi. Tak ada yang perlu dipertanyakan, tak ada yang perlu diragukan. Orang-orang yang mereka tangkap pada malam itu adalah mereka yang dicurigai terlibat dalam gerakan anti-pemerintah. Mereka adalah ancaman bagi stabilitas negara, dan negara tidak akan membiarkan ancaman itu berkembang lebih jauh.
Di sebuah gedung yang terisolasi di pinggir kota, Malik dan timnya membawa beberapa tahanan. Di antara mereka ada seorang perempuan muda, mungkin masih di usia awal dua puluhan. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan pakaian yang ia kenakan sudah sobek di beberapa bagian. Namanya Lin, seorang mahasiswa Tionghoa yang menjadi aktivis vokal dalam gerakan reformasi. Malik ingat bagaimana mata Lin menatapnya dengan ketakutan, tapi juga dengan kemarahan yang tak terselubung.
"Kenapa aku dibawa ke sini? Apa yang kalian inginkan?" tanya Lin dengan suara yang bergetar, meski ia berusaha menyembunyikan rasa takutnya.
"Kami hanya butuh beberapa informasi, Lin. Jika kamu bekerja sama, semuanya akan selesai dengan cepat," jawab Malik, suaranya datar, tanpa emosi.
Lin tertawa kecut, menyadari ironi dalam kata-kata Malik. Ia tahu betul bahwa 'kerja sama' yang dimaksud bukanlah pilihan yang bisa ia terima dengan mudah. Malik pun tahu, apa yang akan terjadi malam itu bukanlah sesuatu yang bisa ia lupakan, meskipun ia sangat menginginkannya.
Malam itu, ruangan interogasi menjadi saksi bisu bagaimana manusia bisa kehilangan kemanusiaannya. Suara jeritan Lin menggema di dalam ruangan, membuat Malik merasakan kepedihan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia melakukan tugasnya dengan tangan dingin, tapi di dalam hatinya, Malik mulai merasakan sesuatu yang tidak ia pahami---perasaan bersalah yang perlahan menggerogoti jiwanya.
Setelah jam-jam panjang yang penuh dengan penderitaan, Lin akhirnya terdiam. Tubuhnya terkulai lemah di kursi, dan Malik hanya bisa menatapnya tanpa bisa melakukan apa-apa. Di satu sisi, ia merasa lega karena interogasi berakhir, tetapi di sisi lain, ia merasa terperangkap dalam labirin moralitas yang rumit. Malik mencoba meyakinkan dirinya bahwa apa yang ia lakukan adalah untuk kebaikan negara. Namun, jauh di dalam dirinya, ia tahu bahwa malam itu, ia telah menghancurkan kehidupan seorang manusia.
Pagi harinya, Lin dibawa pergi. Malik tidak tahu ke mana dia dibawa, dan ia tidak ingin tahu. Baginya, semakin sedikit yang ia ketahui, semakin mudah baginya untuk melupakan semua ini. Namun, bayangan wajah Lin yang terluka tetap menghantui pikirannya. Ia mencoba mengubur ingatan itu, tetapi setiap kali ia melihat ke cermin, bayangan Lin selalu ada di sana, menatapnya dengan penuh kebencian.
Waktu berlalu, dan Reformasi berhasil. Rezim Orde Baru jatuh, dan Indonesia memasuki era baru demokrasi. Malik memutuskan untuk meninggalkan kesatuan khusus dan memulai hidup baru sebagai warga sipil. Ia menikah, memiliki anak, dan mencoba untuk melupakan masa lalunya yang kelam. Tapi, tak peduli seberapa keras ia mencoba, masa lalu itu selalu berhasil kembali menghantuinya.