Mohon tunggu...
Yusuf Siswantara
Yusuf Siswantara Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik dan Pemerhati Pendidikan

Menyukai penelitian dan pendidikan nilai dan karakter

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Korupsi dalam Ruang Politik: Tantangan Pendidikan Karakter

18 Oktober 2023   23:56 Diperbarui: 21 Oktober 2023   19:53 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Korupsi: Masuk dan Memaksa dalam Ruang Politik

Korupsi adalah cacing moral yang telah menggerogoti politik dan sejarah manusia. Korupsi bukan suatu hal yang tidak didasari oleh sifat tamak manusia. Ada kerakusan. Mari kita lihat: adakah orang miskin yang korupsi? Tidak! Koruptor adalah orang yang mempunyai kesempatan dan mempunyai posisi atau kedudukan yang memungkinkannya korupsi.

Alatas menuliskan sebuah pola menarik; kehancuran Ottoman terjadi karena korupsi dari petinggi sampai bawahan, sultan sampai tukang sapunya. Jika dilihat dewasa ini, korupsi yang terjadi tahun 50-an sampai sekarang, Semaraknya korupsi sekian milyar di sini.  Republik ini bisa stagnan atau mundur, bahkan hilang karena korupsi.

Pernyataan ini khususnya relevan dalam konteks Republik ini. Dari sudut pandang sejarah, kita dapat melihat bagaimana korupsi merayap ke dalam politik dan mengendalikan struktur pemerintahan.

Dalam pembahasan ini, kita akan menganalisis bagaimana korupsi memasuki panggung politik, prosesnya, serta implikasi pendidikan dalam pencegahan korupsi.

Sejarah mengungkapkan bagaimana korupsi merajalela dan menjalari fondasi politik Republik ini. Republik ini didirikan oleh para pemimpin yang terdidik, visioner, dan berani. Kita hidup dalam tanah Republik yang didirikan tesebut.

Meskipun didirikan oleh pemimpin-pemimpin terpelajar, visioner, dan berani, korupsi menyusup ke dalam jaringan politik. Kehadiran faktor ekonomi, psikologi, dan politik saling bersinggungan dalam membentuk landasan bagi korupsi.

Menariknya, orang miskin jarang terlibat dalam korupsi. Koruptor adalah mereka yang memiliki posisi dan kesempatan untuk melanggar, memanipulasi, dan merampas. Sejarah mencatat bahwa bahkan kerajaan Ottoman runtuh karena korupsi, dari pejabat hingga yang paling rendah.

Perang Melawan Korupsi di Masa Lalu: Langkah-Langkah Progresif dan Tantangan

Republik ini tidak lepas dari dampak merusaknya korupsi, terutama pada era 1950-an. Praktik korupsi telah menginfeksi berbagai institusi pemerintahan, mengancam stabilitas negara. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, tindakan korupsi menjadi sorotan serius dari berbagai elemen masyarakat.

Soekarno bahkan secara tegas mengecam penyimpangan korupsi dalam pidatonya yang berjudul "Penemuan Kembali Revolusi Kita". Di tengah keprihatinan ini, Soekarno memperkenalkan Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) melalui Peraturan Presiden No. 1 Tahun 1959. Inisiatif ini mencerminkan upaya serius untuk melawan wabah korupsi.

Kebijakan pemberantasan korupsi, seperti Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) dan undang-undang keadaan bahaya, mencerminkan tekad yang kuat dalam menghadapi korupsi yang merajalela.

Pada saat itu, terbentuklah PARAN sebagai respons terhadap Undang-Undang Keadaan Bahaya, dengan tugas mengelola data laporan kekayaan pejabat negara, serta Keppres No. 275 tahun 1963 tentang pemberantasan korupsi.

Peraturan Presiden No. 1 Tahun 1959 memberikan peran signifikan kepada Bapekan dalam mengawasi dan menyelidiki kegiatan aparatur negara serta menangani pengaduan terkait dugaan penyimpangan yang melibatkan aparatur negara. Badan ini juga memiliki wewenang memberikan saran kepada Presiden terkait hal-hal yang dapat merugikan daya guna dan kewibawaan negara.

Di bawah kepemimpinan Sri Sultan HB IX, Bapekan memiliki kedudukan setara dengan menteri dan berada dalam golongan F ruang VII. Anggota Bapekan termasuk Samadikoen, Semaun, Arnold Mononutu, dan Letkol Soedirgo. Penunjukan Sri Sultan HB IX sebagai ketua menggambarkan integritas politik dan ketegasan yang diakui.

Namun demikian, dalam perjalanan pemberantasan korupsi, berbagai tantangan muncul. Tantangan pertama adalah penegakan hukum yang sering tidak konsisten, serta intervensi politik yang merongrong upaya pemberantasan.

Upaya Presiden Soekarno dalam mengatasi korupsi harus menghadapi hambatan mulai dari masalah penegakan hukum yang tidak selalu konsisten hingga benturan kepentingan politik.

Meskipun demikian, upaya ini menandai langkah progresif dalam memerangi korupsi pada masa ketika negara ini masih dalam fase perkembangan awal.

Kita lihat bahwa era pemerintahan Presiden Soekarno melihat upaya serius untuk mengatasi korupsi melalui pendirian Bapekan dan inisiatif lainnya.

Namun, ketidaksesuaian dalam penegakan hukum dan intervensi politik menyulitkan langkah-langkah ini. Meskipun demikian, langkah-langkah ini merupakan tonggak progresif dalam pemberantasan korupsi di negara yang masih muda pada waktu itu.

Masa Depan Korupsi: Perspektif Sejarah dan Tantangan Pendidikan

Republik ini, yang dirintis oleh para pemimpin idealis dan visioner yang mendedikasikan diri untuk bangsa dan negara, menyaksikan dengan cepat korupsi menginfeksi dunia politiknya. Keberadaan hubungan akrab dan jaringan kepentingan (kroni-kroni) terbukti mendorong korupsi ke dalam ranah politik. Ini memicu pertanyaan esensial: apakah pada tahun 50-an, korupsi dilakukan oleh individu atau kelompok tertentu (partai)? Kita kiranya harus mengingat bahwa partai politik dijalankan oleh individu yang terdidik dan tercerahkan.

Oleh karena itu, nampaknya, korupsi lebih merupakan aksi individu. Para pemimpin partai, seperti Natsir dan Syahrir, menyadari bahwa negara ini harus dibangun, merdeka bukan hanya dari penjajahan tetapi juga menghadirkan kesejahteraan bagi semua warganya. Semangat ini tercermin dalam tindakan simbolis seperti kisah 'sepatu Bally' atau 'jas' Menteri Natzir yang ditambal.

Pertanyaan lebih lanjut muncul mengenai mengapa pejabat negara, yang memegang kekuasaan, cenderung sederhana dan mengapa mereka tidak tergoda oleh korupsi? Adakah faktor ekonomi yang memainkan peran penting?

Tidak, jawab Anhar Gonggong. Menurutnya, kunci utamanya adalah pendidikan. Pendekatan ini berfokus pada pembentukan nilai-nilai dan integritas diri. Dahulu, orang belajar, menjadi terdidik dan tercerahkan. Pendidikan menjadi identitas yang melekat dan memberikan integritas pada diri. Sekarang bagaimana?

Seorang profesor yang terlibat dalam korupsi menggambarkan betapa pendidikan yang hanya sekadar pencapaian akademis tidak mampu membangun karakter yang kokoh. Bahwa individu yang berpendidikan tinggi kadang-kadang masih terjerat dalam korupsi merupakan fenomena sosial yang menggambarkan kesenjangan antara pendidikan formal dan perkembangan karakter. Pendidikan yang kuat tidak hanya berfokus pada pengetahuan akademis, tetapi juga membangun sikap dan moral yang kuat.

Pendidikan harus menjadi sarana untuk mengokohkan integritas individu, yang akan memberikan kekuatan untuk menolak godaan korupsi. Pendidikan harus bisa menjawab pertanyaan: siapa kamu? Hal ini sejajar dengan ‘bisnis’. Bisnis bukan hanya melulu soal modal, ‘cuan’, dan keuntungan. Sealain ekonomi, bisnis harus bisa menjawab ‘siapa kamu’?

Dengan demikian, sejarah Republik ini menyajikan pelajaran berharga tentang perjalanan korupsi dalam politik. Meskipun berawal dengan semangat yang mulia, korupsi dengan cepat merayap masuk.

Kunci pencegahan adalah pendidikan yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga memupuk karakter dan integritas yang kokoh. Pendidikan yang terfokus pada nilai-nilai positif dapat mengatasi tantangan moral ini dan membantu mewujudkan visi pendiri negara dalam memerangi korupsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun