Mohon tunggu...
Yusuf Senopati Riyanto
Yusuf Senopati Riyanto Mohon Tunggu... Lainnya - Shut up and dance with me
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saat ini sebagai buruh di perusahaan milik Negara.

Selanjutnya

Tutup

Money

Lagi, Mr President Salah Langkah dalam Menangani CPO dan Migor?

27 April 2022   08:08 Diperbarui: 27 April 2022   08:10 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kembali untuk yang kesekian kalinya Mr President Jokowi tidak peka terhadap apa yang sesungguhnya terjadi, atau kalau tidak mau disebut salah langkah dalam mengambil keputusan untuk stabilitas ekonomi serta kemajuan Bangsa dan Negeri ini dari ketidak pastian selama lebih kurang 7(tujuh) tahun beliau Memimpin Republik Indonesia. 

Apakah demikian ?.  Adapun kebijakan Mr President Joko Widodo yang akan segera melarang ekspor bahan baku minyak goreng (CPO) dan minyak goreng serta turunannya, merupakan suatu pengulangan kesalahan yang sama. Seperti pada penghentian ekspor batu bara. Kenapa ?., jika Pemerintah hanya ingin mengatasi kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng tidak perlu sampai harus melakukan penghentian ekspor.

Masalah soal kelangkaan minyak goreng. seharusnya hanya persoalan teknis. Yakni mengatur ketersediaan dan pengawasan di pasar. Bukan melarang ekspor minyak goreng dan CPO serta turunannya yang akan mulai 28 April 2022 nanti. Ini akan menimbulkan masalah baru yaitu timbul keresahan pada petani sawit. Sebab akan menyebabkan harga tandan buah segar (TBS) turun drastis. Padahal harga pupuk sedang tinggi.

Tidak perlu stop ekspor. Moratorium, ini kebijakan yang mengulang kesalahan stop ekspor batu bara per Januari 2022. Seharusnya yang dilakukan cukup kembalikan kebijakan DomesticMarketObligation(DMO) CPO 20 persen. Belum tentu harga akan otomatis turun kalau tidak dibarengi dengan kebijakan harga eceran tertinggi (HET), pada minyak goreng kemasan,

Seharusnya Mr President mempertanyakan mengapa kelangkaan dan lonjakan harga jual yang luar biasa mahal bisa terjadi, padahal Indonesia(INA) merupakan penghasil sawit terbesar dunia. Kita INA  merupakan penghasil sawit, terus minyak gorengnya tidak ada,tidak ditemukan itu "Lucu-lucu norak gitu ya kan".

Seharusnya beberapa cara yang telah penulis sampaikan diatas menjadi alternative pilihan bagi Pemerintah. Bukan, jangan hanya main putuskan sesuatu yang berdampak terhadap ketidak stabilan ekonomi.

Keputusan Stop Ekspor Untungkan Negara Pesaing, Malaysia

Larangan ekspor CPO dan minyak goreng juga turunanya jelas akan menguntungkan Malaysia. Kenapa demikian ?, seperti yang kita ketahui INA diperingkat Pertama, diperingkat kedua penghasil Kelapa Sawit terbesar dunia adalah tetangga Malaysia.  

Mengingat, negara tetangga ini merupakan salah satu pesaing utama Indonesia dalam peta ekspor CPO dunia. Dan kebun Kelapa Sawit milik Malaysia di INA terdapat kurang lebih hampir mencapai 2 juta hektar, dari total 7,2 hektar kebun kelapa sawit di Indonesia., luar biasa bukan. Dan kita malah menghentikan devisa non migas kita.

Apabila Mr President tidak mengevaluasi ulang keputusan mengenai ekspor CPO,minyak goreng dan juga turunannya itu dilarang, maka industri dalam negeri juga tidak akan mampu menyerap seluruh hasil produksi. Hal ini disebabkan  oleh kebutuhan minyak goreng yang bermasalah itu hanya sekitar 10 persen atau sekitar 5,7 juta ton pertahun dibanding total produksi yang mencapai 47 juta ton per tahun untuk CPO. Dan sekitar 4,5 juta ton pertahun untuk Palm Kernell Oil (PKO).

Mr President seharusnya mengetahui bahwa moratorium hanya akan menguntungkan pemain Kakap. Khususnya mereka yang punya pabrik kelapa sawit sendiri, fasilitas refinery (penampung), pabrik minyak goreng, atau industri turunan lainnya. Mereka memiliki modal kuat, memiliki kapasitas penyimpanan besar, dan pilihan-pilihan lain untuk menghindari kerugian. Sementara dimana rakyat dalam untuk memenuhi salah satu kebutuhan primer/pokok ?.

Seharusnya yang dilakukan Pemerintah adalah memastikan barangnya tersedia dan diawasi dengan baik. Pengawasan diperkuat dengan memastikan sinergi kementerian dan lembaga, juga pemerintah daerah. Bila pengawasan berjalan dengan baik, kegiatan penyelundupan dan penimbunan dapat dicegah. Dan moratorium tidak perlu dilakukan. Tidak Perlu.

Devisa Ekspor

Potensi kehilangan devisa ekspor Indonesia senilai US$3 miliar devisa negara atau setara dengan Rp43 triliun lebih (kurs 14.426 per dolar AS).

Sekedar berbagi, Selama Maret 2022 ekspor CPO kita nilainya US$3 miliar. Dan estimasinya pada bulan Mei nanti, apabila asumsinya pelarangan ekspor berlaku 1 bulan penuh, maka INA akan kehilangan devisa sebesar US$3 miliar. Itu artinya sama dengan 12 persen total ekspor non migas Kita hilang hangus. Seharusnya Mr President mengambil keputusan untuk mengembalikan kebijakan DMO CPO 20 persen untuk kebutuhan domestik dari total produksi. Dengan demikian kita tidak kehilangan devisa ekpor.

Karena selama ini konsumsi CPO dalam negeri hanya sekitar 6 hingga 7 juta ton.

Konsumsi dalam negeri hanya 6 juta ton-7 juta ton, tetapi ada sekitar 30 jutaan ton dilarang ekspor, maka jumlah tersebut mau dikemanakan?.

Konsekuensi dari moratorium yang akan dilaksanakan 28 April 2022 ini, akan disambut negara mitra dagang INA dengan protes. Bahkan, bukan tak mungkin mitra dagang INA akan membalas larangan ekspor tujuan Indonesia.
Maka akan menambah keruetan baru bukannya menyelesaikan masalah minyak goreng.

Perlu juga kita ketahui atas dasar data Kementerian Perdagangan (Kemendag) total ekspor CPO dan turunannya sudah mencapai 2.771.294 ton selama 14 Februari hingga 8 Maret 2022. Adapun porsi DMO untuk kebutuhan industri dalam negeri mencapai 573.890 ton. Data BPS menyebutkan selama Januari - Maret 2022 nilai ekspor kelapa sawit mencapai US$6,15 miliar. Belum ada penjelasan lebih lanjut dari pemerintah soal kemana alokasi ekspor CPO ini pasca pelarangan kelak.

Pelaku industri sawit adalah rakyat kecil.

Mr President sekali lagi seharusnya mengevaluasi mengenai kebijakan moratorium atau pelarangan untuk melakukan ekspor Crude Palm Oil (CPO) beserta minyak goreng dan juga turunannya.

Karena  kebijakan itu pada ujungnya akan merugikan para petani kecil dan mendorong lonjakan harga, termasuk produk turunan antara lain minyak goreng. Karena keputusan ini  nanti  dapat merusak industri CPO secara keseluruhan, termasuk industri minyak goreng, dan ini merugikan petani-petani kecil yang ada di pelosok, pedalaman. Terutama petani sawit kecil, pemilik lahan sawit sedang dan pemilik kebun sawit yang tidak memiliki pabrik pengolahan CPO, penampungan sawit atau pabrik minyak goreng.

Larangan ekspor minyak sawit Indonesia menyebabkan lonjakkan harga minyak goreng di seluruh dunia. Kebijakan baru ini bahkan dinilai memperburuk kekhawatiran keamanan pangan global di tengah pengaruh cuaca buruk dan serangan yang dilancarkan Rusia ke Ukraina. Dan pada Senin 25/04/2022 Bursa Malaysia Derivatives Exchange melaporkan bahwa harga minyak sawit naik hingga lebih dari 6 persen mendekati level kenaikan tertinggi yang dicapai pada bulan Maret.  Jadi?, seperti apa  akibat/dampak baik/buruk untuk  Bangsa dan Negara ini, keputusan Mr President yang  extreme kalau tidak mau disebut keputusan salah,,,

Penulis dan kita INA tidak menginginkan mendengar Pernyataan :  

"Yo ndak tahu, kok tanya saya" atau biasa disingkat warganet menjadi YNTKTS. 

Salam Indonesia Raya!. Tempatku Dilahirkan Dan Tempat Dimanaku kan Dikebumikan...

Yusuf Senopati Riyanto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun