Kampanye politik melalui situs-situs internet mulai berkembang sejak tahun 1996 (Selnow, 1998), situs-situs tersebut berevolusi lebih dari sekedar media cetak seperti, surat kabar dan brosur. Situs-situs politik hingga saat ini menjadi suatu media yang menarik dan interaktif untuk menginformasikan dan memobilisasi calon pemilih (Endres & Warnick 2004, Tedesco, 2004).
Demografi calon pemilih, karakteristik calon pemilih, dan variabel strategis lainnya merupakan beberapa alasan para aktor politik untuk mensponsori sebuah situs web, agar dapat berkomunikasi dengan pendukungnya, menjangkau pemilih yang belum memutuskan pilihan, merekrut relawan, dan mengumpulkan uang secara online.
Internet melalui berbagai macam fitur pendukungnya akan digunakan sebagai alat persuasif agar dapat menjangkau pemilih (masyarakat) yang cenderung skeptis pada media massa, seperti media cetak
Alasan utama politisi dalam menggunakan media sosial online adalah untuk membuat diri mereka "terlihat" oleh publik, baik pusat maupun daerah, berkomunikasi dengan pemilih mereka (aktual atau potensial) dan masyarakat luas mengenai kebijakan (visi dan misi) mereka.
Kampanye politik yang hingga saat ini sangat identik dengan money politics, panggung musik, poster, dan baliho kini lambat laun telah diupgrade sesuai dengan kemajuan zaman. Kampanye online merupakan tindakan yang amat strategis bagi para politisi untuk dapat menjangkau dan meningkatkan popularitas serta elektabilitas mereka
Citra politik yang terbentuk di benak masyarakat, tidak selamanya selalu sesuai dengan realitas yang sebenarnya, karena mungkin masyarakat memaknai sesuai dengan realitas media atau realitas buatan media saja. Kampanye yang dilakukan oleh berbagai pihak kini mulai berkembang dan memiliki kreativitas sendiri-sendiri dalam melakukan pencitraan politiknya bahkan terkadang sampai melupakan etika politik.
Menurut Nimmo ada beberapa strategi pencitraan yang tidak sesuai dengan etika politik. Salah satunya adalah free ride publicity, yang artinya publisitas dengan cara memanfaatkan akses atau "menunggangi" pihak lain atau media untuk ikut mempopulerkan diri. Contohnya seperti tampil menjadi pembicara di sebuah forum, ikut berpartisipasi dalam event olah raga, mensponsori kegiatan-kegiatan sosial dan lain-lain
Internet dengan berbagai tawaran aplikatif yang menyertainya diyakini mampu memberikan ruang eksplorasi bagi penggunanya (user) dalam berbagai kepentingan yang ada, tidak terkecuali para aktor politik.
Ruang elektronik ini menjadi semacam "kendaraan" bagi para aktor politik di manapun mereka berada dalam menjangkau publik. Internet menjadi ruang interaktif yang efektif guna membangun citra para aktor politik, di tengah krisis ruang yang mendera media cetak konvensional saat ini. Internet melalui fitur strategisnya mampu mereduksi jarak, ruang dan waktu
Untuk mendukung berlangsungnya proses demokrasi, masyarakat menggantungkan harapan yang besar pada media, tak hayal media/pers digadanggadang sebagai kekutan politik keempat atau dikenal dengan istilah the fourth estate press, sebagai mitra dari eksekutif, legislatif dan yudikatif (Purba, 2006).
Namun, carut marutnya sistem media (massa) saat ini, yang hampir seluruhnya didominasi oleh pihak kepentingan, membuat masyarakat mengalihkan perhatiannya pada internet. Internet menjadi salah satu media yang rasional bagi masyarakat untuk dapat memantau setiap pergerakan politik dan menyampaikan setiap aspirasi yang ingin mereka sampaikan.
Internet mampu menciptakan ruang publik, yang berdasarkan konsepsi Jurgen Habermas adalah ruang atau iklim yang memungkinkan setiap orang sebagai warga negara mendikusikan persoalan publik secara kritis, bebas, serta tanpa restriksi dari kekuatan politik, sosial dan ekonomi yang ada (Habermas, 2007).
Oleh karena itu, Akses ke ruang publik ini bersifat bebas, karena ini merupakan tempat kebebasan untuk berkumpul (the freedoms of assembly), sehingga asosiasi dan ekspresi masyarakat telah dijamin
Internet yang dimanfaatkan sebagai ajang publikasi, sangat berkaitan erat dengan penyampaian pesan persuasif dari komunikator (aktor politik) kepada komunikannya (khalayak atau konstituen).
Di era interaktif saat ini, internet merupakan salah satu bentuk sarana komunikasi bagi aktor politik selain cara konvensional dalam berkampanye di Indonesia, dalam rangka publikasi kerap kali komunikasi tatap muka sudah sulit dilakukan karena faktor-faktor geografis.
Di sisi lain, aktor politik juga harus mempertimbangkan bahwa saat ini pengguna Internet (user) di Indonesia masih terbatas pada kalangan menengah ke atas atau golongan terpelajar. Sehingga diyakini internet masih terbatas pada setiap orang yang memiliki akses serta daya jangkau yang mendukung.
Namun, pemanfaatan Internet sebagai sarana publikasi bagi aktor politik tetap merupakan terobosan baru sebagai salah satu bentuk cara berkampanye politik. Tersedianya fasilitas internet, telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan dalam partisipasi politik (Solop, 2001).
Penelitian terbaru (Hedi Pudjo Santoso, dkk: 2014) menjelaskan bahwa, pemberitaan politik melalui media online memberikan pengaruh positif terhadap elektabilitas partai politik.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut terpaan pemberitaan politik di media online terhadap elektabilitas partai Hanura pada Warga Kelurahan Tembalang berpengaruh positif (0,828). Dimana semakin tinggi terpaan pemberitaan politik di media online, maka semakin tinggi pula elektabilitas partai Hanura.
Begitu juga sebaliknya, ketika terpaan pemberitaan politik di media online negatif, maka kecenderungan memilih atau keterpilihan partai Hanura akan rendah. Bahkan jika tidak ada terpaan pemberitaan politik di media online maka tidak ada yang cenderung memilih partai Hanura. Pengaruh antara terpaan pemberitaan politik di media online terhadap elektabilitas partai merupakan pengaruh yang positif.
Responden yang memperoleh pengetahuan dan pandangan lalu mengakibatkan perasaan suka dan senang terhadap partai Hanura, tetapi didalam keadaan seperti ini media dipandang sebagai fasilitas penyampaian informasi yang objektif tentang segala sesuatu yang dinilai baik ataupun buruk
Hal ini juga telah terbukti setelah kemenangan yang diraih oleh Barrack Obama, Sharon E Jarvis (2010) melalui tulisannya mengungkapkan bahwa pada pemilihan presiden Amerika Serikat periode 2008, Obama menggunakan internet dengan berbagai jejaring sosial, seperti twitter, myspace, youtube facebook dan e-mail.
Bahkan, situs kampanye yang dimiliki Obamamampu mengorganisasi lebih dari 150.000 kegiatan, menciptakan lebih dari 35.000 kelompok, memiliki lebih dari 1,5 juta akun dan mendapatkan lebih dari USD 600 juta dari 3 juta masyarakat yang medonasikan dananya untuk memenangkan Obama
Dalam hal ini internet bisa dikatakan sebagai prioritas bagi aktor politik dalam membangun citranya, akan tetapi hal ini juga tidak bisa dikatakan efektif sepenuhnya.
Masyarakat tentunya tidak dapat mengetahui niat aktor politik tersebut yang mengakibatkan hanya sekedar menerka-nerka, citra ini dapat menjadi baik dan bisa juga menjadi boomerang terhadap aktor politik, terutama akses internet yang semakin bekembangnya zaman ini menjadi lebih mudah, masyarakat pun juga bisa untuk mencari tahu profil dan Riwayat aktor plitik tersebut. Hal ini dijadikan sebagai validasi apakah niat nya sesuai dengan citra yang disampaikan atau hanya sekedar janji pemanis.
Politik dalam dunia internet juga terbilang jahat, karena banyak buzzer yang siap untuk saling menjatuhkan aktor politik yang ingin maju, hal ini membuat isu-isu baru agar masyarakat menjadi bimbang dan citra dari aktor politik menjadi menurun.
Terlepas dari itu semua, internet adalah batu loncatan bagi aktor politik untuk masuk ke dalam panggung pemerintahan karena dengan media masa kita dapat mengakses apapun yang ingin kita ketahui dan banyak informasi terutama terkait politik kita dapatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H