Maksud dari pernyataannya itu adalah bahwa dalam pertandingan sepak bola ada begitu banyak aksi dan drama. Semuanya menarik dilihat dan patut dinikmati oleh penonton televisi dan semua layar platform tontonan di era sekarang.
Bagaimana caranya membuat penonton di rumah seolah ada di stadion dan ada di dekat pemain itulah yang ingin dilakukan seorang PD, Director atau sutradara siaran langsung sepak bola.
JIKA piala dunia menggunakan 42 camera, sebagai informasi, untuk Liga Indonesia rata-rata pertandingan regular menggunakan 8 camera. Sementara untuk pertandingan big-match dan final bisa mencapai 12 hingga 16 camera.
Mengapa begitu jauh perbedaannya? Faktor standar infrastruktur stadion, biaya dan detail kebutuhan adalah pertimbangannya. Makin banyak camera dan kecanggihan equipment pendukungnya akan berpengaruh dengan biaya produksi.
Apakah kualitas Liga Indonesia sudah sebanding dengan kualitas Piala Dunia atau Liga Champions sehingga harus menggunakan 42 camera? Tentu jawabannya tidak.
Jadi, menggunakan 8 hingga 16 camera rasanya sudah cukup. Apalagi sebenarnya, sepanjang pengalaman penulis menjadi Director, camera inti tayangan langsung sepak bola itu dominan yang tampil di layar sebenarnya 6 camera saja. Yakni satu master shot, satu sub master shot, dua kamera close-up dan dua kamera belakang gawang.
Senada dengan yang disampaikan Jamie Oakford, di laman sportsvideo.org. "Selama pertandingan, saat bola dimainkan, saya mungkin hanya mengunakan enam kamera: master shot, tiga camera close-up, dan dua Steadicams," katanya.
Nah, selebihnya adalah camera pendukung agar drama pertandingan tersaji detail dan indah. Seperti di Piala Dunia 2022 Qatar saat ini.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H