Merebaknya wabah Covid-19 ternyata tidak hanya menimbulkan masalah di bidang kesehatan dan ekonomi, dalam bidang ibadahpun muncul permasalahan. Utamanya setelah muncul fatwa MUI yang memberikan himbauan agar daerah-daerah yang terpapar corona menunda dulu shalat berjamaah,shalat jumat dan kegiatan keagamaan lainnya selama wabag Cocid 19. Himbauan dilakukan karena kegiatan keagamaan yang melibatkan banyak orang berpotensi menyebarkan virus Corona.
Fatwa MUI ini bukanlah hal baru karena telah diberlakukan diberbagai negara misalnya, Saudi Arabia, Mesir, UEA dan sebagainya. Bahkan, Saudi Arabia telah lebih awal menutup mesjid meski wabah Corona baru ditemukan di negara tersebut. Yang sangat fenomenal adalah menutup mesjid Alharom dan melarang jamaah umroh dari negara lain.
Bagaimana dengan Indonesia?.
Sejak difatwakan tanggal 14 Maret 2020, fatwa tersebut sepertinya belum meluas. Padahal ormas Islam melakukan hal sama seperti NU dan Muhammadiyyah. Hanya mesjid-mesjid dilingkungan pemerintahan, perumahaan kelas menengah atas  perkotaan yang mengikuti fatwa tersebut. Sedangkan daerah pinggiran dan perkampungan fatwa ini seolah tidak ada.
Di daerah yang terpapar wabah misalnya Jakarta masih ditemukan mesjid yang menyelenggarakan shalat jumat dan Jamaah. Begitupula, di Kabupaten Bogor meski himbauan telah disampaikan oleh MUI Kabupaten Bogor pada tanggal 24 Maret, sepertinya tidak banyak perubahan termasuk di daerah zona merah.
Kegiatan shalat berjamaah, shalat jumat, dan pengajian tetap berjalan seperti biasa. Yang terlihat  berbeda adalah meningkatnya kewaspadaan dalam menjaga kebersihan mesjid dengan ditandai oleh tersedianya sabun cuci tangan dan handsanitizer diberbagai mesjid. Kemudian akhir-akhir ini karpet digulung, barisan jamaah agak renggang dan dilakukan penyemprotan mesjid.
Meskipun demikian, WHO menegaskan bahwa cara paling efektif menghindari penularan wabah Covid-19 adalah dengan cara menjaga jarak sehingga kegiatan berkumpul terutama dalam jumlah banyak dihindari.
Selain itu, pakar kesehatan mengakui bahwa suatu wilayah sangat kecil terkena wabah manakala tidak ada interaksi dengan orang-orang yang terkena Covid-19 atau yang berasal dari daerah wabah. Namun, karena di Indonesia tidak ada pembatasan atau lock down wilayah maka sulit untuk mengetahui pergerakan penyebaran virus tersebut. Â
Karena itu, tempat ibadah meski tempat mendekatkan diri kepada Allah memiliki potensi penularan virus karena berkumpulnya orang dalam jumlah besar yang sulit diketahui pergerakan mereka sebelumnya. Apakah pernah berinteraksi dengan  orang yang terpapar, atau orang yang berasal dari daerah wabah.
Bagaimana dengan landasan hukumnya?. Secara syariat, himbauan tersebut sudah sesuai dengan ajaran Islam. Karena, hal ini sudah diatur dalam hukum Islam sejak lebih dari 1400 tahun lalu. Dalam setiap fatwa, Alquran, Hadist dan ijma ulama dan disiplin ilmu kesehatan menjadi landasan.
Dalam hal meninggalkan shalat jumat, misalnya, para ulama Syafiyyah seperti Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Muin menyebutkan bahwa kebolehan meninggalkan shalat jumat sama dengan shalat jamaah diantaranya, hujan yang bisa membasahi pakaian, jalan berlumpur dan licin, cuaca panas dan dingin yang membahayakan, dan sakit yang tidak memungkinkan duduk dalam sholat.
Selain itu, dia menambahkan bahwa kekhawatiran hilangnya sesuatu yang harus dijaga berupa harta, kehormatan dan jiwa bisa menjadi alasan pula dan lain sebagainya.
Referensi yang disebutkan tadi sebenarnya satu contoh kitab klasik yang sudah biasa diajarkan di lembaga a Pesantren Salafiyyah di Indonesia. Sehingga, agak mengherankan jika ada sementara pihak yang menolak fatwa ini karena konsideran fatwa tersebut sejalan dengan pemahaman keberagamaan mayoritas Muslim Indonesia.
Lalu kenapa terjadi penolakan. Apakah karena ketidak-fahaman umat dan para pemuka agama di level bawah atau karena keegoisan ummat Islam Indonesia karena tidak mau patuh dengan ulama?. Apakah ummat meragukan kredibilitas ulama yang ada dalam wadah MUI, NU, Muhammadiyyah dan ulama rujukan dunia yang tergabung dalam perkumpulan Ulama Al-Azhar dan Ulama Arab?.
Jika demikian terjadi maka sungguh berbahaya sebab kegiatan beribadah kita tidak dilandasi ilmu yang benar. Penolakan fatwa bisa dimaknai sebagai penolakan terhadap syariat Islam dan eksistensi ulama yang bertugas sebagai pewaris para nabi. Jika dalam beragama tidak mengikuti ulama, kepada siapakah kita akan bersandar?
Bogor, 9 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H