Republik ini, yang dirintis oleh para pemimpin idealis dan visioner yang mendedikasikan diri untuk bangsa dan negara, menyaksikan dengan cepat korupsi menginfeksi dunia politiknya. Keberadaan hubungan akrab dan jaringan kepentingan (kroni-kroni) terbukti mendorong korupsi ke dalam ranah politik. Ini memicu pertanyaan esensial: apakah pada tahun 50-an, korupsi dilakukan oleh individu atau kelompok tertentu (partai)? Kita kiranya harus mengingat bahwa partai politik dijalankan oleh individu yang terdidik dan tercerahkan.
Oleh karena itu, nampaknya, korupsi lebih merupakan aksi individu. Para pemimpin partai, seperti Natsir dan Syahrir, menyadari bahwa negara ini harus dibangun, merdeka bukan hanya dari penjajahan tetapi juga menghadirkan kesejahteraan bagi semua warganya. Semangat ini tercermin dalam tindakan simbolis seperti kisah 'sepatu Bally' atau 'jas' Menteri Natzir yang ditambal.
Pertanyaan lebih lanjut muncul mengenai mengapa pejabat negara, yang memegang kekuasaan, cenderung sederhana dan mengapa mereka tidak tergoda oleh korupsi? Adakah faktor ekonomi yang memainkan peran penting?
Tidak, jawab Anhar Gonggong. Menurutnya, kunci utamanya adalah pendidikan. Pendekatan ini berfokus pada pembentukan nilai-nilai dan integritas diri. Dahulu, orang belajar, menjadi terdidik dan tercerahkan. Pendidikan menjadi identitas yang melekat dan memberikan integritas pada diri. Sekarang bagaimana?
Seorang profesor yang terlibat dalam korupsi menggambarkan betapa pendidikan yang hanya sekadar pencapaian akademis tidak mampu membangun karakter yang kokoh. Bahwa individu yang berpendidikan tinggi kadang-kadang masih terjerat dalam korupsi merupakan fenomena sosial yang menggambarkan kesenjangan antara pendidikan formal dan perkembangan karakter. Pendidikan yang kuat tidak hanya berfokus pada pengetahuan akademis, tetapi juga membangun sikap dan moral yang kuat.
Pendidikan harus menjadi sarana untuk mengokohkan integritas individu, yang akan memberikan kekuatan untuk menolak godaan korupsi. Pendidikan harus bisa menjawab pertanyaan: siapa kamu? Hal ini sejajar dengan ‘bisnis’. Bisnis bukan hanya melulu soal modal, ‘cuan’, dan keuntungan. Sealain ekonomi, bisnis harus bisa menjawab ‘siapa kamu’?
Dengan demikian, sejarah Republik ini menyajikan pelajaran berharga tentang perjalanan korupsi dalam politik. Meskipun berawal dengan semangat yang mulia, korupsi dengan cepat merayap masuk.
Kunci pencegahan adalah pendidikan yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga memupuk karakter dan integritas yang kokoh. Pendidikan yang terfokus pada nilai-nilai positif dapat mengatasi tantangan moral ini dan membantu mewujudkan visi pendiri negara dalam memerangi korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H