Aktivitas olahraga memiliki tingkat risiko cedera yang tinggi dan menjadi kasus yang sering ditemukan. Cedera olahraga (sport injury) yaitu segala macam cedera yang timbul, baik pada waktu latihan maupun pada waktu berolahraga (pertandingan) ataupun sesudah pertandingan (Wibowo,1995). Cedera olahraga sangat bervariasi, karena dapat disebakan oleh jenis olahraga yang beragam. Cedera olahraga yang dialami oleh olahragawan akan menimbulkan dampak pada fisik, psikis dan sosialnya sehingga akan mempengaruhi kualitas hidup serta perjalanan karir selanjutnya. Â Â Â Â
 Aktivitas olahraga memiliki risiko cedera dan menjadi kasus yang paling sering ditemukan (Komaini, 2012). Cedera menyebabkan anggota tubuh mengalami gangguan fungsi gerak. Cedera akan menimbulkan cacat, luka pada otot atau sendi serta bagian lain dari tubuh (Supriyadi & Supriyono, 2017). Cedera juga akan memberikan dampak psikososial yang akan mempengaruhi kualitas olahraga selanjutnya (Gledhill, Forsdyke, & Murray, 2018). Penanganan yang kurang tepat dan kurang benar akan menyebabkan gangguan dan keterbatasan fisik. Hal ini dapat mempengaruhi aktivitas hidup sehari-hari maupun melakukan aktivitas olahraga (Arinda, 2014).
Cedera olahraga dapat terjadi pada semua usia. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018 memaparkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki beberapa jenis cedera yaitu luka lecet/memar sebesar 56,1%, luka robek/iris 19,7%, terkilir sebesar 36,1%. Prevalensi terjadinya cedera berdasarkan tempat terjadinya cedera yaitu sekolah dan lingkungan sebesar 6,4% (Indonesia, 2018). Penanganan pertama pada cedera olahraga bertujuan untuk memberikan perawatan yang tepat dan cepat sebelum dilakukan penanganan lebih lanjut. Selain itu juga membantu mempertahankan daya tahan korban hingga penanganan yang utama diberikan. Tindakan ini diharapkan akan meringankan kesakitan dan juga mencegah agar cedera tersebut tidak berdampak lebih buruk dan kesakitan yang lebih fatal (Supartono, 2015; Zein, 2016).
Penanganan cedera olah raga melibatkan skrining faktor risiko persiapan latihan, skrining modifikasi dalam mengurangi risiko dan praktik rehabilitasi (Drew, Cook, & Finch, 2016). Penelitian pada 80 atlet bulutangkis didapatkan sebanyak 54 atlet (67,5%) pernah mengalami cedera. Penelitian ini menganalisis bahwa ada hubungan signifikan antara kurang pemanasan, teknik yang keliru, kebugaran rendah serta nutrisi kurang seimbang dengan kejadian cedera bahu (Maghfiroh, Muryono, & Setiawan, 2015). Pengetahuan tentang cedera olahraga dapat diberikan untuk mengantisipasi kejadian ketika melakukan aktivitas olahraga. Hal ini diharapkan mereka dapat melakukan atau memberikan pertolongan pertama pada cedera dengan tepat, cepat dan dalam pencegahan terjadinya cedera baik diri sendiri maupun orang lain (Simatupang, 2016).
Kram otot merupakan cedera akibat penumpukan asam laktat. Pertolongan pertama yang dapat dilakukan adalah dengan meregangkan otot yang mengalami kontraksi secara perlahan. Tindakan selanjutnya adalah memberikan pemijatan pada otot yang kram (Setiawan, 2011). Tindakan berbeda dilakukan pada cedera memar yaitu melakukan kompres es atau air dingin untuk menghentikan perdarahan kapiler. Memar diakibatkan oleh benturan atau pukulan pada jaringan lunak tubuh yang merusak atau merobek pembuluh darah kapiler sehingga darah dan cairan meresap ke jaringan sekitar (Bahruddin, 2013).
Cedera sprain disebabkan oleh robekan pada ligamen. Robekan tersebut dapat disebabkan tekanan berlebihan dan mendadak serta penggunaan berlebihan berulang-ulang. Sedangkan dislokasi juga sering terjadi ketika berolahraga. Penanganan awal dislokasi adalah dengan imobilisasi (Kusuma, Junaedi, & Setiakarnawijaya, 2017; Setiawan, 2011). penanganan pertama yang harus dilakukan pada seluruh kasus cedera adalah dengan metode Rest, Ice, Compression, dan Elevation (RICE). Rest atau istirahat merupakan tindakan untuk mengistirahatkan bagian yang mengalami cedera dengan menghentikan kegiatan olah raga (Junaidi, 2013; Kusuma et al., 2017).
Istirahat diperlukan untuk mengurangi kebutuhan metabolisme sehingga menghindari peningkatan aliran darah pada jaringan yang terluka. Hal ini juga diperlukan untuk menghindari tekanan pada jaringan yang terluka agar ikatan fibrin tidak rapuh. Istirahat diterapkan secara selektif dan menghindari aktivitas yang menyebabkan stres atau ketegangan pada area cedera (Van Den Bekerom et al., 2012).
Ice atau kompres dingin adalah tindakan dengan memberikan kompres dingin/es pada bagian yang cedera (Junaidi, 2013; Kusuma et al., 2017). Kompres dingin merupakan tindakan untuk membatasi kerusakan akibat cedera dengan mengurangi suhu jaringan di lokasi cedera. Hal ini akan mengurangi kebutuhan metabolik sehingga terjadi vasokonstriksi dan membatasi perdarahan. Tindakan ini juga dapat mengurangi rasa sakit dengan meningkatkan latensi konduksi saraf sebagai efek analgesia (Van Den Bekerom et al., 2012).
      Compression atau kompresi merupakan teknik dengan menggunakan pembungkus untuk membantu mengurangi bengkak dengan cara dibebat (Junaidi, 2013; Kusuma et al., 2017). Kompresi bertujuan untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi pembengkakan. Kompresi diharapkan dapat mengurangi edema yang disebabkan oleh eksudasi cairan dari kapiler yang rusak ke jaringan. Pengontrolan jumlah eksudat inflamasi mengurangi jumlah fibrin sehingga produksi jaringan parut dan tekanan osmotik cairan jaringan di area luka lebih terkontrol (Van Den Bekerom et al., 2012).
      Elevation atau ketinggian merupakan teknik dengan meninggikan daerah yang cedera dengan bantal sehingga posisi bagian yang cedera lebih tinggi dari pada posisi jantung (Junaidi, 2013; Kusuma et al., 2017). Tindakan ini bertujuan menurunkan tekanan pada pembuluh darah dan membantu membatasi pendarahan. Hal ini akan meningkatkan drainase eksudat inflamasi melalui pembuluh getah bening, mengurangi dan membatasi edema dan komplikasi yang ditimbulkannya (Van Den Bekerom et al., 2012).
Metode RICE merupakan tindakan pertama dari penanganan cedera. Hal ini bertujuan untuk menghindari cedera yang lebih parah, mengistirahatkan tubuh yang mengalami cedera, mengurangi rasa sakit, mengurangi pembengkakan, mengurangi memar, mengurangi peradangan, dan mengurangi aliran darah ke bagian tubuh yang mengalami cedera. Pada tahap awal cedera, kerusakan jaringan dan pembuluh darah perifer menyebabkan inflamasi akut. Hal ini menyebabkan pembengkakan jaringan dan nyeri hebat. Manajemen pada cedera tersebut bertujuan untuk mengurangi pembengkakan dan peradangan. Tatalaksananya adalah dengan istirahat, kompres dingin, penekanan dan elevasi yang dilakukan keseluruhan selama 72 jam. Terapi dingin dengan kompres es dilakukan untuk mengurangi nyeri dan inflamasi akut. Sedangkan terapi panas akan meningkatkan vaskularisasi untuk pemulihan jaringan (Wang, Chao, Change, Chou, & Kao, 2020).
Penelitian berbentuk RCT mengungkapkan bahwa sebanyak 50% dari cedera olahraga, cedera pada pergelangan kaki memiliki insiden cukup tinggi. RICE adalah metode yang dilakukan untuk mengatasi peradangan setelah terjadi trauma seperti cedera ankle. Penatalaksanaan dengan RICE dilakukan saat 4 sampai 5 hari pertama (Van Den Bekerom et al., 2012).
Pertolongan pertama pada cedera olahraga yang benar dapat memaksimalkan proses penyembuhan cedera dan pada akhirnya dapat mencegah terjadinya cedera ulang. Penting untuk mengetahui pertolongan pertama pada cedera olahraga agar penanganan awal pada cedera bisa maksimal.
Nirmalasari, N., Nofiyanto, M., & Hidayati, R. W. (2020). Studi Demografi: Riwayat Kejadian       Cedera dan Penanganan Pertama Cedera Olah Raga di Unit Kegiatan Mahasiswa. JHeS      (Journal of Health Studies), 4(2), 38-44.
Sutirta, H., Latulusi, A. A., & Jehambur, K. (2023). Sosialisasi tentang Pertolongan Pertama pada    Kecelakaan (P3K) dan Cidera Olahraga pada Guru Pendidikan Jasmani Se-Kecamatan      Wania. JIIP-Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 6(7), 4980-4983.
Siregar, F. S., & Nugroho, A. (2022). Pengetahuan Atlet Terhadap Resiko, Pencegahan, dan     Penanganan Pertama Cedera Olahraga Bola Voli. Jurnal Olahraga Dan Kesehatan Indonesia (JOKI), 2(2), 83-93.
Hardyanto, J., & Nirmalasari, N. (2020). Gambaran tingkat pengetahuan tentang penanganan    pertama cedera olahraga pada unit kegiatan mahasiswa (UKM) olahraga di universitas    jenderal achmad yani Yogyakarta. Jurnal Kesehatan Mesencephalon, 6(1).
Perdana, D. A. (2021). WORKSHOP PERTOLONGAN PERTAMA PADA CEDERA Â Â Â Â OLAHRAGA. Abdimas Medika, 2(2).
Zulman, Z., Abbas, S., & Deswandi, D. (2019). Pelatihan Pencegahan Dan Pertolongan Pertama    Cedera Olahraga Bagi Pelatih PPLP Sumatera Barat. Jurnal Berkarya Pengabdian      Masyarakat, 1(1), 27-40.
Meikahani, R., & Kriswanto, E. S. (2015). Pengembangan buku saku pengenalan pertolon gan dan perawatan cedera olahraga untuk siswa sekolah menengah pertama. Jurnal pendidikan     jasmani indonesia, 11(1).
Nasri, N., & Leni, A. S. M. (2021). Pengetahuan Siswa Ekstrakurikuler Sekolah Menegah Atas      Sederajat Kota Surakarta Tentang Pencegahan, Perawatan, Dan Pertolongan Pertama  Cedera Olahraga. Jurnal MensSana, 6(1), 1-11.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H