Kesehatan menjadi syarat banyak urusan pelayanan publik. Dari mulai mengurus permohonan SKCK, SIM, STNK, pendaftaran umrah-haji, pendaftaran sekolah hingga mengurus transaksi jual-beli tanah. Â Anjuran wajib tersebut terjadi setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022, mengenai Optimalisasi Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).Â
Kartu BPJSBleduk!!! Duarrr...!!! Suara kompor meleduk terdengar dari sebuah sudut kampung padat di Jakarta. Tidak benar-benar terjadi. Hanya sebuah simbolisasi, bahwa banyak warga dan masyarakat kaget mendengar pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022, mengenai Optimalisasi Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Warga kaget seolah mendengar suara kompor meleduk!
"Apa'an lagi tuh...? Pemerintah demen banget ngeribetin rakyat, deh. Lagi zaman pandemi begini. Bingung, gua!? Teriak Bang Gofer yang suka telat informasi tapi punya rasa ingin tahu yang tinggi dalam banyak urusan.
Bang Gofer, di panggil Gofer karena kerjaanya "GO For EveRything". Mirip dengan nama aslinya Gofar. Sesuai dengan bisnisnya Palugada (Apa lu minta gua ada).
Bang Gofer makin gusar ketika tahu jual-beli tanah pun perlu melampirkan kartu peserta BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan sebagai syarat wajib transaksi. Maklum, Bang Gofer adalah makelar jual-beli tanah kelas kampung yang sudah lama nunggak iuran BPJS Kesehatan.
"Apa urusannya kartu BPJS Kesehatan ama tanah yang mau dijual, yah? Ini yang kurang sehat pemerintah apa kita, sih?'' lanjut Bang Gofer kesal dan ngasal karena belum paham duduk masalahnya. Memang suka gitu dia.
"Hahaha...!" Kawan-kawan Bang Goger tertawa ngakak mendengar omelannya.
Kegusaran Bang Gofer adalah kegusaran dan kebingungan kebanyakan orang. Pemikirannya ada di hampir semua lapisan masyarakat. Mengapa pemerintah perlu mebawa-bawa kartu BPJS Kesehatan dalam banyak urusan layanan publik?
Inpres Nomor 1 Tahun 2022 itu berisi instruksi kepada 30 pimpinan Kementerian/Lembaga untuk menjalankan kewenangannya dan berkordinasi dalam rangka meningkatkan tingkat pasrtisipasi masyarakat mengikuti program BPJS Kesehatan.
Merujuk keterangan Dirut BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, dalam sebuah dialog virtual di kanal youtube FMB9, Kamis (24/2/22), "Sekarang ini sudah 236 juta atau sekitar 86 persen dari populasi. Jadi kalau target kepesertaan BPJS Kesehatan di 2024 sebesar 98 persen, sekarang tersisa 12 persen lagi."
Gufron juga mengatakan, target pengumpulan dana iuran BPJS Kesehatan di tahun 2022 adalah Rp. 152,27 Triliun.
Ada tudingan sebagian masyarakat bahwa BPJS Kesehatan kehabisan dana dan pemerintah ingin mengambil keuntungan dengan cara menjaring lewat kewajiban menyertakan kartu BPJS Kesehatan di banyak urusan pelayanan publik. Â
Hal itu secara tak langsung dibantah Ali Gufron dalam kesempatan dialog yang sama, "Banyak mispersepsi, dikira kita melakukan pemaksaan lalu untuk mengumpulkan uang. Untuk diketahui bahwa BPJS Kesehatan saat ini kondisi keuangannya cukup bagus ya, meski tidak berlebih, tetapi dana jaminan sosialnya itu cukup positif."
Poinnya, lewat Inpres tersebut pemerintah ingin mencapai target program JKN. Target angka dan target pelayanan, fasilitas pun demikian, dengan narasi bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Masyarakat dipaksa berpartisipasi aktif dan tertib berkaitan BPJS Kesehatan. Aktif mengikuti kepesertaanya dan tertib membayar iurannya. Agar ketika punya urusan dengan pelayanan publik yang membutuhkan kartu BPJS Kesehatan tidak menemui kesulitan.
Tiga Puluh Kementerian/Lembaga diminta berkolaborasi mengawal dan mengolkanya.
Pemerintah sudah merasa melakukan kemudah-kemudahan akses kepada masyarakat agar semuanya bisa menjadi anggota BPJS Kesehatan. Bisa online. Tidak ada alasan masyarakat terbebani. Â
Bagi anggota masyarakat yang kurang mampu, pemerintah pun sudah melakukan program subsidi dengan syarat dan ketentuan yang patut dan wajar. Melalui alokasi dana APBN dan APBD. Program itu bernama PBI (Penerima Bantuan Iuran), dibawah kendali Kementerian Kesehatan.
Sekarang tinggal bagaimana masyarakatkat menyikapinya. Yang namanya peraturan atau instruksi dimana-mana bersifat memaksa. Suka atau tidak suka.
Bang Gofer akhirnya paham, "Ya udah mau gimana lagi. Udah aturan. Ntar gua bayar deh, Â tunggakan BPJS Kesehatan gua. Nanti gua bilangin tuh, klaen-klaen gua. Daripada nanti urusan gua banyak yang gagal. Cuma bilang dong sama pemerintah kalau wajib bagi masyarakat, wajib juga buat pemerintah ngasih pelayanan dan fasilitas yang lebih bener. Gak ada lagi tuh antrean dirawat yang lama, tambah fasilitas kesehatan dan petugasnya. Kan duitnya ada. Akan nambah nanti. Jangan dipake buat yang laen. Masyarakat uda dipaksa ribet, pemerintah juga jangan ngadi-ngadi mulu ngurusin kesehatan kita. Ntar begini, ntar begitu. Apalagi ini masih pandemi," pasrah dan usul Bang Gofer.
Suara kompor meleduk sudah tak terdengar. Yang tersisa hanya penanganan dan kasak-kusuk mencari tahu mengapa sang kompor bisa meleduk. Mudah-mudahan tidak sampai terjadi kebakaran dan makan korban.
Sekarang yang terdengar adalah suara gongongan beberapa anjing, yang entah terganggu atau gelisah, setiap kali mendengar lantunan suara adzan dari speaker Toa masjid dan mushalla sudut kampung padat itu.Â
Simbolisasi. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H