Mohon tunggu...
Yusuf Naufal Fadillah
Yusuf Naufal Fadillah Mohon Tunggu... Lainnya - Universitas Islam 45 Bekasi

Mahasiswa Ilmu Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Pemilu Indonesia Butuh Perubahan? Perspektif Terhadap Sistem Kepartaian dan Electoral Integrity

17 November 2024   06:21 Diperbarui: 17 November 2024   07:51 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu di Indonesia selalu menjadi momen penting yang mencerminkan dinamika politik dan aspirasi rakyat. Namun, di balik pelaksanaan pemilu yang rutin diadakan setiap lima tahun, ada sejumlah masalah mendasar yang terus mengganggu kualitas demokrasi negara ini, terutama terkait dengan sistem kepartaian dan integritas pemilu. Seiring dengan perkembangan zaman dan tantangan global, pemilu Indonesia membutuhkan perubahan yang signifikan untuk memastikan bahwa proses demokrasi benar-benar mewakili suara rakyat dan menghasilkan pemerintahan yang efektif dan responsif (Alaydrus et al., 2023).

Sistem Kepartaian yang Fragmented

Salah satu isu utama dalam pemilu Indonesia adalah sistem kepartaian yang sangat terfragmentasi. Sejak reformasi 1998, jumlah partai politik di Indonesia terus berkembang, dengan 17 partai politik yang berhasil masuk ke dalam Parlemen pada Pemilu 2019. Pada Pemilu 2024, diperkirakan jumlah ini akan terus bertambah. Dalam sistem pemilu proporsional terbuka, di mana pemilih dapat memilih calon legislatif dari partai tertentu, fragmentasi partai politik ini menciptakan banyak masalah.

Pertama, partai politik yang terlalu banyak dan cenderung bersifat lokal atau sektarian sering kali tidak memiliki platform ideologis yang jelas. Banyak partai hanya mengandalkan jaringan pribadi dan pendekatan pragmatisme politik tanpa komitmen terhadap isu-isu substantif. Ini menjadikan pemilu lebih seperti kontes politik antara aktor individu atau kelompok yang mengincar kekuasaan, daripada sebuah forum untuk mewujudkan program-program pembangunan yang konkret.

Studi kasus Pemilu 2019 dapat menjadi contoh nyata dari masalah ini. Dalam Pemilu 2019, terdapat 16 partai politik yang lolos ke DPR, dengan banyak di antaranya mengusung calon legislatif yang hanya populer secara lokal, bukan berdasarkan kualitas ideologi atau program politik. Fragmentasi ini juga berkontribusi pada munculnya fenomena "politik uang" dan politik transaksional, di mana suara dipertukarkan dengan imbalan materi, bukan berdasarkan pilihan ideologis atau program.

Selain itu, sistem ini juga memunculkan masalah dalam pembentukan koalisi pemerintah. Sebagai contoh, dalam Pemilu 2019, terbentuknya koalisi pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo melibatkan sejumlah partai dengan ideologi yang sangat berbeda. Alih-alih menghasilkan kebijakan yang terfokus dan berbasis pada prinsip, koalisi ini lebih sering ditentukan oleh perhitungan pragmatisme politik dan kebutuhan untuk meraih kekuasaan, bukan oleh visi bersama (Abadi & Arsil, 2022).

Integritas Pemilu yang Rentan Manipulasi

Masalah kedua yang mengemuka adalah soal integritas pemilu itu sendiri. Meskipun pemilu Indonesia relatif bebas dan terbuka, namun sistem pemilu yang ada tidak sepenuhnya bebas dari manipulasi. Berbagai bentuk kecurangan, mulai dari manipulasi data pemilih hingga praktik penggelembungan suara, masih ditemukan dalam setiap pemilu.

Studi kasus yang terjadi dalam Pemilu 2019 menunjukkan adanya masalah serius dalam hal integritas pemilu. Misalnya, adanya laporan tentang adanya pemilih ganda yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT), serta ketidaktepatan data pemilih yang menyebabkan beberapa warga negara tidak dapat menyalurkan hak suara mereka. Selain itu, banyaknya laporan terkait pembagian uang atau barang kepada pemilih di beberapa daerah menunjukkan adanya praktik politik uang yang jelas merusak kualitas pemilu. Ini tidak hanya mengurangi kredibilitas hasil pemilu, tetapi juga merusak esensi demokrasi itu sendiri.

Meskipun Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah berusaha meningkatkan pengawasan dan transparansi, tetapi tantangan besar tetap ada. Infrastruktur pemilu yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, dengan beragam kondisi sosial dan ekonomi, membuat pengawasan yang efektif sangat sulit dilakukan (Sardini, 2011).

Perubahan yang Diperlukan: Sistem Kepartaian dan Electoral Integrity

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun