Pemilu di Indonesia selalu menjadi momen penting yang mencerminkan dinamika politik dan aspirasi rakyat. Namun, di balik pelaksanaan pemilu yang rutin diadakan setiap lima tahun, ada sejumlah masalah mendasar yang terus mengganggu kualitas demokrasi negara ini, terutama terkait dengan sistem kepartaian dan integritas pemilu. Seiring dengan perkembangan zaman dan tantangan global, pemilu Indonesia membutuhkan perubahan yang signifikan untuk memastikan bahwa proses demokrasi benar-benar mewakili suara rakyat dan menghasilkan pemerintahan yang efektif dan responsif (Alaydrus et al., 2023).
Sistem Kepartaian yang Fragmented
Salah satu isu utama dalam pemilu Indonesia adalah sistem kepartaian yang sangat terfragmentasi. Sejak reformasi 1998, jumlah partai politik di Indonesia terus berkembang, dengan 17 partai politik yang berhasil masuk ke dalam Parlemen pada Pemilu 2019. Pada Pemilu 2024, diperkirakan jumlah ini akan terus bertambah. Dalam sistem pemilu proporsional terbuka, di mana pemilih dapat memilih calon legislatif dari partai tertentu, fragmentasi partai politik ini menciptakan banyak masalah.
Pertama, partai politik yang terlalu banyak dan cenderung bersifat lokal atau sektarian sering kali tidak memiliki platform ideologis yang jelas. Banyak partai hanya mengandalkan jaringan pribadi dan pendekatan pragmatisme politik tanpa komitmen terhadap isu-isu substantif. Ini menjadikan pemilu lebih seperti kontes politik antara aktor individu atau kelompok yang mengincar kekuasaan, daripada sebuah forum untuk mewujudkan program-program pembangunan yang konkret.
Studi kasus Pemilu 2019 dapat menjadi contoh nyata dari masalah ini. Dalam Pemilu 2019, terdapat 16 partai politik yang lolos ke DPR, dengan banyak di antaranya mengusung calon legislatif yang hanya populer secara lokal, bukan berdasarkan kualitas ideologi atau program politik. Fragmentasi ini juga berkontribusi pada munculnya fenomena "politik uang" dan politik transaksional, di mana suara dipertukarkan dengan imbalan materi, bukan berdasarkan pilihan ideologis atau program.
Selain itu, sistem ini juga memunculkan masalah dalam pembentukan koalisi pemerintah. Sebagai contoh, dalam Pemilu 2019, terbentuknya koalisi pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo melibatkan sejumlah partai dengan ideologi yang sangat berbeda. Alih-alih menghasilkan kebijakan yang terfokus dan berbasis pada prinsip, koalisi ini lebih sering ditentukan oleh perhitungan pragmatisme politik dan kebutuhan untuk meraih kekuasaan, bukan oleh visi bersama (Abadi & Arsil, 2022).
Integritas Pemilu yang Rentan Manipulasi
Masalah kedua yang mengemuka adalah soal integritas pemilu itu sendiri. Meskipun pemilu Indonesia relatif bebas dan terbuka, namun sistem pemilu yang ada tidak sepenuhnya bebas dari manipulasi. Berbagai bentuk kecurangan, mulai dari manipulasi data pemilih hingga praktik penggelembungan suara, masih ditemukan dalam setiap pemilu.
Studi kasus yang terjadi dalam Pemilu 2019 menunjukkan adanya masalah serius dalam hal integritas pemilu. Misalnya, adanya laporan tentang adanya pemilih ganda yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT), serta ketidaktepatan data pemilih yang menyebabkan beberapa warga negara tidak dapat menyalurkan hak suara mereka. Selain itu, banyaknya laporan terkait pembagian uang atau barang kepada pemilih di beberapa daerah menunjukkan adanya praktik politik uang yang jelas merusak kualitas pemilu. Ini tidak hanya mengurangi kredibilitas hasil pemilu, tetapi juga merusak esensi demokrasi itu sendiri.
Meskipun Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah berusaha meningkatkan pengawasan dan transparansi, tetapi tantangan besar tetap ada. Infrastruktur pemilu yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, dengan beragam kondisi sosial dan ekonomi, membuat pengawasan yang efektif sangat sulit dilakukan (Sardini, 2011).
Perubahan yang Diperlukan: Sistem Kepartaian dan Electoral Integrity
Untuk mengatasi tantangan ini, pemilu Indonesia memerlukan perubahan yang mencakup perbaikan pada sistem kepartaian dan integritas pemilu. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan:
- Pembatasan Jumlah Partai Politik
Salah satu solusi untuk mengurangi fragmentasi partai adalah dengan membatasi jumlah partai yang dapat ikut serta dalam pemilu. Pembatasan ini dapat dilakukan dengan menaikkan ambang batas (threshold) suara yang harus diraih oleh partai politik agar dapat duduk di parlemen, misalnya menaikkan ambang batas parliamentary threshold dari 4% menjadi 5% atau lebih. Dengan cara ini, hanya partai-partai yang benar-benar memiliki basis dukungan yang kuat yang akan lolos ke parlemen, dan ini dapat mengurangi terjadinya fragmentasi politik yang berlebihan. Selain itu, pembatasan jumlah partai juga dapat mempermudah pembentukan koalisi yang lebih stabil dan ideologis.
- Reformasi Sistem Pemilu
Sistem proporsional terbuka yang diterapkan saat ini juga perlu dievaluasi. Pemilu legislatif dengan sistem proporsional terbuka memungkinkan pemilih untuk memilih calon legislatif secara individu, tetapi hal ini seringkali memperburuk masalah politik uang dan menyebabkan kurangnya perhatian terhadap platform partai. Salah satu alternatif yang bisa dipertimbangkan adalah sistem proporsional tertutup, di mana pemilih memilih partai dan bukan individu, sehingga memaksa partai untuk lebih fokus pada visi dan program politik mereka. Dengan sistem ini, partai yang memiliki platform politik yang jelas dan mendalam akan lebih mendapat perhatian, daripada partai yang hanya mengandalkan jaringan politik semata.
- Meningkatkan Pengawasan dan Transparansi Pemilu
Untuk memperbaiki integritas pemilu, pengawasan harus lebih ketat dan transparan. Salah satu cara untuk mewujudkan hal ini adalah dengan memanfaatkan teknologi informasi untuk memperbaiki sistem pemilu, seperti penggunaan teknologi blockchain untuk memverifikasi suara atau mengurangi manipulasi data pemilih. Penggunaan aplikasi yang lebih canggih untuk memonitor proses pemilu dapat meminimalisir terjadinya kecurangan. Selain itu, sosialisasi tentang pentingnya integritas pemilu juga harus ditingkatkan, dengan melibatkan masyarakat dalam pengawasan proses pemilu dari awal hingga akhir.
- Pendidikan Politik yang Lebih Baik
Pendidikan politik yang baik untuk masyarakat sangat penting agar pemilih lebih cerdas dalam menentukan pilihannya. Pemilih yang teredukasi akan lebih kritis dalam memilih calon yang sesuai dengan prinsip dan nilai mereka, bukan karena iming-iming materi. Pendidikan politik juga dapat mengurangi pengaruh praktik politik uang dan memperkuat komitmen masyarakat terhadap proses demokrasi (Padilah & Irwansyah, 2023).
Kesimpulan
Kesimpulan krusial dari materi ini adalah bahwa pemilu di Indonesia membutuhkan perubahan mendalam untuk memperbaiki kualitas demokrasi. Dua isu utama yang menjadi perhatian adalah sistem kepartaian yang terfragmentasi dan integritas pemilu yang rentan terhadap manipulasi. Fragmentasi partai menciptakan politik yang lebih didorong oleh kepentingan individu atau kelompok daripada ideologi atau program substantif, serta memperburuk praktik politik uang dan politik transaksional. Sementara itu, integritas pemilu masih terganggu oleh manipulasi data pemilih dan penggelembungan suara.
Untuk memperbaiki hal tersebut, diperlukan perubahan seperti pembatasan jumlah partai politik, evaluasi sistem pemilu (termasuk kemungkinan beralih ke sistem proporsional tertutup), peningkatan pengawasan dan transparansi pemilu melalui teknologi, serta pendidikan politik yang lebih baik untuk masyarakat. Langkah-langkah ini diharapkan dapat menciptakan pemilu yang lebih berkualitas, mencerminkan suara rakyat yang sebenarnya, dan menghasilkan pemerintahan yang lebih efektif dan responsif.
Referensi
Abadi, S., & Arsil, F. (2022). Mekanisme Penetapan Ambang Batas (Threshold) Terhadap Stabilitas Sistem Presidensial Dan Sistem Multipartai Sederhana Di Indonesia. Jurnal Konstitusi & Demokrasi, 2(1). https://doi.org/10.7454/JKD.v2i1.1202
Alaydrus, A., Jamal, M., & Nurmiyati, N. (2023). Pengawasan Pemilu: Membangun Integritas, Menjaga Demokrasi.
Padilah, K., & Irwansyah. (2023). Solusi terhadap money politik pemilu serentak tahun 2024: Mengidentifikasi tantangan dan strategi penanggulangannya. https://jurnal.iicet.org/index.php/j-edu/article/view/2821
Sardini, N. H. (2011). Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Fajar Media Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H