Mohon tunggu...
Yusuf Gandhi Putra
Yusuf Gandhi Putra Mohon Tunggu... -

Hanya seorang pendidik

Selanjutnya

Tutup

Nature

MERAYAKAN TI & OPEN DATA PADA PILPRES 2014

24 Juli 2014   03:21 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:24 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Selasa, 22 Juli 2014, bangsa Indonesia akhirnya mendapatkan Presiden & Wakil Presiden terpilih 2014-2019, yaitu Bapak Joko Widodo & Bapak Jusuf Kalla. Setelah melalui pertarungan yang panjang dalam kontestasi politik yang menegangkan selama satu bulan terakhir, akhirnya KPU menetapkan pasangan tersebut sebagai pemenang dengan raihan 70.997.883 suara atau 53,15% dari total suara nasional.

Banyak catatan yang menarik yang bisa disimak dalam pertarungan pilpres kemarin. Tapi, salah satu yang sangat menonjol, yang semua pengamat politik maupun hukum setuju, adalah tingginya keterlibatan publik, mulai dari masa kampanye sampai dengan rekapitulasi suara yang memakan waktu sekitar 14 hari non stop.

Sebenarnya menarik untuk melihat keterlibatan relawan yang tinggi dalam pemilu pilpres 2014 jika dilihat dari sisi sosial & poitik. Namun, saya bukan ahlinya untuk membahas masalah tersebut. Maka, saya mencoba untuk melihat dari sisi teknologi informasi (TI) dan bagaimana ia menjadi sebuah bagian yang tidak terlepaskan proses pemilu tahun ini.

PUBLIK & TI

Masih segar di ingatan kita, bagaimana antusiasime yang begitu tinggi pada saudara-saudara setanah air yang berada di luar tinggi. Animo yang luar biasa untuk menentukan presiden kali ini, saya yakin, di luar ekspektasi siapa pun. Orang-orang Indonesia rela mengantri berjam-jam di TPSLN, bahkan di Sydney, kononnya pencoblosan dilakukan sampai malam hari.

Lalu, cerita dari saudara-saudara kita yang di Hong Kong. Begitu membludaknya pemilih membuat panitia pemilihan suara luar negeri kewalahan sampai akhirnya memicu panasnya suasana antara pemilih dengan panitia dikarenakan waktu yang sudah selesai sementara masih banyak yang belum mencoblos. Bersyukur suasana bisa diredakan tanpa terjadi kerusuhan yang berarti.

Antusiasme yang luar biasa di luar negeri ini diberitakan melalui media-media sosial. Video adu argumentasi yang bererdar di dunia maya antara pemilih dan panitia di Hong Kong sempat menjadi perbincangan hangat di dalam negeri. Foto antrian pemilih di TPSLN di Sydney yang mengular layaknya peluncuran ponsel terbaru iPhone membuat kita sadar bahwa pilpres kali ini berbeda.

Fenomena ini kemungkinan adalah imbas dari masifnya informasi mengenai kedua pasangan calon pada masa kampanye di sosial media, yang notabene adalah salah satu produk dari kemajuan TI.

Sebagai netizen, hampir tidak pernah satu hari pun, selama masa kampanye pilpres, kita tidak disuguhkan berita tentang salah satu pasangan calon, baik itu positif ataupun negatif (bahkan yang super-duper negatif juga ada).

Begitu personalnya dukungan kita terhadap salah satu calon pasangan, kita rela mengganti profile picture akun sosial media kita. Masih ingat jargon "I Stand On The Right Side” atau “Pilih Satu Karena Saya Cinta Indonesia"? Pilihan politik dikampanyekan sedemikian rupa agar menjadi bagian dari jati diri pribadi , bahkan menjadi seolah-olah sebuah pilihan hidup atau mati.

Ini tentu saja tidak terlepas dari posisi Indonesia sebagai salah satu negara dengan pengguna sosial media terbanyak di dunia yang menjadikan sosial media menjadi salah satu arena pertarungan merebut simpati rakyat yang juga netizen.

REKAPITULASI SUARA & OPEN DATA

Setelah kampanye dan pemungutan suara selesai, kita disuguhkan dengan drama lanjutan babak kedua, yaitu quick count. Tidak seperti pemilu-pemilu sebelumnya dimana quick count menjadi salah satu barometer yang kredibel untuk melihat posisi perolehan suara dan kemudian menentukan pemenang, kita melihat sebuah fenomena yang baru pertama kali terjadi di pemilu (paling tidak di Pemilu Presiden), yaitu perbedaan hasil quick count. Paling tidak ada 4 lembaga survei yang memenangkan pasangan nomor urut 1, dan ada 7 lembaga survei lainnya yang memenangkan pasangan nomor urut 2.

Perang data dan saling klaim kemenangan melalui hasil quick count terjadi selama kurang lebih 2 hari di setiap stasiun TV pendukung masing-masing pasangan calon, sampai akhirnya KPI menginstruksikan kepada seluruh stasiun TV untuk tidak menampilkan lagi hasil quick count karena berpotensi memicu konflik horizontal di antara masyarakat pendukung masing-masing calon.

Berdasarkan observasi saya, perbedaan hasil quick count ini justru membuat publik semakin "gatal" ingin ikut terlibat dalam proses rekapitulasi suara yang kabarnya sarat dengan kecurangan. Beberapa laman situs melakukan rekapitulasi independen berdasarkan scan hasil C1 dari tiap TPS di berbagai daerah. Salah satu yang paling sering saya kunjungi untuk melihat pergerakan rekapitulasi suara adalah kawalpemilu.org.

Kawalpemilu.org yang diinisiasi oleh warga negara Indonesia yang tinggal di Singapura menjadi perbincangan yang heboh di media. Bahkan beberapa stasiun TV melakukan wawancara kepada sang inisiator, Ainun Najib, seorang WNI yang bekerja di sebuah perusahaan TI di Singapura. Ia mengklaim ada 700 relawan yang membantu dalam melakukan rekapitulasi independen ini dari berbagai penjuru dunia, yang kesemuanya adalah teman-teman yang berkecimpung di dunia TI. Tujuannya hanya satu: agar masyarkat tidak dibodohi oleh data-data yang tidak jelas asal muasalnya dan diklaim sebagai data yang valid oleh pihak-pihak yang menginginkan kemenangan. Saya masih ingat salah satu data tandingan dari quick count adalah data yang dikeluarkan dari salah satu partai pendukung salah satu pasangan calon yang memberikan data "karangan" yang sebenarnya telah pernah mereka luncurkan beberapa hari sebelumnya.

Hal ini pun dimungkinkan terjadi oleh karena kesediaan KPU untuk membuka data C1 mereka kepada publik. KPU sangat patut kita apresiasi dengan penghargaan setinggi-tingginya. Ini, bagi saya, adalah sebuah terobosan yang mendorong perbaikan demokrasi Indonesia. Open data C1 menjadi sebuah tonggak sejarah pemilihan Indonesia yang semakin transparan dan semakin demokratis. Dan memungkinkan anak-anak bangsa yang memiliki kemampuan dalam bidang TI untuk membantu menyuguhkan informasi yang lebih valid.

MENYONGSONG ERA TI & OPEN DATA

Dari pertarungan pilpres kemarin, saya ingin mengajak agar semua orang memiliki information awareness yang lebih tinggi. Informasi boleh datang dari siapa saja dan kapan saja, tapi tidak semua informasi dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan. Kita selayaknya harus mulai belajar untuk menyuguhkan informasi yang memang dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai tanda sebuah peradaban yang maju. Karena cepat atau lambat, terima kasih kepada kemajuan dunia TI, kebohongan data akan terbongkar juga.

Selamat atas Presiden dan Wakil Presiden Terpilih 2014-2019, Bapak Jokowi & JK, terlebih lagi selamat merayakan era TI & open data untuk kemajuan bangsa dan Indonesia yang lebih cerdas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun