Mohon tunggu...
Yusuf Senopati Riyanto
Yusuf Senopati Riyanto Mohon Tunggu... Lainnya - Shut up and dance with me
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saat ini sebagai buruh di perusahaan milik Negara.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mengubah Sistem Pengelolaan PT PLN (Persero) Bukan Menaikkan TDL!

17 Desember 2021   05:44 Diperbarui: 17 Desember 2021   05:59 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia yang Gemah Ripah Loh Jinawi, akan menaikkan tarif listrik bagi 13 golongan pelanggan PT PLN (Persero) non subsidi pada 2022 mendatang.

Saat ini pemerintah bersama dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI berencana menerapkan kembali tariff adjustment (tarif penyesuaian). 

Tariff adjustment bakal kembali diterapkan tahun depan jika kondisi pandemi Covid-19 membaik. Padahal diketahui bahwa pada dua tahun buku berurutan 2019 dan 2020 "katanya"  PT PLN(persero) memperoleh laba yang signifikan, maka rakyat Indonesia bertanya, apabila hal tersebut benar, bukan merupakan Pencitraan( Window dressing), maka sudah barang tentu seharusnya tidak perlu ada kenaikan Tarif Dasar Listrik. 

Ini jelas menjadi pertanyaan, apapun alasan Pemerintah, padahal, PT PLN(persero) dalam masa dua tahun buku berturut-turut menghasilkan laba absolute. Kenapa absolute?, sebab PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN tersebut membukukan laba bersih sebesar Rp 5,95 triliun pada 2020. Nominal tersebut naik 39,3% dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 4,27 triliun pada 2019. 

Manajemen PLN menjelaskan laba  terdongkrak karena efisiensi selama pandemi virus corona Covid-19. Efisiensi berlaku di sisi teknis dan operasional serta inovasi dalam Program disebut Transformasi PLN yang berlangsung sejak bulan April 2020.

Tidak Masuk Akal.

Alasan Pemerintah untuk menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) sangat tidak masuk akal, dengan alasan melambungnya harga batubara. Padahal, perlu kita masyarakat ketahui bahwa terkait penggunaan batu bara untuk listrik sudah ada regulasi khusus yang menjamin baik kualitas maupun harganya, yakni Peraturan menteri (Permen) ESDM tentang Domestic Marketing Obligation (DMO) untuk batubara yang mematok 25 persen produksi dan harga 70 USD$ per ton.

DMO adalah kebijakan Pemerintah yang mewajibkan pengusaha tambang batu bara memprioritaskan penjualan ke dalam negeri. Kebijakan ini mengatur besaran harga dan jumlah minimal produksi batu bara yang harus dialokasikan ke dalam negeri, agar produksi listrik tidak terganggu. Seharusnya ini yang terjadi apabila Pemerintah serius dalam hal DMO.

Belakangan Pemerintah, pasca melakukan "perombakan manajemen yang terkesan "asal-asalan" dalam arti bukan melihat utuh apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh rakyat Indonesia (INA)" terpantau sedang mengkaji rencana pencabutan kebijakan domestic market obligation (DMO) batu bara untuk pembangkit listrik. 

Berbagai informasi yang terhimpun, rencana pencabutan tersebut untuk meningkatkan kinerja ekspor dan memperbaiki defisit transaksi berjalan (current account deficit/ CAD) Indonesia. 

Sebagai tindak lanjut dari rencana tersebut, pemerintah tercatat telah mengundang pihak-pihak terkait seperti PLN, Asosiasi Pengusaha Batubara, dan Kadin. Ataukah inilah yang sebenarnya dilakukan Pemerintah untuk mempercepat proses Unbundling yang tentu saja guna "Mengorbankan" rakyat INA.

Keputusan Menteri ESDM.

 Sebagaimana kita ketahui bersama, sebelumnya pada bulan Maret 2018, melalui Kepmen ESDM No 1395 K/30/MEM/2018, pemerintah menetapkan harga jual batu bara untuk penyediaan tenaga listrik bagi kepentingan umum maksimal US$ 70 per metrik ton free on board (FOB) vessel. 

Kepmen ini menetapkan bahwa harga tersebut berlaku untuk tahun 2018 dan 2019, serta ditetapkan berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 2018.

Kepmen ESDM No 1395 K/30/ MEM/2018 ini merupakan bagian dari kebijakan pemerintah yang memutuskan untuk tidak menyesuaikan tarif listrik sampai dengan tahun 2019.

Pemerintah guna meningkatkan pengawasan ekspor batu bara agar persediaan batu bara untuk keperluan industri dalam negeri tetap terjaga maka dibuatlah Kepmen ESDM tersebut. Apabila kita bandingkan dengan Malaysia yang ketenagalistrikannya dibawah Pemerintah Malaysia kita INA memiliki harga listrik PLN saat ini relatif sudah mahal. 

Sehingga tidak ada dasar untuk dinaikkan lagi. Seharusnya yang perlu dilakukan Pemerintah terhadap  PLN adalah mengubah system pengelolaan dengan jalan diantaranya efisiensi pelaksanaan bisnis proses kelistrikan, disini termasuk penerapan Tarif Dasar Listrik (TDL). Pengelolaannya serta penempatannya, penggunaannya.

Apabila kita mengutip data Globalpetrolprice.com per maret 2021 yang menyebutkan tarif listrik di Indonesia untuk pelanggan rumah tangga sebesar USD 10.1 sen.

Sementara di Negara China, Vietnam dan Malaysia masing-masing hanya sebesar USD 8.6, 8.3 dan 5.2 sen. Bahkan tarif listrik rumah tangga di Laos hanya sebesar USD 4.7 sen USD.

Artinya tarif listrik di INA hampir dua kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan tarif listrik di Malaysia juga Laos.

PT PLN (persero) yang harus diubah adalah system pengelolaannya bukan Unbundling atau menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL). Kajian Pemerintah hendaknya secara mendalam, bukan hanya mencari keuntungan sesaat tanpa memperhitungkan bagaimana menerangi 100% rakyat Nusantara.

Alangkah bijak apabila Pemerintah jangan mau didikte oleh negara maju dengan berbagai komitmen, iming-iming yang menyebabkan harga listrik menjadi mahal.

Pemerintah harus memiliki komitmen untuk menjaga kepentingan nasional yaitu menyediakan 100% listrik murah untuk menjalankan roda pembangunan nasional dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Ini yang utama sebagai amanat konstitusi kita Pasal 33 UUDRI 1945. Indonesia tidak bisa secara semena-mena menghapus PLTU, asset PT PLN (persero) yang plusminus 15000 MW, dan kita memiliki sumber batubara yang melimpah.

Perlu prinsip kehati-hatian dan pentahapan yang baik. Kita harus realistis, rasional dan obyektif, tidak hanya sekedar tebar pesona terkait dengan komitmen energi baru terbarukan EBT

Agar diketahui masyarakat RUPTL 2021-2030, Pemerintah berencana menyediakan porsi EBT (energi baru-terbarukan) sebesar 52 persen. Sehingga BPP PLN akan naik dari Rp 1.423/ kWh pada tahun 2021 menjadi Rp1.689/kWh pada tahun 2025. Nah, jelas ini nyambung dengan Kepmen ESDM No 1395 K/30/ MEM/2018.

Masalah Privatisasi Listrik Mengorbankan Rakyat.

Komitmen untuk dekarbonisasi dan memperkenalkan pembangkit energi terbarukan menciptakan gelombang baru privatisasi energi. Kenapa?, karena hal ini memisahkan Pembangkit,Transmisi,Distribusi hingga retail. 

Para pembuat kebijakan sektor energi sudah berhasil membuat para pembuat undang-undang percaya bahwa hanya perusahaan energi swasta saja yang mampu mengelola teknologi produksi energi terbarukan. 

Apakah demikian?, Terbukti Philipina yang melaksanakan privatisasi system ketenagalistrikan malahan tidak mampu menerangi 100% Philipina, listrik mahal serta seringnya terjadi pemadaman listrik dan tidak terjadi pembaruan atau transformasi ke Energi baru terbarukan.

 Philipina masih menggunakan batubara. Hal ini berarti bahwa banyak utilitas listrik publik yang mumpuni, dan terintegrasi secara vertikal dilarang membangun pembangkit listrik tenaga matahari dan angin yang baru. 

Pilihan kebijakan yang keliru yang demikian diperkuat oleh beragam perjanjian perdagangan yang memaksa negara-negara untuk memperlakukan korporasi swasta dengan cara yang sama dengan utilitas publik dalam negeri, termasuk Indonesia.

Kenapa mengorbankan rakyat?, Kita lihat dari sisi konsumen : Sudah banyak daerah/kota yang dapat diterapkan tarif Komersial, sedangkan potensi pertumbuhan ekonominya cukup pesat, sehingga harapan komersialisasi listrik pada daerah ini cukup besar. 

Dari sisi Pembangkit : Masih banyak menggunakan BBM sehingga Production cost nya tinggi Dari gambaran di atas dapat di simpulkan bahwa, Jawa, Madura, Bali berpotensi sebagai Profit Center sedangkan luar Jawa pada umumnya berpotensi sebagai Cost Center 

Sehingga saat ini dengan kondisi PLN sebagai satu-satunya PKUK (sudah tidak lagi sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan), seharusnya PLN dapat melakukan Cross Subsidi Jawa Luar Jawa secara langsung, tanpa melalui birokrasi yang panjang, dan control dari Pemerintah relative mudah. 

Apabila niatnya untuk menerangi 100% Nusantara dengan biaya tidak mahal. pada Pembangkit saja (pola Single Buyer) sedangkan apabila ingin mengusahakan Ketenagalistrikan dalam sebuah Grid, maka mereka di haruskan membentuk system/grid sendiri sebagaimana telah dilakukan, diantaranya oleh PT Cikarang Listrisindo di Cikarang, yaitu mereka membangun sendiri pembangkit, Transmisi, Distribusi, Jaringan Ritel dalam satu paket dan terpisah sama sekali dari Grid PLN. 

Dengan demikian maka masyarakat konsumen disuguhi 2 (dua) Grid yaitu kepunyaan PLN dan Cikarang Listrisindo, dan rakyat akan mencari Grid mana yang lebih murah. Pola pengelolaan lain adalah apabila swasta ingin bersaing dengan PLN dan tidak masuk dalam Grid PLN , dengan membangun pembangkit untuk pemakaian sendiri. Itulah existing kelistrikan di Indonesia.

Grid PLN yang sudah ada saat ini, misal kelistrikan Jawa-Bali-Madura, yang Notabene sudah dalam kondisi Interkoneksi dan dioperasikan secara Vertically Integrated System mulai dari Pembangkit, Transmisi, Distribusi dan Retail Oleh PLN, selanjutnya akan di pecah (di acak) kedalam masing-masing fungsi, dan setiap fungsi / Instalasi di kelola oleh banyak badan usaha, inilah yang di sebut Unbundling vertical.

Tidak Sepatutnya Tarif Listrik Naik.

Keuntungan yang diperoleh PT PLN (persero) pada dua tahun buku berturut-turut periode 2019 dan 2020 seharusnya dijadikan awal bagi perubahan system pengelolaan PT PLN (persero) bukan teknis tetapi niat untuk 100% menerangi Nusantara. Naif?., Tentu tidak apabila Pemerintah niat baik untuk menerangi 100% Nusantara. Mari kita lihat PP No 23/1994 tentang PT.PLN (Persero), BUMN ini bertugas sebagai infrastruktur kelistrikan sekaligus mencari keuntungan. 

Maka kemudian rakyat INA bertanya?, apakah keuntungan Rp 5,99 triliun masih kurang besar?, padahal apabila kita melihat  dari aspek ekonomi keuntungan Rp 5,99 triliun dianggap masih kurang, maka yang sebenarnya,apa adanya PT PLN(persero) harus untung berapa?., Apalagi sesuai UU No 19 tahun 2003 tentang BUMN PLN bertugas sebagai BUMN PSO (Public Service Obligation) yang harus hadir ditengah masyarakat, yang seharusnya sebagai fungsi pelindung masyarakat, rakyat INA. Atau, keuntungan PT PLN(persero) pada dua tahun buku berturut-turut 2019 dan 2020  sebenarnya hanya Lips service, windows dressing pencitraan belaka?...

Menjadikan "too much question mark" dalam soal PT PLN(persero).

Apabila tahun depan Pemerintah benar-benar jadi menaikkanTDL maka keuntungan PLN pada dua tahun buku berturut-turut 2019 dan 2020  sebenarnya hanya Lips service, windows dressing, pencitraan belaka.

Apakah untuk menutupi bahwa sesungguhnya PT PLN(persero) sudah dikuasai oleh Oligarkhi "tertentu" dengan memperalat  kekuatan Luar Negeri?.

Agar Kita,Termasuk Saya Pribadi Melek.

Sebenarnya mulai tahun 2020 di Jawa-Bali sudah sepenuhnya dikuasai Asing, dalam artian telah terjadi Unbundling Vertikal dan kenyataanya telah terjadi mekanisme pasar bebas(Liberalism) kelistrikan dengan pembentukan tarif dasar listrik sudah diluar kontrol Pemerintah, hal ini tentu saja belum kita masyarakat, rakyat INA rasakan,dikarenakan saat ini tarif listrik masih terdapat subsidi silang,dan akan mulai terasa disaat TDL dinaikkan dan pelan namun pasti tarif listrik subsidi dengan kapasitas daya yang sama-sama kita ketahui akan dihapus. 

Persis seperti saat manusia terkena racun bisa ular,lambat namun kemudian mati selamanya, kecuali Pemerintah tetap memberikan dengan Subsidi listrik di sisi ritail. 

Sehingga Kementerian keuangan melalui siaran persnya menyampaikan bahwa PT PLN (persero)  untuk tahun 2020 masih harus disubsidi Rp 200,8 triliun (Repelita Online 8 Nopember 2020). Namun hal tersebut disanggah oleh adanya berita(lain) bahwa PT PLN (persero) masih untung pada dua tahun buku berturut-turut 2019 dan 2020.

Dengan demikian berbagai quation mark tadi, tabir gelap yang hinggap mulai terkuak, bagaimana keadaan, kondisi sesungguhnya hingga kemudian Pemerintah akan menaikkan TDL tahun depan.

Tarif Dasar Listrik akan naik dalam kondisi PT PLN (persero)  untung?.

 

Salam Indonesia Raya Tempat Saya dilahirkan dan Kelak tempat Saya Dikebumikan...

NB : Diambil kutip sadur dari berbagai sumber, koleksi pribadi Penulis khususnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun