Apa yang terlintas saat mendengar nama Kotagede di Yogyakarta? Tentu banyak dari kita yang akan mengasosiasikan wilayah tersebut dengan perak.
Ya, Kotagede memang identik dengan kerajinan perak, karena banyak terdapat sentra-sentra kriya salah satu logam mulia ini di wilayah tersebut. Di sisi lain, Kotagede juga sarat dengan nilai historis dengan perjalanan cerita yang panjang.
Kotagede tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Kerajaan Mataram Islam pada sekitar abad ke-16, karena didaulat menjadi ibukota pertama pemerintahan sekaligus pusat kebudayaan, politik, agama, hingga perdagangan.
Di masa saat ini, agar masyarakat dapat menelusuri kilas sejarah dan mengenal lebih komprehensif mengenai keberadaan Kotagede, telah terdapat Museum Kotagede, Intro Living Museum.
Museum ini dikembangan dengan berbasis komunitas yang sesuai namanya diharapkan dapat menjadi titik awal (introduction) untuk memahami berbagai peristiwa penting dan catatan sejarah yang terjadi di Kotagede, serta keterkaitannya dengan lokasi yang hingga saat ini masih terus dijaga kelestariannya.
Living Museum
Sebelum membedah lebih lanjut mengenai Museum Kotagede, mari kita melihat sedikit mengenai konsep living museum dari tinjauan definitif, serta apa saja yang menjadi diferensiasi dengan museum yang kita kenal pada umumnya.
Mengutip dari Pageh (2015), living museum merujuk pada praktik adat atau tradisi yang dipraktikkan oleh sebagian masyarakat tertentu, terutama masyarakat adat, yang dianggap memiliki nilai budaya lokal yang asli dan mencerminkan sejarah mereka dari masa ke masa.
Supriatna dan Pageh (2022) menambahkan bahwa living museum terlihat dalam berbagai kegiatan upacara adat, tradisi dalam memenuhi kebutuhan hidup seperti pengolahan makanan, tradisi dalam berinteraksi sosial dan memanfaatkan potensi lingkungan alam, sistem kepercayaan, tradisi lisan, dan sebagainya, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Baca juga: Harmoni Budaya di Masjid Cheng Ho PalembangLiving museum diharapkan dapat melibatkan peran komunitas untuk lebih aktif terhadap pengembangan program-program yang dirancang oleh museum.
Living Museum Kotagede
Living museum Kotagede merupakan gagasan dari Yayasan Pusat Studi Dokumentasi dan Pengembangan Budaya Kotagede (Yayasan Pusdok). Konsep living museum Kotagede terdiri dari Museum Kotagede, Pasar Kotagede, Watu Gilang Genthong Gatheng, dan Masjid Gedhe Mataram.
Walau living museum berfokus pada situasi lingkungan di luar museum, tetap ada kebutuhan untuk memiliki satu tempat yang menjadi titik pertemuan, sehingga dikembangkan Museum Kotagede yang menggunakan bangunan Rumah Kalang.
Rumah Kalang sendiri adalah rumah orang Kalang/Wong Kalang, satu subsuku masyarakat Jawa yang tinggal di wilayah Keraton Mataram. Karena satu dan lain hal dari perjalanan sejarah peradaban yang panjang, orang Kalang dulunya tidak hidup membaur dengan bagian masyarakat lain, dan rumah Kalang secara harafiah berarti “rumah batas”.
Museum Kotagede yang diresmikan pada 10 Desember 2021, berada di Jalan Tenggalgendu No. 20B Prenggan. Museum ini menempati bangunan rumah yang dahulu milik dari B.H. Noerijah, seorang Kalang yang sukses sebagai pengusaha emas dan berlian. Beliau juga diketahui pernah memberikan sumbangan sebesar 6000 Gulden untuk kas negara pada awal masa kemerdekaan RI.
Saat berkunjung Museum Kotagede, tersedia edukator museum yang siap memberikan penjelasan tentang sejarah dan budaya Kotagede hingga koleksi yang terdapat di museum.
Ruang Pamer Museum Kotagede
Rumah Kalang ini dibangun pada tahun 1931-1938, memiliki ciri khas berupa tiang-tiang dengan gaya arsitektur Corinthia-Romawi. “Cirinya terlihat dengan adanya hiasan kaca patri yang bercorak warna-warni, penggunaan tegel bermotif pada lantai dan dinding bagian bawah, serta banyak pintu dan jendela yang berukuran besar,” jelas Devita, edukator museum.
Wisatawan yang datang dapat belajar mengenai sejarah dan budaya Kotagede di bagian-bagian museum. “Museum Kotagede terbagi menjadi empat klaster,” lanjut Devita.
Klaster pertama, dimana terdapat infografis tentang Watu Gilang, Watu Genthong, dan Watu Gatheng. Selain itu ada juga benda-benda historis dan video mapping yang menampilkan perjalanan sejarah Kotagede secara apik dan menarik.
Klaster kedua, pada bagian ini terdapat hasil kerajinan dan alat dari proses pembuatan perak. Di klaster ini juga disajikan maket rumah-rumah tradisional Jawa di Kotagede.
Lalu klaster tiga, dalam klaster ini terdapat koleksi Wayang Tingklung dan berbagai videografis mengenai seni pertunjukan yang ada di Kotagede serta berbagai koleksi sastra.
Terakhir klaster empat dimana wisatawan dapat menyaksikan video mapping mengenai tokoh-tokoh dan organisasi masyarakat yang ada di Kotagede.
Saat berkeliling, Devita juga menyampaikan bahwa ciri khas Rumah Kalang biasanya memiliki ruang bawah tanah (bungker), sebagai tempat untuk penyimpanan barang berharga dan juga sebagai tempat persembunyian saat bahaya mengancam.
Museum Kotagede menghadirkan konsep wisata edukasi yang memadukan unsur wisata dengan muatan pendidikan. Wisatawan yang datang ke Yogyakarta diharapkan dapat tertarik juga berkunjung ke Kotagede dengan tradisi yang masih terus dilestarikan sehingga menjadi daya tarik wisata budaya.
Wisatawan dapat belajar sejarah dan budaya Kotagede dari berbagai koleksi dan informasi yang disajikan secara menarik dan kekinian, sehingga Museum Kotagede memiliki peranan penting sebagai pusat informasi.
Museum Kotagede hadir sebagai model pengembangan living museum yang bertujuan untuk melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan berbagai aset budaya tentunya dengan konsep yang unik dan relevan.
Museum Kotagede buka pada hari Selasa hingga Kamis pukul 08.00 – 16.00 dan pada hari Jumat pukul 08.00 – 14.30. Sementara hari Sabtu dan Minggu berlaku hanya bagi yang melakukan reservasi, untuk hari Senin dan libur nasional museum tutup.
Salam wisata.
Referensi:
Pageh, I. M. (2015). Genealogi Baliseering: Membongkar Ideologi Kolonial Belanda dalam Pendidikan di Bali Utara.
Supriatna, N., & Pageh, I. M. (2022) Living museum sebagai sumber pembelajaran sejarah: comparative studies in Bali and West Java. Jurnal Teori dan Praksis Pembelajaran IPS, 7(1), 42-58.
Museum Kotagede: Intro Living Museum
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H