Pengelolaan industri nikel di Indonesia memunculkan banyak pertanyaan ?. Mulai dari kepemilikan hingga asal tenaga kerja asing. Diantaranya di kawasan Morowali Utara,Sulawesi Tengah. Menimbulkan banyak pertanyaan masyarakat, rakyat Indonesia(INA).
Historikal Singkat.
Nikel telah lama digunakan terutama untuk paduan industri logam agar tahan terhadap korosi (karat). Tak ayal, sekitar dua pertiga baja tahan akan karat saat ini mengandung nikel. Hal ini menyebabkan permintaan dunia akan nikel sebagai komponen baterai lithium-ion (Li-Ion) terus meningkat.
Kontribusi permintaan pasar sekitar 8,5 persen dari total permintaan nikel saat ini. Lebih dari 10 persen kebutuhan nikel digunakan untuk berbagai teknologi, yang belakangan apabila kita sering dengar sebutan energi bersih, baik sebagai bahan katoda untuk baterai maupun dalam bentuk paduan untuk energi terbarukan serta hidrogen.
Energi Bersih. Baru Terbarukan.
Pangsa pasar (Market share) teknologi energi bersih terhadap total permintaan nikel diprediksi akan tumbuh lebih dari 35 persen dalam jangka menengah dan menjadi sekitar lebih dari 65 persen pada tahun 2040 nanti, berdasarkan data IEA, 2022. Pertumbuhan akan permintaan tersebut tak lepas dari produksi nikel global yang telah meningkat sekitar 30 persen selama kurang lebih lima tahun terakhir, dikarenakan oleh adanya pertumbuhan proyek ekspansi di Asia Pasifik. Namun demikian  Semangat hilirisasi dengan janji membuka banyak lapangan pekerjaan dinilai hanya terfokus pada aspek ekonomi, itu pun belum sepenuhnya benar.
Â
Prediksi dominasi produksi nikel Asia Pasifik akan meningkat saat ini dan ditahun-tahun mendatang, karena berkontribusi atas sekitar 70 persen pertumbuhan produksi global selama periode hingga 2025. Kita Indonesia (INA) terbesar kemudian dan lapisan (layer) berikutnya Philipina.
Hal ini dikarenakan adanya "dorongan' oleh perusahaan China yang menginvestasikan dan berkomitmen (?)  menginvestasikan sekitar 30 miliar US$  masuk kedalam rantai pasokan nikel Indonesia. Produksi nikel  INA kelas 1(satu), dan menjadi incaran Pasokan nikel saat ini dan di masa depan, kemungkinan besar akan didorong oleh, akankah ada kemajuan di Indonesia ?,  bukan hanya nikel tetapi juga hasil tambang INA lainnya, oleh sebab itu betapa pentingnya Undang-undang Mineral dan batubara(Minerba). Dan oleh karena itu pulalah rantai pasokan nikel global dapat dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan kebijakan di Indonesia. Jelas apabila Pemerintah dan seluruh Stakeholder kita melaksanakannya Benar dan Kepentingannya Untuk Guna Masyarakat, Rakyat Republik Indonesia saat ini dan Kedepan.
Nah.
Pada 1 Januari 2020, misalnya, pemerintah Indonesia mulai menerapkan larangan ekspor bijih nikel, dua tahun lebih awal dari tanggal yang diumumkan sebelumnya, dengan tujuan memproses bijihnya di smelter dalam negeri (tidak mengekspor ke China) untuk melaksanakan yang namanya hilirisasi nikel. Di tahun 2020 pula ekspor bijih nikel kita ke China turun hampir 90 persen dan ekspor nikel fero nikel naik dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Menjadi catatan saat ini produsen baterai Li-Ion begitu gencar mengincar nikel dengan kemurnian paling tinggi. Dan itu terdapat di Kita., Republic of Indonesia. Alasan Pentingnya adalah bahwa Smelter Nikel di Indonesia diantaranya bijih sulfida memang sangat cocok untuk proses pirometalurgi, karena kadar bijihnya relatif tinggi dan kadarnya mudah untuk dikonsentrasikan(dicampur/olah). Saat ini bijih sulfida merupakan sumber utama produk kelas 1(satu) dengan kemurnian tinggi. Saat ini  produksi nikel kelas 1(satu) kita terjadi surplus, tetapi peningkatan pesat dalam permintaan baterai akan membuat nikel kelas 1(satu) berpotensi defisit di masa depan karena akan semakin diperebutkan.
Proyek HPAL (High Pressure Acid Leaching ; merupakan pengolahan dan pemurnian nikel ) akan memakan waktu empat hingga lima tahun untuk meningkatkan kapasitas hingga 80 persen.
Kita Indonesia(INA).
Kita memiliki cadangan bijih nikel terbesar di dunia. Hampir seperempat cadangan nikel dunia berada di dalam perut bumi Kita Republik Indonesia.Â
Seperti kita ketahui melalui data statista.com/statistics/.. Produksi bijih nikel Indonesia mengalami peningkatan sangat tajam pada periode tahun 2012 dan 2013 akibat rencana pemerintah akan melarang ekspor bijih mineral mulai tahun 2014.
Oleh sebab itulah produksi pada tahun 2014-2016 jeblok, disebabkan belum siapnya  fasilitas pengolahnya. Tidak terjadi ekspor selama periode tahun 2015-2016. Pemerintah melakukan pelonggaran ketentuan larangan ekspor sehingga ada realisasi ekspor bijih dan konsentrat nikel (HS 2604) sebanyak 4,9 juta ton pada tahun 2017, 19,8 juta ton tahun 2018, dan 32,4 juta ton di tahun 2019.
Larangan ekspor bijih nikel kembali diberlakukan mulai /per 1 Januari 2020, dipercepat dari yang tadinya akan ditetapkan pada tahun 2022. Gonta-ganti kebijakan larangan ekspor ini tentu saja berdampak terhadap perusahaan penambang nasional yang sudah mulai bersiap diri membangun fasilitas smelter.
Inilah yang menyebabkan perusahaan-perusahaan smelter asal negara China yang paling siap memanfaatkan peluang bisnis dari bijih nikel tersebut.
 Akibat larangan ekspor tadi, dan tidak konsistennya pemerintah terhadap hasil tambang Kita, dalam hal ini Nikel khusunya maka harga bijih nikel domestik jeblok,sejebloknya, akibat tadi larangan ekspor. Perusahaan smelter asal Negara China leluasa membeli bijih nikel dengan harga hanya sekitar separuh dari harga internasional.
Perusahaan smelter dari China kian berbondong-bondong datang ke Indonesia(INA) sekaligus dengan membawa Sumber daya Manusia (SDM) nya yang bukan hanya para ahli pertambangannya tetapi SDM "tidak terdidik" pun ikut serta "bedol desa". Karena mereka (China) menikmati fasilitas luar biasa dari pemerintah saat ini , mulai dari tax holiday, tidak adanya pajak ekspor, tidak bayar pajak pertambahan nilai, dan itu tadi , boleh membawa, ikut serta SDM "tidak terdidik" sekalipun. Tanpa adanya pungutan 100 dollar uncle Sam per bulan bagi pekerja asing.
Mereka,perusahaan asal China tersebut bebas mengimpor apa saja yang mereka butuhkan. Perusahaan asal China tersebut tidak pula harus membayar royalti tambang mineral dalam hal ini nikel dan hasil turunannya. Mereka bebas menentukan surveyor dan trader yang bertindak sebagai penentu pasar dan harga, serta  pembeli yang terbatas (oligopsoni) menghadapi pemasok bijih nikel. Dan menjadi ironi adalah bahwa semua fasilitas itu, perusahaan asal China tersebut  tidak nikmati di negara asalnya.
Mungkin, Pidato Mr President Jokowi ada benarnya bahwa kita telah berhasil mengolah bijih nikel menjadi ferro nikel, lembaran baja dan stainless steel slab.
Â
 Tetapi kita Bangsa Indonesia harus mengetahui bahwa  beberapa produk itu telah cukup lama dihasilkan di dalam negeri (local Product), dilakukan oleh antara lain ; PT Antam (Persero) di Pomala, PT Valle di Sorowako, dan PT Indoferro di Cilegon.
Tetapi, hingga saat ini tidak ada fasilitas produksi untuk mengolah bijih nikel menjadi hidroksida nikel (kadar nikel (Ni) 35 persen sampai 60 persen) dan nikel murni berkadar 99,9 persen yang menjadi bahan utama menghasilkan beterai.
Menjadi harapan Republik Indonesia adalah kepekaan Pemerintah saat ini terhadap apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat, rakyat INA. Apalagi persoalan nikel, hasil tambang ini telah terjadi peristiwa berdarah di Morowali Utara, Sulawesi Tengah.
........ Bersambung....
Salam, Indonesia Raya ;
Yusuf Senopati Riyanto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H